1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAfganistan

Seberapa Bahaya Geliat Islamic State di Afganistan?

7 September 2021

Islamic State mengintip kebangkitan di balik kemenangan Taliban di Afganistan. Dinas rahasia barat diminta menyiapkan diri terhadap ancaman serangan oleh kelompok teror tersebut.

https://p.dw.com/p/3zym0
Bendera Islamic State di Irak, 2015
Bendera Islamic State di Irak, 2015Foto: Getty Images/AFP/M. Ibrahim

Taliban belum lagi sepenuhnya berjejak di Kabul, ketika Islamic State Provinsi Khorasan melancarkan serangkaian serangan maut terhadap bandar udara. Serangan simbolis itu diniatkan sebagai sebuah isyarat kehidupan dari organisasi teror paling kejam dalam satu dekade terakhir.

Lebih dari 100 warga sipil Afganistan dan 13 serdadu AS tewas dalam serangan bom pada 26 Agustus lalu itu. Serangan di Kabul merupakan yang paling berdarah bagi militer AS di Afganistan sejak 2011, dan menebalkan awan gelap yang menaungi proses evakuasi.

Kebangkitan Islamic State sejak kejatuhan Kabul menjadi noktah dalam perang melawan teror yang digalang AS sejak invasi Afganistan. Serangan di Kabul dilancarkan bersamaan dengan dimulainya proses pengadilan terhadap tokoh yang didakwa bertanggungjawab mendalangi serangan teror 13 November 2015 yang menewaskan 130 orang di Paris, Prancis.

Pertumpahan darah di jantung Eropa itu menandakan masa kejayaan "kekhalifahan" di bawah Abu Bakar Baghdadi. Dan menjelang peringatan 20 tahun tragedi 11 September 2001, kelompok-kelompok teror mendapat insipriasi baru dari Afganistan.

"Dinas rahasia barat harus menyiapkan diri terhadap serangan besar jelang peringatan jatuhnya menara kembar di New York, yang bersamaan dengan kemenangan Taliban ditengarai akan menginspirasi kelompok teror," kata Katherine Zimmerman, analis terorisme di American Enterprise Institute di Washington.

"Kaum jihadis sudah menyerukan serangan tambahan terhadap negara barat," imbuhnya.

Kemenangan moral kaum teroris

Sejak jatuhnya kekhalifahan ISIS di Suriah dan Irak, kelompok teror ini bersembunyi di sejumlah negara, termasuk Yaman, Nigeria dan Mali, di mana Islamic State Afrika Tengah (ISCAP) tergolong aktif menggalang serangan.

Jumat (3/9) silam, seorang warga Sri Lanka melukai tujuh orang di Auckland, Selandia Baru. Kepolisian mengamankan alat propaganda Islamic State di kediaman tersangka. Serupa serangan di Kabul, "ketidakmampuan mencegah serangan yang diumumkan secara terbuka memudahkan Islamic State menggalang propaganda," kata Jean-Pierre Filiu, guru besar terorisme di Institut Studi Politik di Paris, Prancis.

"Konfrontasi langsung antara tentara Amerika dan Taliban membuka celah keamanan yang dimanfaatkan oleh kelompok jihadis," imbuhnya.

Simpatisan ISIS cepat memenuhi laman media sosial dengan propaganda usai serangan di ibu kota Afganistan. "Kabul adalah milik kami," tulis Yayasan Hadm al-Aswar yang pro-ISIS, sambil mengecam Amerika dan "kafir Taliban" secara bersamaan.

IS-K saat ini menjadi provinsi IS paling aktif keempat di dunia, setelah IS Irak, Afrika Barat dan Suriah, klaim analis intelijen berjuluk Mr. Q kepada AFP. Menurutnya Serangan di Kabul "melambungkan IS-K ke panggung politik dan media," kata dia.

Adapun bekas diplomat AS, James Jefferey, meyakini IS mulai melatih para jihadis untuk melancarkan serangan serupa di luar Irak dan Suriah antara 2019 dan 2020. "Tentunya ada semacam risiko terulangnya serangan serupa di Eropa yang diorganisir ISIS, dan, serangan oleh individu yang terinspirasi ISIS," kata pria yang dulu ditugaskan mengkoordinasikan serangan terhadap Islamic State di Irak dan Suriah itu.

Adapun analis terorisme, Zimmerman, mewanti-wanti jika situasi di Afganistan dibiarkan berkembang, "tidak sulit membayangkan bagaimana ancaman teror akan tumbuh di Afganistan dan meluber ke kawasan sekitar atau bahkan barat."

rzn/gtp (afp, rtr)