1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumVietrnam

Vonis Mati Lan, Pemberantasan Korupsi Vietnam Terlalu Kejam?

David Hutt
17 April 2024

Miliarder Truong My Lan divonis mati karena melakukan penggelapan uang setara 3% PDB Vietnam. Pemerintah sebut mereka memberikan contoh, namun mitra-mitra Vietnam di Uni Eropa memandangnya sebagai sebuah langkah ekstrem.

https://p.dw.com/p/4eruP
Taipan properti Vietnam Truong My Lan (barisan depan ke-3 dari kiri) di pengadilan di Kota Ho Chi Minh, 11 April 2024.
Taipan properti Vietnam Truong My Lan (barisan depan, ke-3 dari kiri) hadir di pengadilan di Kota Ho Chi Minh, 11 April 2024.Foto: AFP

Truong My Lan, 67 tahun, terdakwa dalam salah satu skandal korupsi paling besar dalam sejarah Asia Tenggara divonis hukuman mati di Vietnam pekan lalu.

Lan sebelumnya didakwa telah melakukan penggelapan uang dari Saigon Joint Commercial Bank (SCB) sekitar $12,5 miliar (sekitar  Rp202 triliun), atau setara dengan sekitar 3% PDB Vietnam tahun 2022. Dia juga dinyatakan bersalah karena secara ilegal memiliki mayoritas saham di bank tersebut, dan memberikan pinjaman yang mengakibatkan kerugian sebesar €25,2 miliar (setara dengan Rp434 triliun).

Pengadilan Kota Ho Chi Minh mengatakan, tindakan Lan "tidak hanya melanggar hak pengelolaan properti individual tetapi juga telah membawa (bank) ke dalam sebuah kendali khusus, serta mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan partai (Komunis yang berkuasa) dan negara.”

Jaksa sebelumnya menuntut Lan dihukum mati, dengan alasan bahwa Lan harus "dikucilkan dari masyarakat selamanya," demikian menurut laporan media-media lokal.

Truong My Lan, tapian properti asal Vietnam yang divonis mati atas kasus penggelapan uang.
Masih harus dilihat apakah Lan akan ditawari grasi untuk memberikan lebih banyak informasi kepada pihak berwenang mengenai aset yang dicuri.Foto: AFP

Vonis mati bagai "pedang bermata dua"

Menurut Tuong Vu, profesor dan direktur Pusat Penelitian AS-Vietnam di Universitas Oregon, vonis mati terhadap Lan dapat dilihat sebagai sebuah pesan dari Partai Komunis yang berkuasa bahwa mereka "serius dalam memerangi korupsi," sekaligus peringatan kepada komunitas bisnis untuk tidak "terlalu serakah" karena mereka tidak akan bisa lolos dari penyelidikan otoritas hukum.

Namun, vonis mati terhadap Truong My Lan bagaikan "pedang bermata dua," kata seorang anggota senior komunitas bisnis Eropa di Vietnam, yang meminta tidak disebutkan namanya.

"Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa Vietnam serius dalam memberantas korupsi dan ini perlu disambut baik,” katanya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Tapi, dari sudut pandang sentimen Eropa, hukuman mati bukanlah sesuatu yang bisa dimaafkan,” tambahnya.

Juru bicara Uni Eropa (UE) Peter Santo dalam wawancara dengan DW mengemukakan hal senada. "Brussels sangat menentang hukuman mati kapan saja dan dalam keadaan apa pun,” katanya.

Menurut Santo, Vietnam telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pada tahun 1982, yang secara tegas membatasi penerapan hukuman mati hanya pada "kejahatan paling serius", dan UE, kata dia, telah meminta Vietnam "untuk memberlakukan moratorium terhadap penerapan hukuman mati, dengan maksud untuk untuk menghapuskannya.”

Menurut Le Hong Hiep, seorang peneliti senior di Program Studi Vietnam di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, ada kemungkinan bahwa pengadilan banding akan membatalkan hukuman mati terhadap Lan.

Hiep mengatakan bahwa di masa lalu, pengadilan sengaja menjatuhkan hukuman mati untuk menekan terdakwa agar mau mengungkapkan lebih banyak informasi tentang kejahatan mereka, sehingga dapat membantu negara untuk memulihkan kerugian.

"Jika Lan bersikap lebih kooperatif, ada kemungkinan hukumannya dikurangi menjadi penjara seumur hidup,” jelas Hiep.

Meski begitu, Hiep berpendapat, Partai Komunis Vietnam harus bekerja keras menyeimbangkan pemberian grasi tersebut, tanpa menghilangkan efek jera yang mungkin akan ditimbulkan dari vonis mati terhadap Lan, jika nantinya dibatalkan.

