1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Standar Ganda Umat Agama

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
23 April 2022

Sangat mudah mengkritik dan "mengadili” agama dan umat agama lain tetapi susah sekali untuk mengkritik dan mengadili agama dan umat agama sendiri. Berikut opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/4AIq7
Parangtritis, Jawa
Ilustrasi tradisi, foto karya Rony ZakariaFoto: Rony Zakaria

Sangat mudah mengkritik dan "mengadili” agama dan umat agama lain tetapi susah sekali untuk mengkritik dan mengadili agama dan umat agama sendiri. Salah satu watak dan karakter umat agama adalah sikap standar ganda. Mereka bisa leluasa dan riang gembira "mempreteli” teks, doktrin, ajaran, diskursus, simbol, sejarah, ritual, dan tradisi agama lain tetapi murka dan tidak terima jika teks, doktrin, ajaran, diskursus, simbol, sejarah, ritual, dan tradisi agamanya sendiri dipreteli.

Mereka menganggap agama yang dianutnya sebagai satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan dunia-akhirat sementara agama lain adalah jalan kesalahan dan kesesatan dunia-akhirat.

Mereka menganggap agamanya sebagai satu-satunya yang direstui dan diridai oleh Tuhan sementara agama lain direstui dan diridai oleh setan.

Mereka menganggap peristiwa keajaiban yang dipercayai oleh umat lain sebagai mitos dan legenda tetapi peristiwa keajaiban yang terjadi dalam agamanya sebagai mukjizat dan kisah nyata.

Penulis: Sumanto
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Mereka memandang kitab suci yang dipegangi umat lain sebagai palsu dan imitasi sementara kitab suci yang mereka pedomani sebagai asli dan otentik "made-in” Tuhan.

Mereka menuduh malapetaka yang terjadi pada umat agama lain sebagai siksa dan kutukan Tuhan sementara bencana yang menimpa umat agamanya sebagai ujian Tuhan yang harus diterima dengan ketabahan dan keikhlasan.

Mereka menuduh umat lain yang "memuja-muji” benda-benda tertentu sebagai tindakan syirik atau penyekutuan Tuhan sementara apa yang mereka lakukan atas benda-benda keramat tertentu dianggap sebagai bentuk atau manifestasi ketaatan pada Tuhan.

Tidak Ada Perbedaan Substansial

Beberapa hal diatas hanyalah sekelumit contoh sikap dan karakter standar ganda umat agama. Padahal jika diamati dengan cermat dan seksama, tidak ada perbedaan esensial dan signifikan mengenai praktik ritual, ritus keagamaan, dan sistem kepercayaan yang dianut, diimani, diyakini, dan dipedomani oleh umat agama manapun, baik agama transnasional maupun agama lokal (local belief).

Misalnya, apa sih perbedaan mendasar antara kisah atau cerita-cerita rakyat (folk tales) yang berkembang di Nusantara, baik kisah-kisah keajaiban (seperti kisah proses terjadinya telaga Rawa Pening di Jawa Tengah atau asal muasal Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat) atau cerita-cerita tentang kesaktian para tokoh (misalnya, Joko Tarub, Sangkuriang, Roro Jonggrang, Putri Niwerigading, dlsb), dengan kisah-kisah/cerita rakyat masa lampau yang tertulis dalam aneka kitab suci agama, Gilgamesh, buku-buku kuno Yunani atau Mesir dan lainnya?

Kenapa umat agama bisa meyakini seratus persen cerita-cerita masa lalu, baik tentang kepahlawanan maupun kepecundangan, sebagai peristwa historis yang nyata adanya sementara cerita-cerita rakyat nusantara sebagai kisah fiktif dan legenda belaka?

