1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikIndia

Apa Ambisi dan Target Iklim India di COP28 Dubai?

Krithiga Narayanan | Wesley Rahn
7 Desember 2023

Pada konferensi iklim PBB COP28 di Dubai, India memposisikan dirinya sebagai pemimpin suara negara-negara Selatan. Apa ambisi India dengan mengambil peran sebagai wakil kepentingan negara-negara berkembang?

https://p.dw.com/p/4Zsbl
PM India Narendra Modi diapit Sekjen PBB (kiri) dan Presiden UEA Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahya (kanan) di Dubai
PM India Narendra Modi diapit Sekjen PBB (kiri) dan Presiden UEA Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahya (kanan) di Dubai Foto: Mahmoud Khaled/Reuters

Konferensi iklim COP28 di Dubai sedang menyusun Global Stocktake (GST) yang pertama. GST bertujuan untuk menilai posisi dunia delapan tahun setelah penandatanganan Perjanjian Paris pada tahun 2015 terkait pengurangan emisi gas rumah kaca dan cara mengatasi kesenjangan dalam aksi iklim. Perjanjian Paris bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri.

Sebuah laporan dari pemerintah India yang menguraikan pendekatannya terhadap GST menyerukan negara-negara maju untuk menanggung lebih banyak beban dalam membantu negara-negara miskin memenuhi dan membiayai tujuan-tujuan iklim yang telah disepakati.

Laporan yang diserahkan menjelang COP28 kepada badan perubahan iklim PBB, UNFCC, menekankan bahwa "komunitas rentan yang secara historis berkontribusi paling sedikit terhadap perubahan iklim saat ini adalah kelompok yang paling terkena dampaknya.”

"Pembagian beban mitigasi yang setara antara negara-negara maju dan berkembang adalah tidak adil dan tidak adil jika tanggung jawab masing-masing terhadap konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diperhitungkan,” kata laporan itu.

Dalam mengembangkan aksi iklim di masa depan, India menekankan bahwa GST harus "memobilisasi dukungan yang diperlukan dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang” untuk "meningkatkan ambisi aksi iklim.”

"Negara-negara maju harus memenuhi apa yang sudah menjadi komitmen mereka dan harus memastikan tidak ada beban yang tidak semestinya yang terus membebani negara-negara berkembang,” kata laporan itu.

COP28 climate talks in United Arab Emirates draw controversy

India ingin pertahankan batubara

Berdasarkan Perjanjian Paris, para penandatangan memberikan kontribusi yang ditentukan secara nasional, yang disebut NDC, untuk mencapai tujuan pengurangan emisi. Salah satu butir NDC India adalah janji untuk memiliki 50% dari "kapasitas terpasang tenaga listrik kumulatif” yang berasal dari bahan bakar non-fosil pada tahun 2030. NDC India juga menyerukan mobilisasi pendanaan yang lebih baik dari negara-negara maju untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi.

Promit Mookherjee, peneliti yang berfokus pada transisi energi karbon di lembaga pemikir Observer Research Foundation (ORF) di New Delhi, mengatakan kepada DW, India berada "di jalur yang tepat” untuk memenuhi NDC-nya.

Namun, meskipun berjanji untuk memperluas penggunaan bahan bakar non-fosil dan energi terbarukan, India tetap teguh pada keputusannya untuk tidak menghentikan penggunaan listrik berbahan bakar batu bara dalam waktu dekat.

Menjelang COP28, Menteri Luar Negeri India Vinay Kwatra pada konferensi pers di New Delhi mengatakan, India belum bisa meninggalkan batu bara karena alasan ekonomi dan pembangunan, demikian yang dilaporkan surat kabar Indian Express.

India juga tidak bergabung dengan 118 negara lain di COP28 yang menandatangani "Ikrar Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi Global,” yang bertujuan untuk melipatgandakan kapasitas pembangkit energi terbarukan global menjadi 11.000 GW pada tahun 2030.

"Negara-negara berkembang bergantung pada batubara untuk pembangunan,” kata Mookherjee. "Biaya teknologi untuk transisi energi sangatlah tinggi, sehingga penghapusan batu bara secara bertahap akan menyebabkan kemiskinan energi. Dekarbonisasi harus dilakukan secara adil,” tambahnya.

Pada paruh pertama tahun 2023, India menghasilkan 500 juta ton CO2 dari pembakaran batu bara berkualitas rendah, meningkat sebesar 4% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022. Menurut data dari lembaga think tank Ember, India "berada sudah berada di jalur yang tepat" untuk mencatat rekor emisi batu bara tahunan.

Secara absolut, India adalah penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia, meskipun secara per kapita, emisi negara Asia Selatan ini jauh lebih rendah dibandingkan AS atau Cina.

Serukan 'keadilan' iklim dalam hal kerugian dan kerusakan

India juga menyerukan agar konsep "keadilan” iklim dimasukkan dalam rencana aksi iklim di masa depan. Konsep ini mengakui adanya ketimpangan beban perubahan iklim di berbagai negara, sekaligus memastikan setiap negara dapat memperoleh manfaat dari hasil kebijakan iklim kolektif. Laporan India menyebutkan, skenario pemodelan dampak pemanasan global yang berkelanjutan saat ini "tidak mencakup sejauh mana ketidakadilan yang terjadi di kawasan yang mendasari skenario global."

"Pedoman yang disepakati bersama untuk mengoperasionalkan kesetaraan perlu dirancang dalam GST,” kata laporan itu. Selanjutnya disebutkan, kesetaraan "masih dalam pembahasan dan masih belum meyakinkan” karena negara-negara maju bersikukuh bahwa "tidak ada mandat” dalam Perjanjian Paris untuk "membahas masalah yang berkaitan dengan operasionalisasi ekuitas."

Permasalahan yang sering terjadi dalam pembagian beban antara negara maju dan berkembang meluas, khususnya, pada pendanaan kolektif untuk langkah-langkah adaptasi dan mitigasi. Pada peluncuran COP28 pada tanggal 30 November lalu, Dana Kerugian dan Kerusakan, LDF, yang telah lama diperdebatkan mulai dioperasikan. LDF akan didanai oleh lebih dari selusin negara kaya, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman, untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara miskin yang terkena dampak bencana akibat perubahan iklim. Janji awal untuk LDF berjumlah sekitar US$725 juta, yang menurut banyak orang tidak akan cukup.

India sejauh ini menolak memberikan kontribusi finansial pada LDF, dengan alasan tingginya emisi yang terjadi baru-baru ini, dan menyebutkan ada "tanggung jawab historis” negara-negara maju untuk membayar kerusakan iklim. India dan Cina sejauh ini mengklaim bahwa mereka, sekalipin mencatat angka pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia, masih berstatus "negara berkembang.”

India juga mengeritik keputusan membiarkan Bank Dunia menangani LDF untuk jangka waktu empat tahun. Banyak negara berkembang yang menuntut pembentukan lembaga baru untuk menangani dana ini.

"Tidak ada konsensus yang jelas mengenai berapa banyak dana yang akan dikucurkan dan siapa yang akan memberikan dana ke kas ini. Kita juga perlu memperluas pendanaan ini dari jutaan menjadi triliunan untuk mitigasi dan adaptasi iklim yang efektif,” kata Mookherjee.  (hp/as)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.