1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Solo Sebagai Episentrum Promosi Perwira

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
26 Juni 2022

Sejak Jokowi menjadi presiden, perwira yang pernah bertugas di Solo Raya, seolah mendapat kemudahan dalam promosi, bahkan bagi yang sudah memasuki masa pensiun. Simak kolom Aris Santoso berikut ini.

https://p.dw.com/p/49KkT
Foto ilustrasi:  Hadi Tjahjanto
Foto ilustrasi militer di IndonesiaFoto: Firdia Lisnawati/AP/picture alliance

Seperti dalam perombakan kabinet pertengahan Juni lalu,  nama Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto tiba-tiba muncul kembali, ketika   ditetapkan sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Selanjutnya dalam promosi jabatan di jajaran TNI belum lama ini,  terdapat nama-nama perwira yang sejak lama diketahui masuk dalam lingkaran Presiden Joko Widodo. Salah satu nama yang bisa disebut adalah Brigjen TNI Rudy Saladin (lulusan terbaik Akmil 1997), yang baru saja diangkat sebagai Komandan Korem (Danrem) Bogor.  Sebelumnya Rudy Saladin adalah ajudan (ADC) Presiden Jokowi dan  Danrem Solo,   dalam posisi sebagai Danrem Bogor, Rudy Saladin masuk strata perwira tinggi  ( brigjen).

Nama berikut adalah Mayjen Widi Prasetijono (Akmil 1993), yang baru  saja diangkat sebagai Pangdam IV/Diponegoro. Widi adalah ADC Presiden Jokowi pada periode pertama (2014-2017),  yang sejak awal  sudah diketahui masuk lingkaran Jokowi. Sebagaimana kita tahu, Widi adalah Dandim Solo saat Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo.  

Blogger, pengamat militer, Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Tentu ada banyak nama perwira lain, namun dengan hanya menyebut nama Rudy Saladin dan Widi Prasetijono, rasanya sudah cukup untuk menjelaskan,  di era Jokowi, Solo telah menjadi episentrum promosi perwira.  Rupanya telah terjadi pergeseran, biasanya penugasan di kawasan konflik seperti Timor Leste dan Aceh di masa lalu, secara tradisional menjadi ruang promosi bagi perwira yang bersangkutan. Untuk masa sekarang masih ada wilayah Papua, termasuk Sulteng terkait gerakan radikal. Namun kini semua daerah tersebut,  seolah berada di bawah bayang-bayang Solo.

Karakter satuan militer di Solo dan sekitarnya, yang salah satunya adalah Korem 074/Warastratama, tidak masuk kategori Korem wilayah “keras”. Ini bisa dihubungkan dengan bagaimana kondisi sosial-politik yang menjadi wilayah Korem Solo, yang relatif tenang dan nyaris tanpa gejolak.
Demikian juga posisi satuan lain, seperti Pangkalan Udara (Lanud) Adi Sumarmo, tempat Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto  pernah menjadi pimpinan dulu. Posisi Lanud Solo tidak sepenting Lanud Madiun misalnya, home base pesawat tempur, sementara Lanud Solo lebih untuk lokasi pendidikan kejuruan.

Dengan munculnya Jokowi sebagai Presiden, rupanya memberi efek bagi satuan-satuan di Solo, utamanya  Korem setempat. Kini menjabat Danrem Solo menjadi sama favoritnya seperti bila menjabat Danrem Bogor atau Danrem Lampung di masa Orde Baru. Bisa dipahami bila Presiden Jokowi berkepentingan memperkuat jaringan Solo di TNI, mengingat latar belakangnya sebagai birokrat sipil. Berbeda dengan Presiden SBY yang memang dibesarkan di institusi TNI.

Belajar dari Prabowo?

Dalam karier perwira ada istilah “garis tangan”, bahwa nasib baik ikut menentukan, fenomena ini berlaku sepenuhnya  pada perwira yang pernah bertugas di Solo.  Saya kira Mayjen Widi termasuk perwira dengan model “garis tangan” seperti itu, mengingat dulu namanya kurang dikenal. Bila bukan karena faktor Jokowi, sulit membayangkan bahwa Widi suatu saat akan menjadi Danjen Kopassus, dan berlanjut sebagai Pangdam Diponegoro.

Dari generasi Widi, ada nama Mayjen Rui Fernando Guedes Palmeiras Duarte (Kepala Satuan Pengawas Unhan), yang namanya sudah “viral” sejak masih berpangkat letnan. Rui adalah ajudan Prabowo, saat nama terakhir ini menjadi Danjen Kopassus (1995-1998), dan kebetulan keduanya memang ada kedekatan khusus. Benar Rui adalah putera asli Timor Timur (kini Timor Leste) yang kemudian menjadi anak asuh Prabowo. Begitulah karier seorang perwira, bila dekat dengan kekuasaan, promosi bagi dirinya relatif lebih cepat dibanding rekan segenerasinya.

Bila karir Prabowo berjalan normal tempo hari, sudah bisa diprediksi  nama Rui  akan masuk nominasi menjadi Danjen Kopassus. Setelah Prabowo menjadi Menhan, dia mengonsolidasikan beberapa perwira yang sejak dulu dikenal dekat dengan dirinya, salah satunya adalah Rui, sehingga Rui bisa memperoleh jabatan dalam pangkat brigjen.  Selaku Mennhan, Prabowo juga telah merekrut sekutu setianya, yakni Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1976) ke Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Nama-nama seperti Sjafrie, Chairawan, dan J Suryo Prabowo, tentu publik sudah paham, bahwa nama-nama tersebut merupakan sekutu Prabowo sejak lama.

