1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakTajikistan

Tajikistan: Kemiskinan Perempuan Suburkan Praktik Poligami

Madina Shogunbekova
24 Agustus 2023

Himpitan ekonomi mendorong semakin banyak perempuan Tajikistan untuk berpoligami, terutama setelah perceraian. Fenomena tersebut memperkuat stigma sosial dan dikhawatirkan bisa menormalisasi diskriminasi lintas generasi.

https://p.dw.com/p/4VUFK
Pernikahan di Tajikistan
Pengantin perempuan di TajikistanFoto: Boaz Rottem/IMAGO

Amina, perempuan muda dari Isfara di Tajikistan, dinikahkan kedua orang tuanya ketika masih berusia belasan. 

"Mereka memilihkan suami untuk saya. Saya sendiri tidak mengenal wajahnya, tapi saya tahu dia dua tahun lebih tua,” kata Amina. Tidak lama setelah pernikahan, sang suami bertolak ke Rusia untuk bekerja.

"Awalnya dia datang setahun sekali. Namun, kemudian tidak datang lagi. Akhirnya, saya tahu dia sudah menikah lagi dan hidup bersama keluarganya yang baru. Saya harus menceraikannya karena dia sudah tidak lagi menginginkan saya dan anak-anak saya,” tuturnya.

Amina akhirnya setuju menjadi istri ketiga seorang pria berusia 46 tahun, yang "dengan senang hati membantu” secara finansial. Suaminya menghadiahkan sebuah apartemen dan mobil, serta membantu Amina membuka usaha salon dan pakaian.

Poligami sebagai pilihan 

Angka pernikahan poligami sedang meningkat sejak beberapa tahun terakhir di Tajikistan. Di sana, ikatan poligami direstui agama, tapi tidak diakui oleh negara.

Penyebabnya kebanyakan adalah kondisi ekonomi, yang turut mendorong kaum pria mencari nafkah untuk keluarga di luar negeri.

Sebanyak satu dari sembilan juta populasi Tajikistan saat ini tercatat bekerja di negeri orang. Hasil devisa dari pengiriman tenaga kerja ke luar negeri rata-rata mewakili antara 20-30% pada pendapatan tahunan negara, menurut data Bank Dunia dan Forum Ekonomi dunia (WEF).

Menurut pegiat hak perempuan, hak pria menikah lebih dari sekali memang acap didukung kaum  perempuan yang sedang menjanda. Sebagian besar melihat pernikahan sebagai jalan untuk membiayai diri dan anak-anak. 

Adapun mereka, yang menghendaki poligami, rata-rata berasal dari kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi.

Pemerintah Tajikistan cenderung mendiamkan poligami karena mengkhawatirkan kemiskinan. "Jika ada upaya serius untuk menghentikan poligami, banyak perempuan yang akan jatuh ke bawah garis kemiskinan,” kata pegiat perempuan dan ahli psikologi, Firuza Mirzoyeva.

Perempuan Asia: Makna Pernikahan

Ancaman kemiskinan

Menurut direktur yayasan kesehatan publik dan HAM di Tajikistan itu ada beberapa alasan kenapa praktik poligami kembali marak. "Bagi banyak perempuan di pedesaan yang tidak mendapat akses pendidikan tinggi, menjadi milik pria adalah satu-satunya cara bertahan secara finansial.”

Pernikahan poligami menjamin "keselamatan” dan status sosial bagi perempuan menjanda. "Masyarakat punya pandangan negatif terhadap perempuan lajang atau janda, serta merendahkan mereka sebagai ‘babu tua'. Bahkan jika perempuan bisa sukses dan independen, masyarakat tetap tidak akan mengakui.”

Poligami tetap diminati meski tidak memberikan perlindungan hukum bagi perempuan. "Hanya anak-anak hasil pernikahan saja yang bisa diakui dan mendapat tunjangan,” dalam kasus perceraian, kata Mirzoyeva.

Terlebih, "satu generasi anak-anak yang lahir di keluarga poligami akan selamanya dihantui prasangka sosial.”

Namun begitu, "nasib tidak memberi pilihan lain,” kata Manizha, janda 19 tahun di kawasan Hisor di barat Tajikistan. "Keluarga dan masyarakat tidak lagi menerima saya,” ujarnya.

"Itulah tradisi, jika Anda menjanda, Anda hanya pantas untuk menjadi istri kedua.”

(rzn/hp)