1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Misteri Keberuntungan Wiranto

24 Oktober 2016

Kekuatan politik sipil ikut berperan dalam karir perwira tinggi TNI. Peta kekuatan para perwira tinggi yang berkawin-mawin dengan otoritas sipil dapat Anda simak dalam analisa Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2QwI8
Indonesien General Wiranto in Jakarta
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Hikmal

Ada mutasi di tubuh TNI yang cukup menarik pada pertengahan September lalu, khususnya menyangkut nama Letjen TNI M. Munir (Sesjen Wantanas, Akmil 1983). Dalam surat keputusan mutasi itu, Letjen M. Munir dinyatakan memasuki masa pensiun. Dengan keputusan itu pupus sudah harapan M. Munir naik jabatan sebagai KSAD. Perjalanan karir Munir menunjukkan pada publik, bahwa tidak semua karir perwira tinggi akan berujung manis.

Munir adalah ajudan (ADC) mantan Presiden SBY pada periode pertama pemerintahannya (2004-2009), bersama tiga koleganya dari matra lain dan kepolisian. Pada tahun 2004 itu, saat nama Munir diumumkan sebagai ajudan presiden,  sudah muncul perkiraan, bahwa Munir dan tiga ajudan SBY lainnya, kelak akan menjadi Kepala Staf dan Kapolri. Hari ini terbukti, perkiraan itu meleset semuanya. Kalau SBY sedikit agresif, seharusnya mereka dilantik saat SBY masih berkuasa dulu.

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Fenomena Munir ini memperlihatkan betapa pentingnya dukungan politik dalam karir perwira militer maupun polri. Kita tahu, antara SBY dan Megawati terjadi rivalitas politik tak berkesudahan, sehingga bisa dipahami, bila perwira yang dianggap masuk gerbong SBY, seperti Munir, tidak mungkin diberi posisi yang sangat strategis. Megawati adalah "Queen Maker” hari ini.

Kini sudah mulai beredar kabar, bahwa KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna (Call Sign Dragon 08, AAU 1983), sedang disiapkan untuk posisi Panglima TNI. Ini semacam "kompensasi” bagi Megawati, setelah perwira lain yang  dianggap dekat dengannya, yaitu Jenderal Pol. Budi Gunawan (Akpol 1983) gagal sebagai Kapolri. Terlebih usia Agus Supriatna pada Januari (2017) nanti, akan memasuki usia 58 tahun (usia pensiun), artinya promosi Agus harus segera diproses.

 Hilangnya Palagan 

Dalam meniti karir sebagai perwira TNI, memang dibutuhkan dukungan politis otoritas sipil. Namun itu sebatas pada mereka yang menduduki pos bintang tiga atau empat, dan sebagian pos bintang dua. Bagi perwira generasi baru, jangan terlalu berharap banyak pada dukungan politik. Sebab bila terlalu bertumpu pada dukungan politik, akan berpengaruh pada kompetensi perwira bersangkutan. Pengembangan diri perwira tetap yang utama, semisal melalui operasi tempur, atau penugasan lapangan lainnya

Setelah berkurangnya palagan (tempur), seperti Aceh dan Timor Leste, maka perlu dicari "palagan” lain untuk mematangkan kemampuan perwira. Salah satu pilihannya adalah melalui jalur pendidikan. Untuk generasi yang lulus setelah tahun 2000, faktor pengalaman tempur dalam promosi mereka, menjadi kurang relevan lagi, karena palagan untuk itu memang sudah tidak ada. Palagan yang masih ada sifatnya sangat lunak, seperti operasi pamtas (pengamanan perbatasan) dan pasukan perdamaian di bawah PBB. Selepas berakhirnya era operasi tempur, faktor pendidikan (khususnya Seskoad) menjadi pendukung utama peningkatan karir.

Bila nasib sedang baik, modalitas Seskoad  sudah bisa menghantarkan perwira pertama atau menengah menjadi pati. Namun faktor nasib baik tidak bisa dijadikan pegangan, karena pada promosi berikutnya dia mungkin akan dilewati perwira lain yang sudah mengikuti Sesko TNI atau Kursus Reguler Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional), yang levelnya lebih tinggi ketimbang Seskoad.

Faktor Kekerabatan

Jalan lain untuk mencapai karir tinggi dalam militer, adalah melalui jalur kekerabatan. Fenomena asal-usul keluarga dalam menggapai karir puncak, adalah warisan  Orde Baru yang masih berlangsung hingga kini, dan tidak ada yang tahu kapan akan berakhir.

Setidaknya ada empat nama yang acapkali menjadi perbincangan, yaitu Mayjen. Andika Perkasa (Pangdam XII/Tanjungpura, Akmil 1987, menantu Hendro Priyono), Kol. Inf. Kunto Arief Wibowo (Danrem Palembang, Akmil 1992, putera Try Sutrisno), dan Kol. Inf. Maruli Simanjuntak (Danrem Solo, Akmil 1992, menantu Luhut B. Panjaitan).

