1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KriminalitasIndonesia

Trauma Pelecehan Seksual pada Anak Bertahan Lebih Lama

A. Kurniawan Ulung
8 September 2021

Sekitar 90% pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak ialah orang yang mereka kenal. Trauma pada anak bisa berlangsung lebih lama dan semakin intens saat mereka kembali melihat pelaku.

https://p.dw.com/p/4029W
Gambar ilustrasi kekerasan terhadap anak
Gambar ilustrasi kekerasan terhadap anakFoto: Imago Images/imagebroker

Sutradara dan produser Angga Sasongko baru-baru ini mengeluarkan pernyataan melarang karya filmnya untuk anak-anak, seperti Nussa dan Keluarga Cemara, ditayangkan di stasiun televisi yang menghadirkan penyanyi dangdut yang juga mantan narapidana pencabulan anak di bawah umur.

"Kami menghentikan semua pembicaraan kesepakatan distribusi film Nussa & Keluarga Cemara dengan stasiun TV terkait karena tidak berbagi nilai yang sama dengan karya kami yang ramah anak," ujar Angga di laman media sosialnya.

Langkah ini diambilnya sebagai protes dan ungkapan kekecewaan karena glorifikasi di hari kebebasan mantan narapidana tersebut. Bagi pemilik rumah produksi Visinema itu, mengundang pelaku pencabulan anak sebagai bintang tamu sama artinya dengan tidak menghormati korban-korban kejahatan seksual.

Trauma anak lebih besar, lebih marah dan kecewa

Firesta Farizal, psikolog anak yang juga direktur klinik psikologi dan pusat terapi anak Mentari Anakku, mengatakan bahwa jika korban pelecehan dan pencabulan masih dalam usia anak, kekhawatiran dan ketakutan untuk menceritakan kekerasan seksual yang mereka alami lebih besar.

Alasannya bermacam-macam, termasuk ancaman dari pelaku. Akibat dipaksa diam oleh pelaku, korban anak di bawah umur pun cenderung mengalami kekerasan seksual berkali-kali.

Sementara Gisella Tani Pratiwi, psikolog anak dari Yayasan Pulih, juga menegaskan bahwa efek trauma pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual bisa berlangsung lama. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa trauma ini bisa semakin intens saat korban kembali melihat pelaku, baik secara langsung maupun tidak langsung di layar kaca.

"Korban bisa kembali merasa takut dan merasa cemas, meskipun pelaku, secara legal hukum, telah menjalani konsekuensi dari perilakunya," kata Gisella kepada DW Indonesia. Korban merasa lebih marah dan kecewa jika orang yang telah melecehkannya secara seksual kembali diterima oleh masyarakat, bahkan disambut dan kembali dipuja.

Dampak selanjutnya ialah proses pemulihan luka psikologis yang korban sedang jalani bisa mengalami kemunduran. Ia mencontohkan bahwa kualitas tidur korban yang sebelumnya telah membaik karena mendapatkan pendampingan psikologis, bisa kembali memburuk.

Kesadaran orang tua semakin meningkat

Gisella mengatakan, masih banyak orang yang belum sepenuhnya memahami tindak kejahatan seksual. Menurutnya, jika dibiarkan dan tidak diedukasi orang-orang ini bisa menjadi permisif terhadap pelaku pencabulan.

"Padahal kita tahu bahwa kekerasan seksual itu bentuknya macam-macam. Tidak hanya perkosaan dan pelecehan, tetapi juga ada kekerasan yang berbentuk verbal," ungkap Gisella.

Namun Gisella mengatakan bahwa saat ini semakin banyak orang yang secara terbuka membela korban kekerasan seksual. Mereka juga dengan tegas mengecam segala bentuk glorifikasi terhadap pelaku kejahatan seksual. Ini adalah suatu bentuk kemajuan, menurut Gisella. 

Semakin banyaknya informasi tentang kekerasan seksual di era media sosial seperti saat ini membuat pemahaman masyarakat semakin baik. Dampaknya, semakin banyak orang tua yang langsung mencari pertolongan psikologis begitu mengetahui anaknya menjadi korban kekerasan seksual.

"Saya melihat bahwa ada peningkatan awareness di kalangan orang tua, meskipun memang belum merata," kata Gisella.

