1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikPalestina

Sebuah Utopia Bernama Solusi Dua Negara?

3 Februari 2023

Gagasan untuk membelah Palestina dan Israel menjadi dua negara berdaulat sejatinya menjadi solusi bagi konflik Timur Tengah. Namun, prospeknya belakangan semakin meredup seiring eskalasi konflik.

https://p.dw.com/p/4N1yn
Demo perdamaian di Tel Aviv, 2017
Demo perdamaian di Tel Aviv, 2017Foto: Oded Balilty/AP Photo/picture alliance/dpa

Kapan lahirnya gagasan Solusi Dua Negara?

Solusi Dua Negara pertama kali dicetuskan oleh Komisi Peel yang dibentuk oleh Inggris sebagai pemegang mandat kekuasaan di Palestina. Pada 7 Juli 1937, komisi tersebut mengusulkan pembentukan negara Yahudi dan Arab untuk mendamaikan bangsa Palestina dan Israel.

Usulan dibuat antara lain setelah mewawancarai ratusan warga Yahudi dan Palestina. Komisi Peel mencatat adanya "konflik tak terjembatani” antara kedua kelompok masyarakat yang hidup bersama dalam habitat yang sama. "Aspirasi nasional mereka sangat berbeda antara satu sama lain.” Karena itu kawasan harus dibagi jadi Dua Negara.

Meski sempat diabaikan, Solusi Dua Negara melandasi setiap negosiasi damai antara Israel dan Palestina. Pada 1947, Sidang Umum PBB untuk pertama kalinya membahas usulan untuk mengadopsi Solusi Dua Negara. Namun, upaya itu dimentahkan negara-negara Arab yang menolak pembentukan negara Israel.

Ekspansi wilayah teritorial di kawasan mandat tersebut, kemudian menggerakkan perang Israel-Arab pertama antara 1947 hingga 1949. Bagi Israel, tanggal 14 Mei 1948 menandai kemenangan dalam perang kemerdekaan. Sebaliknya di pihak Arab, kekalahan itu dikenang sebagai Hari Nakba atau "bencana,” karena terusirnya jutaan warga Arab dari wilayah yang direbut Israel.

Setelah Perang Enam Hari pada 1967, ketika militer Israel menduduki Tepi Barat Yordan dan Yerusalem Timur, Solusi Dua Negara untuk sementara waktu dipandang tidak bisa diwujudkan.

Antisemitisme: Mengapa Melekat Begitu Kuat?

Kapan hak penentuan nasib bagi Palestina diakui?

Isu kemerdekaan Palestina kembali dibahas pada 1980, ketika Uni Eropa mengakui secara resmi hak penentuan nasib bagi Palestina dan mendukung Solusi Dua Negara. Namun, butuh waktu selama hampir dua dekade sebelum Dewan Keamanan PBB mengadopsi istilah tersebut pada Maret 2002. 

George W. Bush menjadi presiden AS pertama yang menggaungkan dukungan bagi Solusi Dua Negara. Pada 2003, juru runding Israel dan Palestina menyepakati Perjanjian Jenewa, sebagai kerangka perdamaian.

Pendekatan itu berawal dari perubahan sikap Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1988. Saat itu, Yasser Arafat secara tidak langsung mengakui kedaulatan Israel, ketika mengoreksi klaim teritorial Palestina dari seluruh wilayah Israel ke batas 1967, yakni untuk wilayah Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza.

Dalam sebuah manifesto, kelompok radikal Islam, Hamas, sebenarnya mengaku siap melakukan diskusi nasional atas dasar garis perbatasan 1967. Namun, dalam dokumen yang sama, penguasa Jalur Gaza itu tetap mengklaim seluruh wilayah dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya. Dengan tuntutan seperti itu mereka praktis menutup kemungkinan koeksistensi dengan Israel.

Solusi Dua Negara atau Solusi Satu Negara?

Selama bertahun-tahun, dukungan warga Israel dan Palestina bagi Solusi Dua Negara mengalami fluktuasi, bergantung pada situasi dan ideologi politik. Menurut survei Palestinian Center for Policy and Survey Research (PSR), saat ini dukungan berkurang drastis. 

Dukungan lebih kecil dicatat bagi Solusi Satu Negara dengan kesetaraan hak bagi kedua bangsa. Menurut mayoritas di Israel, solusi ini akan sekaligus mengubur identitas Negara Yahudi.

Perundingan damai terakhir antara Palestina dan Israel berakhir buntu pada 2014. Sejak saat itu, belum ada lagi inisiatif konkrit untuk mendamaikan kedua negara. Maraknya pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat Yordan yang diduduki, juga semakin mempersulit realisasi Solusi Dua Negara.

Menurut PBB, tahun 2022 merupakan tahun paling berdarah di Palestina sejak 2005. Sejak akhir 2022, Israel kembali dikuasai pemerintahan ultra-nasionalis di bawah Benjamin Netanyahu. Dia ingin terus mendorong pembangunan pemukiman Yahudi dan sempat ingin memaksakan aneksasi terhadap sebagian wilayah Palestina.

Tidak satu pun agenda politik saat ini yang mengemban Solusi Dua Negara atau solusi lainnya.

(rzn/as)