1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikRusia

Setelah Aksi Teror Moskow, Akankah Citra Putin Memburuk?

Aparna Ramamurthy
27 Maret 2024

Setelah serangan teror di Moskow, banyak pertanyaan muncul terkait keamanan di Rusia. Terutama setelah Presiden Putin mengabaikan peringatan Barat. Apakah ini akan memengaruhi citranya?

https://p.dw.com/p/4e9r4
Serangan teror di gedung konser Balai Kota Crocus, Moskow
Rusia berduka atas serangan teror pada Jumat (22/03) di MoskowFoto: Dmitry Feoktistov/picture alliance/dpa/TASS

"Putin mundur!"

Yel-yel ini pernah terdengar pada 2018 setelah kebakaran besar terjadi di sebuah mal di Siberia, seminggu setelah pemilihan presiden (pilpres) Rusia pada tahun itu, yang memberikan Vladimir Putin masa jabatan kedua berturut-turut sebagai presiden dan yang keempat kali secara keseluruhan.

Namun, setelah serangan teror di lokasi konser Crocus City Hall, Moskow, pada Jumat (22/03), slogan "Kami berduka" justru menyelimuti seluruh kota, di mana Rusia berduka atas tewasnya sekitar 139 nyawa pada insiden tersebut.

Hanya lima hari setelah Pilpres Rusia 2024, di mana Putin memperpanjang masa jabatannya kembali selama enam tahun, orang-orang bersenjata yang mengenakan pakaian kamuflase menyerbu aula gedung tersebut dan menembak brutal orang-orang dari jarak dekat serta melemparkan sejumlah bom.

Kelompok yang menamakan diri "Negara Islam Provinsi Khorasan” (ISIS-K) mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Washington mengatakan bahwa tak ada alasan untuk meragukan klaim kelompok ekstremis tersebut, yang merupakan cabang kelompok militan transnasional "Negara Islam" (ISIS) di Afganistan.

Akankah kesalahan ini ditimpakan kepada Presiden Putin, di mana intelijen Rusia melihat insiden ini sebagai kesalahan serius?

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kremlin menyalahkan Kyiv untuk 'membenarkan perangnya di Ukraina'

Setidaknya tujuh tersangka telah didakwa melakukan pelanggaran terkait aksi teror tersebut. Menurut kantor berita pemerintah Rusia, TASS, empat orang di antaranya merupakan warga negara Tajikistan, yang dikenal pula sebagai wilayah perekrutan anggota ISIS.

Meskipun ada bukti kuat yang mendukung klaim ISIS bahwa pihaknya melakukan serangan tersebut, saluran televisi dan pejabat tinggi Rusia justru membuat tuduhan yang belum dapat diverifikasi, yang menunjuk adanya keterlibatan Ukraina. Putin sendiri mengisyaratkan hal yang sama dalam pidato kenegaraannya pada Sabtu (23/03).

Dua hari setelah insiden teror itu, Putin mengakui bahwa serangan itu dilakukan oleh ISIS. Namun, pada saat yang sama, dia juga mengulangi tuduhannya terhadap keterlibatan Ukraina. Tuduhan itu menjadi upaya Putin dalam mengalihkan perhatian dari kegagalan keamanan pemerintahannya dan untuk memberikan pembenaran atas invasi Rusia ke negara tetangganya itu.

Para analis mengatakan bahwa para pejabat Rusia dan para pro-Kremlin turut menyalahkan Kyiv atas aksi teror mematikan itu, hanya untuk mempertahankan tindakan mereka.

"Rusia ingin menggunakan apa saja untuk membenarkan perang Ukraina, dan kini mereka mencoba menggunakan serangan teroris ini untuk membenarkannya," kata Vera Mironova, penulis Rusia-Amerika, kepada DW.

Menurut Mironova, hal ini bisa menjadi masalah bagi Ukraina, karena Moskow mungkin akan mengintensifkan serangannya.

Meskipun Kyiv telah membantah keterlibatannya, dan tidak ada bukti bahwa Ukraina ikut berperan dalam serangan teror di Moskow itu, Mironova mengatakan warga Rusia mungkin akan mempercayai narasi Kremlin karena adanya propaganda yang persuasif.

Serangan Teror di Balai Kota Crocus, Moskow
Aparat keamanan Rusia telah gagal menghentikan serangan terorr mematikan pada 22 Maret laluFoto: Sergei Vedyashkin/AP Photo/picture alliance

Pemerintahan Putin dihantui tantangan keamanan

Namun, setelah 24 tahun pemerintahan Putin dan dua tahun perang dengan Ukraina, serangan teror kali ini mungkin akan memberikan konsekuensi politik. Kegagalan keamanan seperti serangan pada Jumat lalu, mungkin akan merusak citra presiden Rusia itu sebagai penjamin pelindung warga negara yang kuat dan bersatu.

Awal mula tampuk kekuasaan Putin dimulai dengan operasi pemberontakan di Chechnya. Pada September 1999, empat ledakan menghantam blok-blok apartemen di Moskow. Kremlin menyalahkan militan Chechnya, meskipun lagi-lagi tidak ada bukti yang cukup kuat. Beberapa jurnalis dan analis Rusia meyakini bahwa ledakan bom itu mungkin saja didalangi oleh para intelijen Rusia.

Atas dasar tuduhan Kremlin tersebut, Putin, yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri (PM), meluncurkan serangan bom terhadap Chechnya. Serangan tersebut, meroketkan popularitas Putin menjelang kemenangannya sebagai Presiden Rusia untuk pertama kalinya.

