1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

TBC Meningkat Setelah Pandemi, WHO Beri Pengobatan Singkat

7 April 2023

Menurut Kementerian Kesehatan, jumlah penderita TBC terus meningkat akibat penyebaran yang masif saat pandemi. Hingga kini, penderitanya masih kerap alami diskriminasi.

https://p.dw.com/p/4Pnf2
Gambar ilustrasi paru-paru penderita TBC
Gambar ilustrasi paru-paru penderita TBCFoto: Silas Stein/dpa/picture alliance

Setelah COVID-19 mereda, banyak orang melupakan penyakit Tuberkulosis (TBC) atau TB yang masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat Indonesia. Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan TBC di peringkat no.1 sebagai penyakit menular paling mematikan sedunia.

Berdasarkan data global, Indonesia menempati peringkat kedua dengan beban TBC terbanyak setelah India dengan kasus terbanyak 969.000 dan kematian mencapai 144.000 kasus. Sementara baru sekitar 74% yang berhasil terdeteksi atau sekitar 717.000 kasus.

Beban kasus TBC tertinggi pada tahun 2022 terjadi di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan DKI Jakarta.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, mengatakan estimasi penderita TBC terus meningkat akibat jumlah penyebaran yang masif saat pandemi COVID-19, sedangkan masa itu penemuan kasus sulit dilakukan.

"Penularan terus terjadi di masa pandemi sehingga sekarang meningkat angkanya. Sulit mendeteksi TB karena gejala yang mirip dengan COVID-19. Semua juga terfokus dengan COVID-19 saat itu," ujar Imran Pambudi dalam webminar oleh Kementerian Kesehatan, Kamis (06/04).

TBC pada anak juga meningkat

Selain itu, penemuan kasus TBC pada anak juga meningkat drastis mencapai 100.726 kasus pada tahun 2022. Jumlah ini, meningkat hampir 200% dibandingkan tahun 2021 yakni 42.187 kasus TBC pada anak.

"Peningkatan pada anak dua kali lebih tinggi dibandingkan dewasa karena kontak erat dengan penderita dewasa," kata dia.

Sementara kasus TBC resisten obat (RO) terdeteksi pada 2022 sebanyak 12.794 kasus. Dari jumlah tersebut, hanya 7.800 orang yang memulai pengobatan.

Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang telah kebal terhadap salah satu atau lebih obat anti-tuberculosis lini pertama. Panduan pengobatan TB RO saat ini menggunakan short term regimen (STR) dengan waktu 9-12 bulan dan long term regimen (LTR) berdurasi 20-24 bulan.

Penyebabnya, pasien tidak teratur menelan obat sesuai panduan atau menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya. 

Pasien TBC masih kerap hadapi stigma

Ani Herna Sari, seorang penyintas TB resisten obat (RO) masih ingat betul ketika dirinya menderita penyakit itu 12 tahun silam. Ia bercerita mulai mengalami batuk berkepanjangan pada awal 2011. Setelah menjalani pengobatan oleh sejumlah dokter di beberapa RS, dia didiagnosis menderita TBC.

Ani dianjurkan meminum obat jangka panjang. Namun setelah meminumnya beberapa minggu, ia mengalami batuk darah. Singkat cerita Ani didiagnosa TB RO sehingga harus disuntik dan meminum obat lebih dari 15 pil tiap harinya dalam jangka waktu 9 bulan hingga 24 bulan.

"Obatnya sangat kejam dan sangat membuat menderita. Dibutuhkan kemampuan untuk melakukan pengobatan panjang. Selain mual, kulit menjadi hitam dan kaki sangat berat, obatnya juga membuat pasiennya berhalusinasi," kata dia yang saat ini menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Rekat Peduli Indonesia - Komunitas penderita TBC di Indonesia.

Beberapa bulan setelah meminum obat, ia hamil dan terpaksa melahirkan 2 bulan lebih cepat dari hari perkiraan lahir.

"Anak saya terlahir prematur, saya juga mendapatkan stigma dan diskriminasi saat di IGD, dalam status RS sudah tahu saya pasien TB dan dokter pada lari nyari masker, saya dimasukkan ke ruang isolasi dan harus berganti pakaian di ruangan yang terbuka, bayi saya juga diperlakukan berbeda dan tidak diurus," ujar dia.

Penyintas TB RO lainnya, Aryudiht, 29, menceritakan ia kali pertama menderita TBC tahun 2021. Namun dirinya tak menjalankan pengobatan secara tuntas, hanya 5 bulan dari 6 bulan yang dianjurkan.

Pada Mei 2022, Aryudiht kembali mengidap penyakit yang sama dan setelah menjalani cek darah, rontgen, ia kembali didiagnosis menderita TB RO.

"Saya sempat dirawat di RS Persahabatan selama 1 minggu karena mengalami batuk darah dan disarankan menjalani pengobatan BPaL. Awalnya takut karena dari beberapa informasi efeknya berat. Namun BPaL tidak berat, efek samping yang saya alami hanya mual di awal dan kaki kebas di akhir pengobatan," kata dia.

Setelah 2 minggu mengonsumsi, batuk dan dahak berkurang jauh dan akhirnya dia dinyatakan sembuh setelah 6 bulan menjalani pengobatan.

Pengobatan dalam waktu lebih singkat

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Erlina Burhan, menjelaskan Bedaquiline, Pretomanid dan Linezolid (BPaL) menjadi regimen pengobatan baru untuk TB RO yang ditemukan pada 2018 yang diharapkan menjadi jalan singkat untuk penderita TB RO.

"Sebelumnya, banyak yang menangis, sedih, obat banyak, berbulan-bulan, efek samping banyak dan ga kuat ini jawaban untuk semua itu. Ini inovasi untuk pengobatan TB," menurut Erlina Burhan.

Ia menjelaskan, pengobatan BPaL ini mempersingkat terapi menjadi hanya 6 bulan dengan semua regimen oral. Jumlah obatnya hanya 4 butir saja dengan efikasi 90%. Berbeda dengan STR dan LTR yang obatnya bisa mencapai 7 hingga 15 butir obat.

"Dengan ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien lebih tinggi, tingkat kambuh lebih rendah dan keberhasilan yang tinggi," kata dia. 

Perang Berkepanjangan Melawan Bakteri TBC

BPaL diluncurkan pada April 2022, dan mulai digunakan pada Juni 2022 pada pasien di RS Persahabatan. Hingga 31 Maret 2023, terdapat 87 pasien telah diikutsertakan dalam operational riset pengobatan dengan BPaL ini.

Saat ini, sudah ada 15 rumah sakit di 4 provinsi yang sudah menerapkan pengobatan dengan regimen BPaL ini. Beberapa diantaranya adalah RSUP Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, RSU Islam Cempaka Putih, dan RSUD Cilincing.

Kriteria pasien yang bisa mendapatkan BPaL antara lain yaitu pasien TB RO yang mengalami intoleransi terhadap pengobatan sebelumnya atau tidak respon terhadap pengobatan, berusia 18 tahun ke atas, dan punya berat badan lebih dari 35 kg.

Ini tentunya menjadi harapan baru bagi penderita TBC karena seperti yang dikatakan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin: Penyakit TBC merupakan pandemi terlama dan programnya sudah berjalan lama dengan biaya yang sangat tinggi. (ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.