1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Transplantasi Tinja Untuk Sembuhkan Penyakit

Gudrun Heise
16 September 2020

Orang jarang membicarakan usus dan tinja. Padahal usus adalah organ terpenting tubuh. Jika fungsinya terganggu, bisa muncul masalah serius. Kadang transplantasi tinja bisa menyembuhkan.

https://p.dw.com/p/3iUyn
Symbolbild Grafik Darm Verdauungssystem
Ilustrasi: Sistem pencernaan manusia sangat menakjubkan dan jadi sumber inspirasi untuk banyak riset medis.Foto: Imago Images/Science Photo Library

Jarang orang membicarakan tinja atau kotoran manusia secara serius. Bahkan kebanyakan merasa jijik jika membahas tema ini. Namun dalam dunia kedokteran, sistem pencernaan dan tinja jadi tema riset penting. Apa yang disebut riset mikrobiom, setelah bertahun diabaikan kini mulai jadi topik penting.

Mikrobiom ibaratnya sidik jari yang unik untuk setiap inividu. Dalam usus tiap manusia hidup milyaran bakteri dan mikroorganisme lainnya. “Mikrobiom menjelaskan semua gen dari mikroorganisme yang menghuni tubuh manusia“, ujar Maria Vehreschild pimpinan bagian infeksiologi di Rumah Sakit Universitas Frankfurt. 

“Organismenya disebut mikrobiota dan memainkan peranan sangat penting dalam meregulasi fungsi tubuh manusia. Nyaris tidak ada organ tubuh yang fungsinya tidak terpengaruh komposisi mikrobiom“, papar pakar infeksiologi Vareschild. Bagaimana komposisi flora usus itu, tercermin dari kotoran atau tinja yang dikeluarkan tubuh.

Misteri Flora Usus Yang Pengaruhi Kesehatan

Karena itu para ilmuwan dalam beberapa tahun terakhir menetapkan berbagai istilah ilmiah yang menjelaskan poros organ tubuh dengan mikrobiom. “Ada poros usus-otak, poros usus-hati atau poros usus-ginjal. Poros ini menunjukkan adanya interaksi antara mikrobiota dengan beragam organ tubuh“, demikian kata pakar mikrobiom itu.

Terapi transplantasi tinja

Terkait interaksi mikrobiom dengan berbagai organ tubuh, adalah logis jika dunia medis kini membidik tema ini untuk tujuan terapi atau pengobatan. Sejauh ini transplantasi tinja atau Fecal Microbiota Transplantation-FMT masih dikategorikan dalam tahapan riset, dan hanya diterapkan dalam kasus sangat terbatas.

Salah satunya yang sudah dilakukan dalam koridor “upaya pengobatan pribadi“ adalah transplantasi tinja untuk pengidap infeksi Clostridium difficile. Infeksi bakteri ini menyebabkan radang usus dan memicu diare berdarah-darah. Penyebabnya adalah pemberian antibiotika yang membunuh sejumlah “bakteri baik“ dan menyisakan bakteri Clostridium difficile, yang kemudian berkembang biak dan menyebar. 

Bakterien der menschlichen Darmflora
Sekitar 50% massa tinja manusia terdiri dari koloni bakteriFoto: Imago/Science Photo Library

Dalam kondisi tidak ada lagi rujukan cara pengobatan konvensional, maka transplantasi tinja bisa dilakukan. Prosedurnya sangat ketat dan rumit, jauh lebih ketat dari transfusi darah. Sebelum dilakukan transplantasi, pendonor dan resipien atau penerima, harus melewati sejumlah tes medis maupun wawancara. 

“Jika semua cocok, donor datang ke laboratorium untuk menyumbangkan tinjanya. Kemudian tinja diolah dengan cara difilter dan disentrifugal, untuk mendapatkan bakteri yang diperlukan. Selanjutnya bakteri dimasukkan kapsul untuk diberikan kepada pasien bersangkutan“, demikian peneliti mikrobiom medis Vareschild menggambarkan prosedurnya.

Belum mendapat izin prosedural

Walaupun metode pengobatan dengan cara transplantasi tinja bagi pasien penderita infeksi Clostridium difficile menunjukan keberhasilan hingga 75%, sejauh ini dinas kesehatan di Jerman belum memberikan izin penggunaan prosedurnya secara luas. 
 
Juga diakui karena metodenya relatif baru, masih banyak riset yang perlu dilakukan untuk penerapan metode Fecal Microbiota Transplantation-FMT ini. Terutama untuk mencegah transmisi penyakit lain yang berbahaya, yang terbawa oleh kotoran manusia alias tinja. Misalnya apakah ada kemungkinan metode ini justru memicu munculnya penyakit kanker, yang diuntungkan dengan konstelasi mikrobiom dan flora usus tertentu. 

Sejauh ini, metode FMT hanya dilakukan, jika metode konvensional lainnya gagal mengatasi penyakit yang diketahui muncul akibat tergangguya poros usus dan organ tubuh lain. Itupun harus dilakukan dengan tatacara sangat ketat dan rumit, untuk meminimalkan efek negatif yang mungkin muncul.

(as/hp)