1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
ReligiTimur Tengah

Profil Pemimpin Spiritual Syiah Irak Ali al-Sistani

Kersten Knipp
6 Maret 2021

Ayatollah Agung Ali al-Sistani bukan hanya pemimpin spiritual Syiah Irak, tetapi juga tokoh politik penting. Berikut potret pria yang dikunjungi Paus Fransiskus di Najaf, Irak.

https://p.dw.com/p/3qIPr
Paus Fransiskus dan Ayatollah Ali al-Sistani
Pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Fransiskus, (kanan) bertemu pemimpin spiritual Syiah Irak Ayatollah Ali al-Sistani (kiri) di Najaf, Irak.Foto: Grand Ayatollah Ali al-Sistani office/Reuters

Pada Sabtu (06/03) Paus Fransiskus terlihat memasuki gang sempit di kota suci Najaf di Irak untuk mengadakan pertemuan bersejarah dengan ulama Syiah terkemuka di kota itu. Selain itu, ia juga mengunjungi tempat kelahiran Nabi Ibrahim, mengutuk kekerasan yang dilakukan atas nama Tuhan dan menyebut hal itu sebagai "penistaan terbesar".

"Dari tempat ini, tempat lahirnya iman, dari tanah bapak kami Ibrahim, marilah kita tegaskan bahwa Tuhan itu penyayang dan bahwa penistaan terbesar adalah mencemarkan nama-Nya dengan membenci saudara-saudari kita," ujar Paus Fransiskus di Ur, tempat kelahiran Ibrahim.

Dengan angin gurun meniup jubah putihnya, Paus Fransiskus, duduk bersama para pemimpin umat Islam, Kristen, dan Yazidi, berbicara di depan situs galian arkeologi di kota berusia 4.000 tahun ini.

Beberapa jam sebelumnya di Najaf, Paus menemui Ayatollah Agung Ali al-Sistani, kunjungan yang merupakan sinyal kuat untuk hidup berdampingan dengan damai di negara yang dilanda kekerasan itu.

Al-Sistani, 90, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam Islam Syiah, baik di dalam maupun luar Irak. Ini adalah pertemuan pertama antara seorang Paus dan ulama senior Syiah.

Setelah pertemuan bersejarah tersebut, al-Sistani meminta para pemimpin agama di dunia agar medahulukan akal sehat dibandingkan peperangan. Dia menambahkan orang Kristen harus hidup seperti semua orang di Irak, dalam damai dan hidup berdampingan.

Dalam sebuah pernyataan, Sistani berkata, "Kepemimpinan religius dan spiritual harus memainkan peran besar untuk menghentikan tragedi ... dan mendesak pihak, terutama kekuatan besar, untuk membuat kebijaksanaan dan akal sehat dan menghapus bahasa perang.” 

Ulama yang awalnya tidak ingin terlibat politik

Ali al-Sistani lahir pada tahun 1931 di kota Masyhad di Iran, dan pindah ke Irak di tahun 1951, yang menjadi tempat tinggalnya selama 70 tahun terakhir. Dia adalah teolog yang sangat dihormati, yang pertama kali mengepalai Hawza (seminari religius) yang terkenal di Najaf, dan kemudian menjadi Ayatollah Agung, pejabat Syiah paling senior di negara itu. Selama 20 tahun terakhir, karena jabatan yang dia pegang, dia secara bertahap menjadi salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Irak.

Keterlibatan Al-Sistani dalam panggung politik tidak dapat lagi dipungkiri. Namun menurutnya, ini bukanlah sesuatu yang ia inginkan, melainkan lebih cenderung karena tuntutan zaman. Sebelumnya, terutama hingga tahun 2003, ketika Amerika Serikat menginvasi Irak, dia tetap bersikap rendah hati. Muslim Syiah merupakan kelompok terbesar di Irak, dengan sekitar 60% populasi, tetapi di bawah Saddam Hussein yang menjadi penguasa Irak dari 1979 hingga 2003, kaum Syiah kerap mengalami represi dan persekusi.

Sambutan atas kedatangan Paus Fransiskus di Najaf, Irak
Sambutan atas kedatangan Paus Fransiskus di Najaf, IrakFoto: Vatican Media/Reuters

Eckart Wörtz, direktur Institut Studi Timur Tengah di Institut GIGA di Hamburg, Jerman, yang juga adalah ilmuwan politik dan sarjana Islam mengatakan: "Dalam keadaan seperti ini, al-Sistani nyaris tidak mengekspresikan dirinya secara politik," jelasnya kepada DW. "Di satu sisi, ini konsisten dengan caranya dibesarkan: Dia lahir dalam keluarga tradisional Syiah, dan lebih berkomitmen pada pandangan dunia yang tenang yang menjaga jarak dari politik."

Pemahaman konservatif atas Islam

Secara teologis, al-Sistani mewakili Islam konservatif. Di laman internetnya, dia membahas masalah-masalah agama yang dihadapi umat Islam yang taat di era globalisasi, salah satu contohnya adalah bepergian ke negara nonmuslim. Hal ini pada prinsipnya diperbolehkan, tulis al-Sistani, terutama jika tujuannya untuk menyebarkan Islam dan ajarannya - "asalkan para musafir mampu melindungi diri dan anak-anaknya dari bahaya kehilangan keyakinan mereka."

