1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Menyoal Celetukan “Perbaikan Keturunan”

Uly Siregar
20 Juli 2019

Pernah mengalami pengalaman diperlakukan diskriminatif di tanah air sendiri, jika bersandingan dengan orang asing? Penulis kolom Uly Siregar berbagi pengalaman dan opininya.

https://p.dw.com/p/3MJHh
USA | Blogger Familie Siregar
Foto: U. Siregar

Orang Indonesia yang memiliki anak campuran (blasteran) dari pasangangan ras kulit putih (Kaukasoid) pasti sudah kenyang mendengar komentar, "Wah, suaminya bule, ya, pantas anaknya cantik. Sukses juga misi perbaikan keturunan”, atau ada juga yang dengan enteng berkomentar, "Untung anaknya mirip mamanya (atau papanya, tergantung siapa yang Kaukasoid) jadi aja cakep”.  

Anak yang dihasilkan oleh percampuran ras seringkali dianggap cantik dan tampan, apalagi bila salah satu orangtua adalah Kaukasoid atau sering disebut ‘bule'. Begitu kuatnya anggapan itu, orang Indonesia yang menikah dengan orang bule pun sering dituduh berupaya ‘memperbaiki keturunan'.

Meski terdengar seperti banyolan ringan yang tak perlu ditanggapi serius, tapi bagi yang terus-terusan mengalami seperti saya, akhirnya jadi muak. Juga mengusik pertanyaan, mengapa justru suami bule yang dianggap menjadi faktor penentu dalam keunggulan fisik anak-anak saya? Mengapa bukan saya yang asli Indonesia dianggap memberi kontribusi lebih dalam membuat anak-anak menjadi ‘cantik' seperti anggapan orang kebanyakan?

Orang Indonesia memang banyak yang terobsesi dengan kulit putih cemerlang. Pasalnya, ada konsepsi bahwa perempuan dianggap cantik bila ia berkulit terang. Yang berkulit gelap dianggap tak kinclong, lusuh, dan tidak rupawan.

Tidak sedikit pula perempuan Indonesia yang giat memakai produk perawatan kulit yang bisa membuat kulit menjadi lebih terang. Jangan heran kalau produsen dengan cerdik memanfaatkan peluang pasar ini dengan menjual produk pemutih ketiak, bahkan vagina. 

Khusus soal obsesi pada kulit terang ini ada teori yang mengatakan, sikap memuja Kaukasoid terbentuk karena sejarah Indonesia yang pernah dijajah oleh kaum kulit putih. Sebagai bangsa yang pernah dijajah dan tertindas, masih ada sisa-sisa mental inlander yang sulit hilang begitu saja, mental yang masih menganggap bahwa ras kulit putih lebih superior dibandingkan dengan bangsa sendiri.

Kita memang masih gemar memandang Barat sebagai acuan dalam banyak hal, termasuk dalam standar kecantikan. Sejak kecil dicekoki produk-produk Barat yang menggunakan manusia-manusia rupawan versi Barat sebagai bintangnya, konsep kecantikan pun berkiblat ke Barat: hidung mancung, kulit terang, biji mata berwarna, tulang pipi tinggi, dan sebagainya.

Tak hanya soal fisik

Mental inlander--saya sederhanakan saja begitu--tak hanya menyangkut urusan fisik, tapi juga banyak perkara lainnya. Suami teman saya sempat bersumpah tak mau lagi menginjak Pulau Bali untuk urusan yang tak penting-penting amat seperti liburan. Ia mengaku mengalami perlakuan diskriminatif saat berlibur.

Ceritanya, ia bersama istri dan seorang anaknya lama diabaikan saat mencoba memesan makanan di sebuah restoran. Sementara pelanggan lain yang berkulit putih--yang jelas-jelas datang belakangan--didahulukan. Tak hanya sekali-dua kali, mereka dilewatkan berkali-kali. Akhirnya ia meninggalkan restoran dengan perasaan kecewa dan terhina.

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
Penulis: Uly SiregarFoto: Privat

Kejadian seperti ini tak hanya sekali-dua kali dikeluhkan oleh turis domestik. Perlakuan penyedia barang dan jasa terhadap bangsa sendiri seringkali tak elok dibandingkan terhadap turis internasional, apalagi mereka yang berkulit putih.