Kenapa umat agama menilai kisah-kisah keajaiban Baru Klinting dan Rawa Peningnya atau Sangkuriang dan Tangkuban Perahunya sebagai cerita fiktif dan legenda belaka sementara pada saat yang sama mereka mengimani dan meyakini dengan sepenuh hati serta menganggapnya sebagai mukjizat atas kisah-kisah seperti Nabi Musa yang membelah laut, Yesus yang menghidupkan orang mati, atau Ismail yang menggores-gores pasir lalu bim salabim abra kadabra muncul sumber mata air yang kelak menjadi sumur Zamzam?

Lalu, kenapa sosok Semar, Togog, Mbilung dlsb dianggap legenda sementara Adam, Habil, Qabil dlsb dianggap nyata? Padahal mereka sama-sama tidak mengetahui dan tidak pernah menyaksikan ada-tidaknya sosok-sosok tersebut.

Kemudian, jika ada orang/umat lain yang memuja dan meyakini kekeramatan benda-benda tertentu (misalnya batu, pohon dlsb) umat agama dengan serta merta menuduh mereka telah menyembah benda tersebut dan menyekutukan Tuhan. Padahal umat agama juga melakukan hal yang sama. Mereka juga memuja dan mengeramatkan benda-benda tertentu. Misalnya hajar aswad atau ka'bah bagi umat Islam, Tembok Ratapan bagi  Yahudi, atau patung tokoh-tokoh pendiri agama tertentu bagi umat kristiani, Buddha, Hindu, dlsb.

Umat agama tentu saja tidak mau apa yang mereka lakukan itu sebagai bentuk penyembahan benda dan penyekutuan Tuhan. Mereka memandang benda-benda tersebut hanyalah simbol dari eksistensi dan kekuatan supranatural. Padahal persis seperti apa yang mereka klaim dan kemukakan, umat lain (seperti penganut kepercayaan lokal) pun sebetulnya bukan menyembah benda dan menyekutukan Tuhan karena sejatinya benda-benda itu (batu, pohon, patung, dlsb) hanyalah simbol dari eksistensi dan kekuatan supranatural itu.

Jika para penganut kepercayaan lokal dianggap "penyembah benda”, kenapa tidak semua benda mereka "sembah” dan "keramatkan”? Kenapa hanya benda-benda tertentu saja yang mereka "sembah” dan "keramatkan”? 

Pentingnya Mendalami dan Menghargai Agama dan Umat Agama Lain

Poin penting yang ingin saya sampaikan dengan paparan singkat di atas adalah setiap agama memiliki keunikan ritual keagamaan dan sistem kepercayaan. Karena itu janganlah sekali-kali menuduh agama lain sebagai sesat karena di mata umat lain, yang menuduh sesat itu juga sesat.

Pula, jangan gampang meledek ritual keagamaan umat lain sebagai "aksi gila” karena di mata umat agama lain, ritual keagamaan yang kita praktikkan juga dianggap gila. Misalnya, apa sih perbedaan substansial antara umat Yahudi yang menangis histeris di Tembok Ratapan dengan umat Islam yang juga menangis histeris di ka'bah dan hajar aswad misalnya?

Oleh karena itu umat agama tidak cukup hanya bermodal mempelajari agamanya sendiri dan masa bodoh dengan agama lain. Mereka juga perlu mempelajari, mendalami, dan menyelami agama lain agar tidak terjadi kesalahpahaman di satu sisi serta mampu menghormati dan menghargai keragamaan dan keunikan agama lain.

Inilah yang disebut dengan "pluralisme agama”, yakni sikap respek, menghargai, dan toleran-pluralis atas keragaman agama dan umat agama lain. Hanya dengan sikap dan cara pandang inilah, masing-masing umat agama bisa "menghirup udara” dengan leluasa dan mengekspresikan keagamaannya dengan bebas-merdeka tanpa diliputi kecemasan dan diiringi rasa ketakutan. Alam semesta ini diciptakan bukan untuk kelompok agama tertentu saja tetapi untuk semua umat manusia, baik yang beragama maupun bukan, karena itu mereka berhak untuk hidup aman, damai, dan sentosa di bumi persada ini.

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals)

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.