"Prevalensi kepemilikan silang antara bank dan perusahaan swasta, serta praktik pinjaman pihak terkait oleh bank swasta, menimbulkan risiko signifikan terhadap sistem perbankan dan perekonomian secara keseluruhan," kata Hiep.

"Pemerintah tampaknya bertekad untuk mencegah terjadinya skandal perbankan seperti SCB, dan hukuman mati Lan menjadi pesan kuat bagi pemilik bank bahwa mereka harus menghentikan praktik bisnis ilegal atau akan berhadapan dengan konsekuensi yang berat,” tambahnya.

Kampanye antikorupsi berskala besar

Desas-desus mengenai korupsi yang dilakukan Lan sebelumnya telah beredar selama bertahun-tahun. Salah satu alasannya adalah karena ia dan kolega dekatnya membeli sejumlah besar real estat utama di Kota Ho Chi Minh.

Lan dan keluarganya awalnya memperoleh keuntungan kecil dari sektor hotel dan restoran setelah Partai Komunis Vietnam mengadopsi ekonomi pasar pada tahun 1986.

Pada tahun 2001, Lan kemudian memimpin merger antara SCB dengan dua pemberi pinjaman lainnya, yang menurut jaksa digunakan Lan sebagai ‘mesin ATM' pribadinya.

Menurut Jaksa, Lan mengakuisisi sekitar 90% saham SCB melalui perusahaan cangkang dan proksi, padahal undang-undang Vietnam melarang seorang individu memiliki lebih dari 5% saham di bank mana pun.

Lan juga menunjuk petugas bank yang dipercaya agar menyetujui pinjaman kepada perusahaan fiktif yang dijalankan Lan dan rekan-rekannya. Ia dilaporkan menerima 93% dari seluruh pinjaman bank tersebut.

Tidak hanya itu, Lan juga menyuap inspektur bank agar tidak mempertanyakan legalitas pinjaman. Seorang mantan inspektur di bank sentral telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena menerima suap sebesar $5 juta (setara dengan Rp81 miliar).

Suami Lan, Eric Chu Nap-kee, seorang warga negara Hong Kong, juga telah dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara karena perannya dalam skandal tersebut, sementara keponakannya dijatuhi hukuman penjara 17 tahun. Tidak hanya itu, empat eksekutif, termasuk regulator bank sentral, juga telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Skandal korupsi yang menjerat Lan adalah bagian dari kampanye antikorupsi berskala besar yang diluncurkan oleh sekretaris jenderal Partai Komunis, Nguyen Phu Tron, pada tahun 2016 silam.

Kampanye antikorupsi ini telah mengkibatkan pemecatan atau pemenjaraan ribuan pejabat partai dan pemimpin bisnis.

Dua presiden negara bagian, termasuk Presiden Vo Van Thuong pada bulan lalu, bahkan telah mengundurkan diri karena diduga gagal memberantas korupsi.

Kekhawatiran terhadap sektor perbankan Vietnam

Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye antikorupsi besar-besaran di Vietnam semakin menyasar perusahaan-perusahaan swasta, terutama yang bergerak di sektor keuangan.

Kampanye ini telah menciptakan citra bagi Vietnam sebagai negara yang serius memberantas penyakit korupsi yang tersebar luas di banyak negara Asia Tenggara.

Namun di saat yang sama, peringkat Vietnam dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Transparency International turun dari 42 menjadi 41. Dari skala 0-100, 0 berarti sangat korup.

Besarnya skala korupsi yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir juga memunculkan pertanyaan tentang seberapa rusak sebenarnya sistem perekonomian Vietnam, terutama mengingat betapa mudahnya bagi Lan dan rekan-rekannya mencuri uang senilai €11 miliar dari bank swasta.

Selain kasus Lan, sidang kasus penipuan besar lainnya juga kemungkinan akan mulai digelar tahun ini. Kasus tersebut melibatkan Trinh Van Quyet, mantan ketua pengembang real estat FLC Group.

Penyelidikan terhadap kasus tersebut sudah selesai pada bulan Februari, dan jaksa penuntut umum kini tengah berupaya mendakwa 51 orang yang diduga terlibat dalam skandal tersebut.

Upaya pemberantasan korupsi di Vietnam juga dinilai berpengaruh terhadap pengambilan keputusan di tingkat daerah. Para pejabat negara dilaporkan semakin takut dituduh melakukan kesalahan sehingga mereka kini ragu-ragu mengambil keputusan yang berisiko, terutama terkait proyek infrastruktur.

Pasalnya, keputusan yang salah bisa memicu pengeluaran ekstra, yang bisa berujung pada tuduhan hilangnya uang negara.

gtp/as