Sejak saat itu, Rusia mengalami beberapa serangan teror lainnya, seperti pengepungan tahun 2002 di gedung teater Moskow, krisis penyanderaan di sebuah sekolah tahun 2004 di Beslan, dan serangan teror lain yang menargetkan sejumlah transportasi. Serangan tersebut dikaitkan dengan para separatis Chechnya, kemudian Al-Qaeda dan kelompok ISIS.

Namun, ketika Rusia menekan pemberontakan Chechnya, beberapa serangan teror lainnya perlahan mulai menurun. Serangan besar terakhir di Rusia terjadi pada 2011, dan Putin dipuji karena telah membawa stabilitas keamanan di negara itu.

Serangan Moskow: Putin Mengisyaratkan Adanya Keterlibatan Ukraina

Putin mengabaikan peringatan AS tentang serangan teror itu

Serangan pada Jumat (22/03), yang dilihat sebagai kegagalan memalukan bagi intelijen Rusia, telah menimbulkan kembali kekhawatiran akan rentannya keamanan di negara itu. Putin sendiri telah memainkan perannya yang cukup signifikan dalam kegagalan itu.

Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes AS) di Rusia telah mengeluarkan peringatan pada 7 Maret bahwa "para ekstremis" merencanakan adanya aksi serangan dalam waktu dekat di Moskow, dan telah memperingatkan warga Rusia untuk menghindari konser dan keramaian.

Namun, dalam sebuah pertemuan di Dewan Keamanan Federal pada 19 Maret lalu, tiga hari sebelum terjadinya serangan teror Moskow, Putin justru menepis peringatan itu sebagai "pernyataan provokatif oleh sejumlah struktur resmi Barat tentang potensi serangan teroris di Rusia," demikian menurut transkrip Kremlin.

Dalam taktik yang sudah biasa digunakannya untuk menyalahkan Barat atas hampir semua masalah yang menimpa negaranya, Putin mengatakan bahwa peringatan Kedubes AS itu "seperti pemerasan dan niat untuk mengintimidasi serta mengacaukan masyarakat Rusia."

Sesaat setelah serangan itu terjadi, Dewan Keamanan Nasional AS mengonfirmasi bahwa pihaknya telah berbagi informasi intelijen dengan Rusia mengenai rencana aksi teror tersebut, "sesuai dengan kebijakan yang telah berlangsung lama yang 'mewajibkan untuk memberi peringatkan'.”

'Badan keamanan Rusia tidak berfungsi'

Lemahnya badan intelijen Rusia juga sebagian disebabkan oleh pendekatan pemerintahan Putin yang ketat dan otoriter. Hal itu menghambat inisiatif yang diperlukan dari badan tersebut untuk berfungsi dengan baik.

Selain itu, para ahli mengatakan bahwa upaya badan intelijen Rusia dalam beberapa tahun terakhir sebagian besar hanya berfokus untuk memberantas para pembangkang internal, daripada menangkal ancaman eksternal.

Pavel Luzin, seorang pakar politik Rusia di Institut Riset Kebijakan Luar Negeri di AS, mengatakan kepada DW bahwa ada tanda-tanda kemunduran di seluruh aparat keamanan Rusia.

"Kami melihat bahwa badan-badan keamanan Rusia tidak berfungsi meski skalanya besar. Orang-orang tidak melaksanakan tugas mereka tanpa perintah," katanya. "Ini berarti ada kemunduran institusi keamanan Rusia."

Pengamat politik Rusia Dmitry Kolezev, yang juga merupakan seorang jurnalis di portal berita independen Republik, juga memiliki pandangan yang sama.

"Badan-badan intelijen hanya berfokus pada investigasi politik dan intimidasi terhadap warga negaranya. Mereka tidak memenuhi tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari ancaman nyata," tulisnya di media sosial X/Twitter.

Tersangka penyerangan di Balai Kota Crocus, Moskow
Tersangka utama, yang diidentifikasi warga negara Tajikistan, telah berhasil ditangkapFoto: Sefa Karacan/Anadolu/picture alliance

Badan keamanan Rusia sibuk dengan Ukraina, demi melindungi rezim Putin

Serangan teror pada 22 Maret itu terlihat seperti kegagalan besar dari pemerintah negara, tambah Kolezev. Namun, seorang pakar Rusia-Amerika Mironova mengatakan kepada DW bahwa dia tidak begit terkejut jika tidak ada yang bisa memerangi terorisme di Rusia.

"Lebih sulit untuk bereaksi terhadap serangan teroris karena semua orang sibuk berperang di Ukraina. Di dalam negeri, mereka sibuk menangkap aktivis damai dan melindungi rezim Putin," katanya.

Mironova juga berpendapat bahwa pada akhirnya, semua kejadian ini mungkin tidak akan merusak citra Putin di publik, karena Putin telah berusaha keras untuk menunjukkan bahwa dia masih memegang kendali penuh.

"Visual dari para tersangka pelaku yang terlihat dipukuli, saat para pelaku dibawa ke pengadilan, dengan luka pada telinga, menyampaikan pesan pada penanganan tegas Putin terhadap masalah ini," katanya.

Namun, para ahli juga percaya bahwa pengangan Putin ini tidak akan mencegah terjadinya serangan di masa depan. Jika aksi teror kembali terjadi, reaksi rezim Putin akan tetap sama.

"Setiap serangan baru akan mengarah pada perluasan 'teater keamanan' di Rusia karena berbagai aktor di dalam birokrasi Rusia akan mencoba untuk mendapatkan otoritas dan kekuasaan dari serangan tersebut," kata Luzin.

(kp/rs)