Sebagai seorang teolog, dia jelas mendukung keterbukaan terhadap dunia - tetapi dengan syarat yang jelas bahwa hal itu tidak membawa umat Islam yang beragama menjauh dari jalan yang benar.

"Berkat toleransi dan penghormatan Sistani terhadap kebebasan berpikir dan berdebat, Najaf, sebagai pusat keagamaan, menyaksikan era paling toleran dalam seluruh sejarahnya," tulis ilmuwan politik Abbas Kadhim dan Barbara Slavin pada musim semi 2020 dalam sebuah studi untuk Atlantic Council, lembaga pemikir Amerika.

Namun, benar juga bahwa di tahun 2005 al-Sistani mengeluarkan fatwa yang menyerukan kaum gay dijatuhi hukuman mati - sebuah keputusan yang dia cabut pada tahun 2011.

Fatwa menentang ISIS

Al-Sistani secara fundamental cenderung ke posisi moderat. "Secara politis, dia tampil sebagai orang yang moderat dan pragmatis," kata Eckart Woertz. "Inilah yang mendasari reputasi dan otoritasnya."

Al-Sistani pertama kali merasa perlu mengambil tindakan politik pada Agustus 2004. Saat itu, kekuatan pemimpin Syiah yang berpengaruh, Muqtada al-Sadr, terlibat dalam pertempuran sengit dengan militer AS di Najaf. Selama konflik, mereka membarikade diri di dalam Masjid Imam Ali.

Ketika pemerintah Irak mengeluarkan ultimatum kepada pasukan al-Sadr, al-Sistani menyuruh pengikutnya berbaris di luar masjid. Akibatnya pasukan al-Sadr meninggalkan gedung tersebut. Al-Sistani menjelaskan kepada Syiah Irak, bahwa tidak perlu melawan Amerika. Sebaliknya, mereka bisa bekerja sama dengan mereka.

Al-Sistani dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian pada 2005, dan lagi pada 2014.

Dia bertindak lebih tegas pada bulan Juni 2014, saat mengeluarkan fatwa, yang sangat terbatas pada prinsip mempertahankan diri, terhadap organisasi jihadi Sunni yang dikenal dengan ISIS. Warga harus mengangkat senjata dan "membela negara mereka, rakyat mereka, dan tempat-tempat suci mereka," seorang juru bicara al-Sistani mengatakan di Karbala, yang menjadi kota umat Syiah. 

Kekuatan ISIS yang sangat anti-Syiah menguasai Irak dan Suriah, juga menyebabkan kegelisahan yang cukup besar di Teheran, Iran, dan menyebabkan Iran kembali terlibat konflik dengan Irak. Untuk mempengaruhi panggung politik di Irak, Iran telah lama mendukung milisi Syiah di sana, yang anggota sipilnya juga merupakan anggota parlemen di Baghdad.

Namun, seiring pengaruh Iran yang terus tumbuh, al-Sistani semakin menjauhkan diri dari Teheran. Pada tahun 2014, ia awalnya mendukung unit milisi Syiah yang dikenal sebagai "Pasukan Mobilisasi Populer" (PMF) dalam perang melawan ISIS. Namun, selama tahun-tahun berikutnya dia semakin menjauhkan diri dari mereka, karena dia merasa mereka terlalu banyak berdiri di bawah pengaruh Iran.

Lawan korupsi dan senjata ilegal

Tetapi pemimpin Syiah ini tidak terintimidasi. September lalu, dia menyuarakan dukungannya untuk Mustafa al-Kadhimi, perdana menteri yang dipilih beberapa bulan sebelumnya. Seperti al-Sistani, Al-Kadhimi juga ingin Irak dapat mandiri dari Iran. Dengan demikian, kedua pria tersebut, dalam arti yang lebih luas, dapat diebut sebagai patriot Irak yang nasionalis.

Al-Sistani juga menyerukan agar hukum ditegakkan, senjata ilegal disita, dan lebih banyak yang harus dilakukan untuk memerangi korupsi. Dan, tanpa menyebut nama, dia mengutuk semua upaya untuk membagi Irak menjadi zona pengaruh yang berbeda. Ini adalah poin lain yang dengan jelas diarahkan pada milisi yang memiliki hubungan dengan Iran.

Selain itu, al-Sistani juga menyerukan penyelidikan atas tindakan keras berdarah terhadap demonstrasi pada musim gugur 2019. Warga Irak dari berbagai denominasi, kebanyakan dari mereka masih muda, keluar untuk memprotes korupsi dan pemerintahan yang mereka anggap tidak efisien, dan menyerukan tindakan tegas. kemerdekaan Irak dari semua kekuatan eksternal. Para demonstran diserang oleh milisi yang memiliki hubungan dengan Iran. Banyak dari mereka terbunuh atau diculik.

Delapan belas tahun setelah invasi AS, Irak terus mengalami ketidakstabilan politik. Al-Sistani berperan sangat penting dalam menjaga agar negara tetap pada jalurnya. Jika, pada suatu saat, orang yang kini berusia 90 tahun tidak lagi bisa melakukan ini, negara akan kehilangan sosok yang bukan hanya otoritas agama - tetapi juga politik.

ae/yp (Reuters)