Prabowo juga merekrut sejumlah purnawirawan sebagai staf khusus Menhan, termasuk mereka yang sebelumnya dianggap dekat dengan Presidden SBY,  seperti Letjen TNI (Purn) Hotmangaradja Pandjaitan (Akmil 1977), dan Laksdya TNI (Purn) Didit Herdiawan (AAL 1984),

Setelah hampir tiga tahun menjadi Menhan, ikhtiar Prabowo untuk mencari keseimbangan boleh dikatakan berjalan mulus. Maksudnya, bagaimana agar rezim Jokowi tidak terlalu didominasi lingkaran Luhut Panjaitan dan Hendro Priyono. Tampaknya Jokowi lebih terkesan pada bagaimana Prabowo  mengelola jaringannya di TNI, termasuk membina yunior-yuniornya. Tidak seperti yang lain, yang sekadar endorsement kerabat dekat.

Memperhatikan  perjalanan Jokowi “menguasai” TNI adalah kajian yang menarik, bagaimana di awal kekuasaan lebih banyak menerima rekomendasi dari king maker, hingga kemudian benar-benar berlaku efektif sebagai Panglima Tertinggi (Pangti).  Bisa jadi durasi ikut menentukan, karena Jokowi adalah presiden dengan latar belakang sipil, yang berkuasa lebih panjang ketimbang yang lain, seperti BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Megawati misalnya, tampak terinspirasi oleh ayahnya (Bung Karno), yang dikenal memiliki kedekatan khusus dengan Korps Marinir (KKO), itu tampak ketika Megawati  memberi ruang yang lebih luas pada Korps Marinir.  Megawati  mengangkat  dua perwira  asal Korps Marinir secara berturut-turut sebagai Komandan Paspampres,  selama periode singkat kekuasaannya. Jokowi juga sempat melakukan eksperimen serupa, hanya lebih berdasar konsepsional, yaitu poros maritim dunia, ketika mengangkat seorang perwira Marinir (juga) sebagai Komandan Paspampres.

Pada akhirnya Jokowi juga harus kompromi, bahwa kekuatan (politik) riil tetap pada matra darat. Saya kira Jokowi juga sudah sampai pada pemahaman, terlepas dirinya dikelilingi purnawirawan AD, bahwa dominasi matra darat masih akan berlangsung lama. Memang ada rotasi bagi posisi Panglima TNI, itu sebabnya peluang KSAD selalu lebih besar ketimbang kepala staf yang lain. Bahkan selama Jokowi berkuasa, belum pernah ada Panglima TNI dari matra laut, bila kita ingat kembali Jokowi sempat membanggakan konsep poros maritim dunia.

Segera saja dilantik

Sebagaimana narasi di atas, pada periode kekuasaanya ini, Presiden Jokowi terlihat lebih firm sebagai Pangti TNI, berbeda dengan periode pertama, yang masih mengakomodir kehendak penasihat politiknya, yang kebetulan juga purnawirawan AD. Sekadar mengingatkan, jangan sampai terulang kejadian seperti di era Presiden  SBY dulu, ketika pada saat-saat terakhir kekuasaannya, tidak cepat melantik beberapa perwira yang dekat dengan dirinya untuk menjadi kepala staf di matra masing-masing, terutama Letjen TNI M Munir  (Akmil 1983).

Itu sebabnya bila Presiden Jokowi memang sudah menyiapkan Letjen TNI Agus Subiyanto (Akmil 1991, Wakil KSAD) untuk menjadi KSAD, segera saja dilantik. Karena bila sedikit terlambat, pengalaman Letjen M Munir akan terulang kembali. Sama dengan Agus Subiyanto sekarang, saat itu Munir juga sudah pada posisi Wakil KSAD, istilahnya tinggal selangkah menuju KSAD. Kiranya pengalaman M Munir bisa dijadikan pembelajaran.

Untuk KSAD yang akan datang, setidaknya ada empat nama yang muncul, selain Agus Subiyanto, ada lagi nama Letjen Maruli Simanjuntak (Pangkostrad, Akmil 1992), Letjen Sang Nyoman Cantiasa (Pangkogabwilhan 3, lulusan terbaik Akmil 1990), dan Letjen Eko Margiyono (Kasum TNI, Akmil 1989). Kompetisi di antara empat nama ini akan ketat, dengan plus-minus masing-masing perwira.

Seandainya Jokowi memiliki skenario tersendiri terhadap Agus Subiyanto, atau dengan kata lain Jokowi ingin mengangkat nama lain sebagai KSAD berikutnya, silahkan saja. Namun satu hal yang prinsip adalah, jangan sampai terlambat dalam melantik, karena ini menyangkut durasi kekuasaan Jokowi.

Di awal tahun ini,  komunitas politik Jakarta sempat  dihangatkan oleh wacana penundaan pemilu  dan perpanjangan masa pemerintahan presiden. Sebenarnya ini wacana yang kurang sehat bagi demokrasi, terlebih bila dihubungkan dengan perjuangan gerakan mahasiswa yang berujung pada Reformasi Mei 1998. Namun terkadang politik sulit diramalkan, para penguasa selalu memiliki celah dan argumentasi (sumir) terkait kekuasaannya.

Bila skenario “sumir” itu akhirnya menjadi kenyataan, ketika durasi kekuasaan Jokowi benar-benar diperpanjang, mengangkat KSAD baru, termasuk juga Panglima TNI, sesuai kehendak  Jokowi, akan sangat membantu dalam Jokowi melanjutkan kekuasaannya. Seandainya tidak diperpanjang pun, tetap memiliki nilai strategis. Bila dilihat dari gelagatnya, Jokowi tidak akan benar-benar berhenti dalam berpolitik (baca: kekuasaan), meskipun masa pemerintahannya sudah berakhir secara resmi pada Oktober 2024.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.