Daftar ini masih bisa diperpanjang lagi. Misalnya dengan memasukkan nama Mayor Inf Agus Harimurti Yudhoyono (Danyon Mekanis 203/Arya Kemuning, Akmil 2000, putra SBY), sebelum dia mengundurkan diri sebagai perwira TNI, dan terjun langsung ke dunia politik praktis. Empat nama itu sudah cukup menggambarkan, bagaimana nepotisme dalam promosi perwira masih terus berlangsung.

Tentu saja ada kritik terhadap sistem seperti itu, bahkan sejak Orde Baru dulu. Namun semua kritik yang ada, ibarat berteriak di padang pasir, sia-sia belaka. Elite militer adalah komunitas yang eksklusif dan cenderung tertutup, jarang sekali bersedia mendengar masukan dari luar lingkarannya. Dengan kata lain program reformasi TNI yang mulai dicoba sejak tahun 2000-an, mengalami kemandegan.

Wiranto diikuti nasib baik?

Sebagaimana disebut di awal tulisan ini, bagaimana otoritas sipil acapkali mengintervensi posisi strategis TNI, khususnya pada posisi bintang tiga dan empat. Fenomena itu sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak di era Soekarno, dan terus berlangsung hingga hari ini.

Karena intervensi itu pula, masyarakat terheran-heran ketika nama Wiranto muncul kembali sebagai Menkopolhukam. Memang ini jabatan sipil, namun secara tradisional posisi Menkopolhukam selalu dipegang posisi purnawirawan jenderal.

Publik mengira karir politik Wiranto sudah selesai, karena faktor usia, ternyata masih bisa masuk orbit kekuasaan lagi. Dan kini Wiranto memiliki "tandem” seorang perwira yang sebenarnya bermasalah juga, yaitu Mayjen Yayat Sudrajat (Akmil 1982).  Mayjen. Yayat baru saja ditetapkan sebagai Sekretaris Menko Polhukam, setelah sebelumnya menjabat Kepala BAIS. Saat masih berpangkat Letkol, Yayat diduga melakukan pelanggaran HAM, saat pasca jajak pendapat di Timor Leste tahun 1999.

Pengganti Yayat sebagai Kabais juga bermasalah, yaitu Mayjen. Hartomo (Akmil 1986), yang saat menjabat Komandan Satgas Tribuana di Papua, diduga terlibat dalam kasus tewasnya Theys Eluay (Ketua Dewan Adat Papua), pada November 2001 di Jayapura. Tampilnya nama Wiranto, Yayat Sudrajat, dan Hartomo, merupakan penanda bahwa rezim Jokowi kurang sensitif terkait isu penegakan HAM. Atau bisa juga Jokowi belum sanggup mengendalikan TNI, terkait posisinya sebagai Panglima Tertinggi.

Misteri Ediwan Prabowo

Dalam pengamatan saya pribadi, nasib Wiranto sangat beruntung dari waktu ke waktu. Karena otoritas sipil selalu memberinya jalan pada kekuasaan. Pertama di masa Orde Baru, saat Wiranto bersiap memegangn jabatan Pangkostrad, jabatan ini tiba-tiba dijadikan pos bintang tiga (letjen), dengan demikian Wiranto dipacu karirnya. Dan keberuntungan itu masih terus berlanjut hingga hari ini.

Kasus yang sedikit berbeda terjadi pada Letjen. Ediwan Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1984). Sejak melepas jabatan Sesjen Kemenhan setahun lalu, sampai sekarang Ediwan belum memperoleh jabatan definitif. Untuk perwira tinggi sekelas Ediwan, menjalani hari-hari tanpa jabatan yang pasti, sungguh merupakan keanehan.

Apa yang dialami Ediwan hari ini, bisa jadi juga merupakan dampak dari intervensi otoritas sipil. Hanya intervensi kali ini, bukan menghasilkan kepastian, namun sejumlah teka-teki.

Kalau kita runut ke belakang, yang mengorbitkan Ediwan adalah mantan Presiden SBY, sebagai sesama pemegang Adi Makayasa di Akademi Militer Magelang. Pangkat brigjen Ediwan diperoleh ketika dia diangkat sebagai Sekretaris Pribadi Presiden SBY, setelah itu karir Ediwan lancar. Ketika menjabat Sesjen Kemenhan, sementara Menhan dijabat oleh Jenderal (Purn) Ryamizard, baru timbul persoalan.

Rupanya Ryamizard masih menyimpan "sakit hati” pada SBY, terkait dibatalkannya surat keputusan Presiden Megawati (2004), yang berisi pengangkatan Ryamizard sebagai Panglima TNI. Kemudian muncul anggapan, Ediwan sebagai bagian dari gerbong SBY, dan karenanya harus rela menerima nasib seperti itu. Artinya intervensi otoritas sipil ibarat pedang bermata dua, bisa berbuah kejayaan, atau justru sebaliknya.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi pada lembaga yang bergerak di bidang HAM (Kontras). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.