1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Studi: Asal-usul Toleransi Laktosa Selama Ini Ternyata Salah

Esteban Pardo
29 Juli 2022

Hanya sepertiga orang dewasa saat ini yang dapat mencerna laktosa. Selama bertahun-tahun, peneliti berasumsi manusia mengadopsi kemampuan ini ketika nenek moyang mulai minum susu. Studi baru mengungkap cerita berbeda.

https://p.dw.com/p/4EoF8
Foto ilustrasi produk susu sapi
Industri susu global menggunakan sekitar 1,5 miliar sapi dan bernilai hampir 830 miliar dolar AS pada tahun 2020Foto: Edwin Remsberg/VWPics/imago images

Bagi Anda yang mengalami intoleransi laktosa, Anda tidak sendirian. Tahukah Anda? 5.000 tahun yang lalu, kebanyakan manusia juga tidak toleran terhadap laktosa.

Sebuah studi baru yang diterbitkan pada Rabu (27/07) dalam jurnal Nature oleh University of Bristol dan peneliti University College London menemukan bahwa kemampuan orang untuk mencerna laktosa menjadi umum hampir 5.000 tahun kemudian dibanding tanda-tanda pertama manusia mengonsumsi susu pada medio 6.000 SM.

Mereka juga menemukan bahwa dengan menggunakan metode pemodelan komputer baru, konsumsi susu bukanlah alasan peningkatan toleransi terhadap laktosa. "Susu tidak membantu sama sekali," kata penulis studi Mark Thomas, seorang peneliti University College London, kepada DW.

"Saya senang dengan metode pemodelan statistik yang kami kembangkan. Sejauh yang saya ketahui, belum ada yang melakukan itu sebelumnya," kata Thomas.

Apa itu intoleransi laktosa?

Semua bayi biasanya dapat mencerna laktosa. Namun, bagi sebagian besar dari mereka, kemampuan ini akan mulai berkurang setelah mereka berhenti menyusu. Saat ini sekitar dua pertiga orang tidak memiliki laktase, yang berarti mereka tidak dapat mencerna laktosa, gula utama dalam susu.

Orang yang laktase non-persistent tidak dapat menghasilkan enzim yang disebut laktase untuk memecah laktosa. Ketika enzim ini tidak ada, laktosa bebas melakukan perjalanan ke usus besar, di mana bakteri berpesta di atasnya. Hal ini dapat menyebabkan efek samping yang tidak menyenangkan, seperti kram, kentut, atau diare. Gejala-gejala ini disebut intoleransi laktosa.

Hasil studi yang mengejutkan

Hasil penelitian ini bertentangan dengan kepercayaan luas bahwa konsumsi susu sejak nenek moyang prasejarah kita menyebabkan evolusi variasi genetik yang memungkinkan mereka mencerna laktosa bahkan setelah dewasa.

Asumsi ini sebagian dapat ditelusuri ke pemasaran dugaan manfaat kesehatan dari toleransi laktosa. Selama bertahun-tahun, perusahaan susu, dokter, dan bahkan ahli gizi telah menjajakan susu dan produk susu sebagai suplemen penting vitamin D dan kalsium serta sumber air bersih yang baik. Namun, para peneliti dengan cepat menolak ide-ide ini setelah menganalisis sejumlah besar DNA dan informasi medis orang-orang di Inggris. 

Mengapa persistensi laktase berevolusi?

Studi genetik menunjukkan bahwa persistensi laktase adalah "sifat gen tunggal yang paling kuat dipilih untuk berevolusi dalam 10.000 tahun terakhir," kata Thomas.

Pada sekitar 1.000 SM, jumlah manusia yang mampu mencerna laktosa, yang dikodekan dalam satu gen, mulai meningkat pesat. Setelah menemukan bahwa konsumsi susu tidak berada di balik ledakan pertumbuhan ini, para peneliti menguji dua hipotesis alternatif.

Satu hipotesis adalah bahwa ketika manusia terpapar lebih banyak patogen, gejala intoleransi laktosa yang dikombinasikan dengan agen infeksi baru bisa menjadi mematikan.

Kontes Tahunan Memilih Ratu Sapi di Jerman

"Kami tahu bahwa paparan patogen akan meningkat selama 10.000 tahun terakhir seiring dengan meningkatnya kepadatan populasi, karena orang hidup lebih dekat dengan hewan peliharaan mereka," ungkap Thomas.

Fakta salah lainnya yang kita pikirkan 

Hipotesis lainnya berkaitan dengan kelaparan. Ketika tanaman yang ditanam oleh populasi prasejarah yang tidak toleran terhadap laktosa gagal, susu dan produk susu menjadi satu-satunya pilihan makanan mereka.

"Jika Anda orang sehat, Anda terkena diare. Ini memalukan. Jika Anda kekurangan gizi parah dan Anda diare, kemungkinan besar Anda akan mati," kata Thomas.

Para peneliti menggunakan metode pemodelan komputer yang sama untuk memeriksa apakah ide-ide ini dapat menjelaskan evolusi persistensi laktase dengan lebih baik.

"Dan mereka melakukannya, jauh, jauh lebih baik," kata Thomas. "Semua teori yang pada akhirnya berhubungan dengan penggunaan susu ini tampaknya tidak membantu."

Studi ini sebagian besar berfokus pada populasi Eropa dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk benua lain. Sayangnya, menemukan DNA purba di negara-negara Afrika lebih sulit karena lebih panas, "dan panas adalah penentu besar apakah DNA bertahan," kata Thomas.

(rs/ha)