Karena itu, kalau sedang pelesir di tanah air bersama suamiku yang memang bule, saya pun sering menempatkan dia di garda depan, saat check in hotel, misalnya. Atau bila sedang ingin mengintip barang-barang mahal yang dipamerkan di gerai-gerai eksklusif di mal-mal mewah di Jakarta. Karena ada asumsi bahwa orang bule status ekonominya lebih sejahtera dibandingkan orang Indonesia jadi berpotensi lebih besar untuk membeli barang-barang mahal. Dus, perhatian yang diberikan ke mereka pun maksimal, bisa dibilang premium. 

Ini kejadian lama. Tapi satu kali saya pernah masuk ke gerai butik eksklusif di Bali, sendiri tanpa sang suami bule. Pelayan butik mengikuti langkah kaki saya ke setiap sudut toko, persis di belakang punggung saya. Belum lagi tatapan yang entah kenapa sepertinya meragukan kemampuan finansial saya untuk membeli barang-barang yang dipajang di butik tersebut. Padahal, saat itu saya benar-benar naksir sepotong baju untuk kencan makan malam dengan suami.

Karena jengah, saya pun akhirnya meninggalkan gerai butik eksklusif tanpa berbelanja. Ketika saya kembali dengan si suami bule, perlakuan yang saya terima pun berbeda, meskipun tetap, sambutan lebih ramah diberikan pada pria bule di samping saya. 

Tentu saja kejadian yang saya paparkan sifatnya insidental. Bisa jadi saya dan suami teman saya hanya ketiban sial. Hanya saja, tak bisa dipungkiri kejadian-kejadian seperti ini selalu ada. Meskipun, tak ada asap tanpa api.

Ada yang bilang bahwa perlakuan yang lebih baik kepada turis bule karena adab mereka yang lebih menyenangkan daripada turis lokal. Turis bule ramah menyapa pelayan, rajin meninggalkan uang tip, dan lebih hormat pada ‘wong cilik' alias lebih memanusiakan manusia. Benarkah demikian? Entahlah, saya belum menemukan studi yang membahas secara detail soal ini.

Rasa inferior

Rasa inferior juga membuat kita seringkali merasa lebih keren menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah. Penggunaan bahasa Inggris jamak dilakukan untuk memberi kesan eksklusif dan mewah. Dari mulai penamaan kompleks rumah, nama restoran dan menu makanan, nama sekolah, nama rumah sakit, hingga hal remeh lainnya.

Ada lelucon menarik soal penggunaan bahasa Inggris untuk menu makanan. Apa bedanya es teh manis dengan sweet iced tea? Sekitar 30 ribu rupiah. Sebuah sindiran kecil tentang bagaimana bahasa Inggris menjadi pembeda kelas. 

Tapi memang jangan meremehkan kekuatan bahasa Inggris di Indonesia. Berdasarkan pengalaman beberapa teman, respon yang baik dan lebih cepat diberikan bila keluhan disampaikan dalam bahasa Inggris.

Seorang teman setiap kali melakukan komunikasi dengan pihak layanan pelanggan lewat telepon sengaja memilih berbahasa Inggris. Alasannya? Pelayanannya lebih ramah dan lebih serius dalam memberikan solusi. Karena alasan itu juga setiap kali berkomunikasi dengan resepsionis hotel berbintang saya lebih suka menggunakan bahasa Inggris. 

Bisa dimaklumi ibu-ibu muda pun berlomba-lomba mengajarkan bahasa Inggris pada anaknya. Bukan hal yang buruk, pastinya, karena mampu berbahasa Inggris adalah keahlian yang penting dimiliki di zaman global.

Hanya saja, cukup mengenaskan kini semakin sering dijumpai anak-anak Indonesia kelas menengah ke atas di perkotaan yang lebih fasih berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Apalagi alasannya juga dipacu oleh gengsi. "Aduh, dari dulu cita-cita saya punya anak yang masih kecil sudah jago bahasa Inggris, keren dan gaul banget kesannya.” Padahal seharusnya bahasa Inggris, atau bahasa asing apapun, sebaiknya hanya diperlakukan sebagai pelengkap. 

Mungkin butuh waktu bergenerasi-generasi untuk mengikis mental inferior ini. Sesuatu yang sudah berurat dan berakar tentu tak gampang diubah. Tapi harapan saya tak pernah pudar. Apalagi zaman sekarang dengan semakin terbukanya arus informasi, anak-anak muda semakin gampang belajar dan memupuk percaya diri.

Sementara itu, sambil menunggu perubahan besar, mungkin kita bisa mulai dari hal-hal kecil, seperti belajar untuk tak lagi berkomentar: "Oh, emang sengaja cari suami bule untuk perbaikan keturunan, ya.”

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.