1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismeAfganistan

Mungkinkah Afganistan Kembali Jadi Ladang Terorisme?

Kersten Knipp
24 Agustus 2021

Pascainvasi Taliban, Afganistan dikhawatirkan kembali menjadi ladang subur bagi jaringan teror internasional, terutama al-Qaeda atau Islamic State. Namun, kekhawatiran ini ditepis pakar keamanan.

https://p.dw.com/p/3zNaM
Gerilyawan Islamic State di Suriah pada 19 Mei 2017
Gerilyawan Islamic State di Suriah pada 19 Mei 2017Foto: Uncredited/Militant Photo/dpa/picture alliance

Bagi Presiden Amerika Serikat Joe Biden, misi di Afganistan hanya mengenal satu sasaran, yakni menjamin keamanan di dalam negeri. "Satu-satunya kepentingan kita yang paling vital di Afganistan tetap tidak berubah," kata dia dalam sebuah pidato, Senin (16/08) lalu, "yakni untuk mencegah serangan teror di negara kita."

Pandangannya, bahwa perang melawan teror bisa dimenangkan tanpa kehadiran pasukan AS di Afganistan, tidak diamini oleh sebagian warga. "Kita kembali ke sebuah negara seperti yang berdiri sebelum tahun 2001 (invasi AS)," kata anggota Kongres dari Partai Republik, Michael McCaul, "artinya, kembali sebagai wadah kelahiran terorisme."

Kekhawatiran serupa dilayangkan Jendral Mark Milley, Kepala Staf Gabungan, yang memprediksi kembalinya al-Qaeda atau Islamic State ke Afganistan.

Afganistan sebagai tempat persembunyian teroris?

Potensi kebangkitan kedua kelompok teror ditaksir cukup signifikan, terutama menurut pakar terorisme, Daniel Byman, dalam sebuah editorialnya di jurnal politik, Foreign Affairs. Menurutnya, perang melawan terorisme akan semakin sulit dengan hengkangnya militer AS dari Afganistan.

Namun demikian, dia meragukan bahwa negeri di Hindukush itu bisa kembali menjadi tempat persembunyian jaringan teroris internasional. Untuk itu, al-Qaeda dinilai masih terlalu lemah dan Islamic State sejak awal sudah bermusuhan dengan Taliban. Selain itu, para Talib diyakini belajar dari kesalahan di masa lalu dan tidak ingin menciptakan alasan baru bagi invasi negara asing.

"Mereka tidak ingin dianggap sebagai sarang penyamun dan sebaliknya ingin mendapat pengakuan formal dari dunia internasional," kata pakar Asia Selatan, Christian Wagner, dari Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik (SWP) di Berlin, Jerman. Dia meyakini kelompok teroris tidak akan lagi bisa berkeliaran dengan bebas di Afganistan.  

Wagner mengingatkan, selama masa kekuasaan Taliban di Afganistanantara 1996 hingga 2001, hanya tiga negara yang mengakui "Emirat Islam Afganistan" yakni Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. "Taliban memahami pengakuan luas hanya bisa didapat dengan kebijakan yang sesuai, antara lain seputar hubungan dengan kelompok teror."

Serangan bom di Kabul pada 1 Juni 2017
Taliban bersinergi dengan Jaringan Haqqani yang antara lain dituduh terlibat dalam aksi terorisme terhadap sebuah gedung di Kabul, 2017, yang menewaskan 80 orangFoto: picture-alliance/Photoshot/R. Alizadah

Taliban dalam pantauan dunia internasional

Tidak cuma Barat yang mengkhawatirkan nasib Afganistan pascainvasi Taliban, Rusia dan Cina pun giat melobi penguasa Kabul secara dini untuk menjamin kepentingan masing-masing. Saat ini pemerintah Iran pun dikabarkan sudah menjalin kontak dengan kelompok Islamis tersebut. Ketiga negara tetangga bersikeras tidak ingin lagi melihat Afganistan kembali menjadi ladang terorisme. Hal ini boleh jadi mendapat catatan tebal oleh Taliban.

Sebaliknya Amerika Serikat tidak sepenuhnya bergantung pada Taliban dalam upaya meredam geliat terorisme. Menurut Daniel Byman, militer AS memiliki kapasitas untuk memantau perkembangan kelompok teror di Afganistan dari jarak jauh. "Militer AS sedang mempertimbangkan untuk menggunakan pangkalan udara di luar Afganistan untuk menyerang kamp-kamp al-Qaeda atau menurunkan pasukan darat, jika diperlukan."

Pangkalan militer Amerika Serikat di Timur Tengah
AS berniat memindahkan operasi anti-terorisme di Afganistan ke salah satu pangkalan udaranya yang tersebar di Timur Tengah

Beda antara IS dan al-Qaeda

Meski begitu, hubungan antara Taliban dan al-Qaeda diyakini tetap erat, kata Edmund Fitton-Brown, kepala sebuah misi PBB untuk memonitor Islamic State, al-Qaeda, dan Taliban, pada Oktober silam. "Kami meyakini bahwa pemimpin al-Qaeda berada di bawah perlindungan Taliban," katanya kepada stasiun televisi AS, NBC.

Situasi kontras dialami Islamic State di Afganistan yang belum lama ini mendeklarasikan berdirinya ISIS di Provinsi Chorasan. Kelompok yang dulu menginvasi Irak dan Suriah itu mengalami "kekalahan telak," seperti tertulis dalam laporan untuk Dewan Keamanan PBB pada Mei 2020 lalu. "Kekuatan Taliban ikut menyumbang kekalahan ini terhadap IS."

Pada prinspinya, IS dan al-Qaeda memiliki sasaran yang berbeda dengan Taliban. Jika operasi para Talib terbatas di wilayah Afganistan, kedua kelompok cenderung aktif di luar negeri. "Perbedaan ini membebani hubungan Taliban dan ISIS," kata Wagner.

ISIS banyak mencibir Taliban yang dituduh lebih mementingkan Afganistan ketimbang perluasan Islam di dunia. Al-Qaeda pun mengikuti panggilan yang sama, meski menghindari ketegangan dengan Taliban.

"Kedua kelompok saling berkaitan lewat pengalaman bertempur di Afganistan. Dalam sejumlah kasus, kedua kelompok sulit dibedakan," kata Wagner lagi. Hal ini diyakini akan mempersulit Taliban menjauhkan kelompok teror dari pusat kekuasaan di Kabul. "Semuanya bergantung pada hubungan pribadi antara individu."

rzn/ha