Sekitar 90% dilakukan orang dekat

Firesta dari klinik psikologi Mentari Anakku menjelaskan bahwa pengalaman kekerasan seksual setiap anak berbeda-beda dan tidak bisa digeneralisasi. Namun jika pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti anggota keluarga, proses penanganan psikologisnya lebih sulit dilakukan karena telah rusaknya kepercayaan anak terhadap sosok yang selama ini mereka percaya.

"(Pengalaman menjadi korban kekerasan dari orang terdekat) lebih menyakitkan," ujar Firesta kepada DW Indonesia.

Angka pelecehan terhadap anak di bawah umur oleh orang yang mereka kenal memang bukan main-main besarnya. Menurut psikolog Gisella Tani Pratiwi, sekitar 90% pelaku kekerasan seksual terhadap anak ialah orang-orang yang mereka kenali dan bahkan memiliki hubungan yang dekat dengan mereka, termasuk guru dan pemuka agama.

Proses penanganan kasus pun akan sangat sulit dan kompleks jika pelaku adalah anggota keluarga, terutama pencari nafkah.

Gisella mengatakan bahwa berdasarkan pengalamannya dalam menangani berbagai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kepada anaknya, misalnya, ibu yang mengetahui kejahatan tersebut sering kali berada pada posisi yang dilematik. Sehingga, respons dari mereka berbeda-beda.

"Ada respons-respons yang mendukung anaknya, tetapi ada juga respons-respons yang secara spontan malah menyudutkan anaknya. Mungkin karena dia (ibu) syok atau bingung. Itu kompleksitasnya," ujar Gisella.

Meski demikian, psikolog Firesta menjelaskan bahwa luka psikologis yang dialami anak yang menjadi korban kekerasan seksual bisa dipulihkan apabila traumanya ditangani dengan tepat.

"Mungkin bekas lukanya tetap ada, tetapi (korban) bisa dibantu untuk menjalankan fungsi kesehariannya dengan sesuai sehingga (bekas luka tersebut) tidak mengganggu masa depannya nanti," ungkap Firesta.

Senada dengan Firesta, Gisella mengatakan bahwa pemulihan trauma psikologis memang tidak mudah dilakukan, tetapi sangat mungkin tercapai asalkan orang-orang di sekitar korban ikut membantu prosesnya.

"Manusia diberi kemampuan untuk pulih dan bounce back. Setiap manusia memiliki resilience, yang artinya faktor daya tahan dan daya juang untuk menghadapi dan bahkan melampaui kondisi yang sangat sulit sekalipun," kata Gisella. 

Keberpihakan stasiun TV kepada pelaku kejahatan seksual dipertanyakan

Kembali ke glorifikasi terpidana pencabulan anak yang belakangan ini ditayangkan oleh stasiun televisi, Firesta sangat menyayangkan hal ini. Kejahatan seksual telah meninggalkan trauma yang mendalam bagi korban.

Saat pelaku kembali diundang tampil di stasiun TV dan disaksikan oleh korban, memori kejahatan seksual yang pelaku lakukan kepada korban bisa muncul kembali dan efek-efek traumatisnya juga ikut muncul, seperti menyakiti diri sendiri dan menarik diri dari lingkungan sekitarnya.

Karena itu, Firesta sangat menyayangkan ketika pelaku kejahatan seksual disambut dengan meriah setelah menyelesaikan masa hukumannya, dan kemudian kembali diberi panggung oleh media dan stasiun TV. Firesta menjelaskan, sambutan tersebut akan memburamkan siapa yang benar dan siapa yang salah, dan akibatnya, luka psikologis korban tidak hanya muncul kembali, tetapi juga semakin mendalam.

Glorifikasi terhadap pelaku kejahatan seksual yang ditunjukkan oleh stasiun TV dikhawatirkan juga akan membuat masyarakat yang menonton acara mereka berpikir bahwa kejahatan seksual bisa ditoleransi dan dimaafkan.

Hal tersebut, kata Firesta, bisa membuat semakin banyak korban tidak berani mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya dan melaporkan pelaku.

"Bagi korban, melaporkan itu bukan suatu hal yang mudah. Ada pergulatan batin, kekhawatiran, dan kecemasan di dalam diri mereka ketika melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual," kata Firesta kepada DW Indonesia. (ae)