1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan BerpendapatAsia

Iran Berencana Bubarkan Polisi Moral, Apa Tugas Mereka?

Monir Ghaedi
5 Desember 2022

Iran dilaporkan tengah pertimbangkan pembubaran "polisi moral" setelah protes berkelanjutan menyusul kematian Mahsa Amini. Siapakah para Polisi Moral dan apa kerjanya?

https://p.dw.com/p/4KTlT
Pameran busana di Iran
Pameran busana di IranFoto: Morteza Nikoubazl/NurPhoto/picture alliance

Pada pertengahan September 2022, apa yang disebut polisi moral di Iran menangkap seorang perempuan muda bernama Jina Mahsa Amini yang saat itu berusia 22 tahun di Teheran. Masha Amini dituduh telah mengenakan pakaian yang dianggap tidak pantas.

Amini lantas dibawa ke kantor polisi, di mana dia kemudian mengalami koma. Tiga hari setelahnya, pada 16 September, ia meninggal di rumah sakit. Kematian Amini memicu kemarahan publik yang kian meluas, mengarah ke demonstrasi antipemerintah yang terus berlangsung bahkan setelah tiga bulan kemudian di puluhan kota di Iran.

Seorang anggota parlemen Iran mengatakan pada hari Minggu (04/12) bahwa pemerintah Iran "memperhatikan tuntutan nyata rakyat," lapor media pemerintah. Pernyataan ini muncul hanya selang satu hari setelah seorang pejabat mengisyaratkan bahwa polisi moral negara itu akan segera dibubarkan.

Jadi, siapa dan apa sebenarnya "polisi moralitas" di Iran?

Apa tugas dan kewenangan 'polisi moral'?

Gasht-e-Ershad yang berarti "patroli pemandu" dan secara luas dikenal sebagai "polisi moral" adalah unit kepolisian Iran yang didirikan di bawah pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad, mantan presiden yang berhaluan garis keras.

Sejak 1983, mengenakan jilbab adalah hal wajib di Iran. Namun baru pada tahun 2006 unit kepolisian tersebut mulai berpatroli di jalan-jalan dan bertugas menegakkan hukum tentang aturan berpakaian secara islami di wilayah publik.

Menurut hukum Iran, semua perempuan dengan usia yang sudah memasuki pubertas harus mengenakan penutup kepala dan pakaian longgar di depan umum, meski usia pastinya tidak ditentukan dengan jelas. Di sekolah, anak perempuan biasanya diwajibkan memakai jilbab sejak usia tujuh tahun. Namun tidak berarti mereka juga harus memakai jilbab di tempat umum lainnya. 

Sebagian besar peraturan sosial Iran didasarkan pada interpretasi negara atas hukum Syariah Islam, yang mengharuskan perempuan dan laki-laki untuk mengenakan pakaian sopan. Namun dalam praktiknya, polisi moral pada umumnya menargetkan kaum perempuan.

Tidak ada pedoman atau detail yang jelas tentang jenis pakaian seperti apa yang dianggap tidak pantas. Hal ini menyisakan banyak ruang bagi interpretasi dan memicu tuduhan bahwa para penegak moralitas telah secara sewenang-wenang menahan sejumlah perempuan.

Pasukan polisi moral terdiri dari para pria berseragam hijau dan perempuan bercadar hitam, yang menutupi kepala dan tubuh bagian atas mereka. Orang-orang yang ditahan oleh polisi moralitas akan diberi peringatan atau, dalam beberapa kasus, dibawa ke kantor pusat pendidikan dan bimbingan atau dibawa ke kantor polisi.

Di sana mereka diharuskan menghadiri kuliah wajib tentang jilbab dan nilai-nilai Islam. Mereka yang ditahan juga harus memanggil seseorang untuk membawakan "pakaian yang pantas" bagi mereka agar bisa dibebaskan.

Tidak ada aturan jelas

Selain menindak pelanggaran aturan-aturan tentang jilbab, pemerintah juga mempromosikan kode berpakaian islami versi mereka di sekolah, media nasional, dan sejumlah acara publik.

Namun, banyak perempuan Iran menemukan cara untuk menentang aturan berpakaian yang dianggap ultrakonservatif ini. Mereka berani mengenakan pakaian ketat dan menggunakan jilbab sebagai aksesori yang berwarna-warni, dan memperlihatkan sebagian rambut mereka. Sekali lagi, tidak ada aturan jelas tentang berapa banyak bagian rambut yang boleh disingkapkan. 

Sebuah survei tahun 2018 yang diterbitkan oleh parlemen Iran menunjukkan bahwa antara 60 dan 70% perempuan Iran tidak mengikuti "aturan berpakaian islami" dengan taat di depan umum.

Di bawah pemerintahan ultrakonservatif Presiden Ebrahim Raisi, kehadiran polisi moral di kota-kota besar pun meningkat. Menanggapi kehadiran mereka, ribuan perempuan protes dan turun ke jalan tanpa mengenakan kerudung. Beberapa dari mereka juga membagikan video mereka secara online untuk menyemangati perempuan lainnya.

Tidak diduga, ratusan perempuan yang selama ini dikenal religius juga mulai berbicara di internet dan menentang kewajiban mengenakan jilbab. Bahkan beberapa tokoh konservatif, termasuk anggota parlemen, juga mulai mengkritik pemberlakuan undang-undang dan keberadaan unit kepolisian moral tersebut. Mereka mengatakan bahwa keberadaan UU dan polisi moral telah berdampak negatif pada sikap publik terhadap hijab dan agama secara umum.

Selama beberapa dekade para aktivis telah berjuang melawan kewajiban mengenakan jilbab, akibatnya beberapa dari mereka harus mendekam di penjara. LSM Hak Asasi Manusia Iran yang berbasis di Oslo, Norwegia, mengatakan bahwa setidaknya 448 orang "dibunuh oleh pasukan keamanan dalam protes nasional yang tengah berlangsung." Ribuan orang ditangkap, termasuk sejumlah aktor dan pemain sepak bola terkemuka Iran.

Aktor asal Iran, Hengameh Ghaziani, mempublikasi video dirinya di Instagram di mana dia melepas penutup kepalanya. Ghaziani sempat ditahan tapi kemudian dibebaskan dengan jaminan, menurut kantor berita setempat.

Hingga kini, masih belum ada rincian lebih lanjut tentang keputusan pembubaran pasukan polisi moral dan apa makna keputusan ini bagi perempuan di Iran dalam mengenakan jilbab. ae/hp