1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekAfrika

Rusaknya Keanekaragaman Hayati Hambat Riset Obat-obatan

Charli Shield
16 Oktober 2020

Menukar keragaman hayati semata untuk pertumbuhan ekonomi berisiko bagi kesehatan manusia. Pasalnya, 60 - 80% obat antibiotika dan antikanker berasal dari senyawa kimia yang ditemukan di alam.

https://p.dw.com/p/3jxZM
Ilustrasi rusaknya keanekaragaman hayati
Ilustrasi rusaknya keanekaragaman hayatiFoto: picture-alliance/Flowerphotos/C. Sharp

Di masa lalu, ahli etnobotanis (bidang ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan tumbuhan) asal Ethiopia bernama Ermias Lolekal Molla terbiasa mengumpulkan kosso atau kayu merah afrika tidak jauh dari ibu kota Ethiopia, Addis Ababa.

Kulit kayu, daun, dan akar pohon kosso biasa digunakan warga setempat untuk mengobati cacing pita dan disentri. Di negara ini, penyakit tersebut masih sering menghinggapi warga yang kebanyakan tidak punya akses ke air bersih.

Sekarang, Molla perlu beberapa hari untuk mencapai daerah pedesaan yang masih ditumbuhi kosso liar. Habitat hutan tempat pohon kosso tumbuh memang telah menyusut akibat pembukaan lahan dan penggundulan hutan.

“Tanaman ini sangat butuh perhatian konservasi,” ujar Molla kepada DW. Ia menambahkan bahwa kosso tidak hanya penting karena sifatnya sebagai tanaman obat, tetapi juga dalam fungsinya pentingnya untuk mengurangi erosi dan menyerap karbon.

Kosso adalah salah satu dari setidaknya 60.000 tanaman dan jamur di seluruh dunia yang dikenal memiliki khasiat obat. Sayangnya, pohon ini juga termasuk dalam kelompok tanaman dan jamur yang berisiko punah. 

Dalam empat tahun terakhir saja, jumlah tanaman dan jamur yang menghadapi kepunahan telah meningkat dua kali lipat menjadi 40 persen. Jumlah ini hanya bagian dari spesies yang telah kita ketahui, masih banyak spesies lain yang belum terpetakan.

Terancamnya sumber bahan baku obat-obatan penting

Peneliti seperti Molla mengatakan bahwa tanpa tanaman obat dan jamur, masa depan kesehatan manusia sangat berisiko. Pasalnya, lebih dari sepertiga obat modern diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung dari produk alami, seperti tumbuhan, mikroorganisme, dan hewan. Sebagai catatan, sekitar 60 hingga 80 persen obat antibiotika dan antikanker berasal dari senyawa kimia yang ditemukan di alam.

Pohon kosso atau kayu merah afrika
Pohon kosso atau kayu merah afrika secara tradisional dipakai untuk obat cacing pita dan disentri. Pohon ini dulunya banyak dijumpai di sekitaran Addis Ababa, ibu kota Ethiopia.Foto: Adrian Warren/Mary Evans Picture Library/picture-alliance

Joao Calixto, pensiunan profesor farmakologi dan direktur organisasi nirlaba Pusat Inovasi dan Pengujian Preklinis (CIEnP) di Brasil mengatakan bahwa tanaman obat dan jamur memainkan peranan yang sangat penting bagi farmakologi modern.

“Jika kita melihat sejarah perkembangan pengobatan modern, hampir seluruhnya didasarkan pada studi tanaman obat dan mikroorganisme - terutama untuk membuat agen antiinfeksi,” ujar Calixto kepada DW.

Beberapa obat penghilang rasa sakit yang paling banyak digunakan, seperti morfin dan kodein, berasal dari bunga poppy. Sementara paclitaxel (taxol) adalah obat kemoterapi yang umum digunakan yang berasal dari kulit pohon yew pasifik (Taxus brevifolia).

Penisilin, salah satu antibiotika pertama, berasal dari jamur. Obat penurun kolesterol juga didasarkan pada khasiat yang ditemukan pada jamur. 

Keanekaragaman hayati tidak dapat dipungkiri merupakan sumber daya penting bagi industri farmasi global yang bernilai sekitar 1,1 triliun dolar AS (lebih dari Rp 16 kuadriliun). Sedangkan perdagangan global spesies tanaman aromatik dan obat-obatan nilainya mencapai 3,3 miliar dolar AS atau kurang lebih setara dengan Rp 48,58 triliun.

Eksploitasi dan hilangnya habitat

Konservasionis seperti Danna Leaman, ketua IUCN Red List yang meneliti spesies tanaman obat yang terancam punah, telah menyuarakan peringatan tentang ekstraksi berlebihan yang terjadi selama beberapa dekade belakangan. “Hilangnya habitat adalah ancaman utama yang dihadapi spesies-spesies itu,” kata Leaman kepada DW.

Deforestasi dan pembukaan lahan untuk pertanian dan perluasan kota di daerah yang kaya akan keanekaragaman hayati seperti Brasil, Ethiopia, India, dan Amerika Utara, telah menghancurkan sebagian besar hutan dan habitat liar tempat ditemukannya tanaman dan jamur sumber obat.

"Sangat sedikit pihak yang sadar akan ancaman nyata dan potensial terhadap sumber spesies yang menjadi andalan perusahaan farmasi dan herbal, dan andalan publik bagi kesehatan mereka," kata Leaman.

Mengingat 80 persen dari tanaman ini dipanen di alam liar dan berasal dari sumber yang cepat menipis, salah satu solusi yang tampaknya logis adalah menanam lebih banyak tanaman. Solusi ini memang efektif dan perlu untuk sebagian kecil dari tanaman obat yang memiliki permintaan tinggi, seperti echinacea. Namun Leaman mengatakan langkah ini berisiko dan tidak realistis.

“Jika Anda berpikir mengenai kerusakan akibat konversi habitat asli menjadi lahan pertanian, mengambil begitu banyak spesies asli hutan dan habitat liar lainnya untuk dibudidayakan akan lebih menciptakan tekanan kepada suatu habitat,” kata Leaman, seraya menambahkan bahwa perlu banyak waktu dan upaya untuk meneliti spesies-spesies tanaman dan jamur yang berpotensi.

Ancaman bagi kesehatan publik

Selain dari manfaat langsungnya bagi kesehatan manusia, banyak dari tanaman obat ini juga berperan penting dalam mendukung kesehatan habitat sekitarnya.

Tanaman Prunus africana yang juga dikenal dengan nama ceri afrika contohnya. Pohon asli pegunungan tropis di Afrika dan Madagaskar ini adalah salah satu spesies ‘kunci’ yang bertanggung jawab sebagai inang bagi tumbuhan, hewan dan organisme lain untuk berkembang dalam sebuah ekosistem. Pohon yang dipanen kulit kayunya untuk mengobati masalah prostat ini juga termasuk spesies yang terancam punah. 

Lembah bunga poppy di Afghanistan
Obat untuk melawan rasa nyeri ada yang diekstraksi dari senyawa yang ditemukan di alam, seperti pada bunga poppy.Foto: picture-alliance/dpa

Baru-baru ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkapkan penilaian penting tentang keanekaragaman hayati, yang menunjukkan bahwa dunia telah gagal mencapai salah satu dari 20 target keanekaragaman hayati global yang ditetapkan 10 tahun lalu. Sedangkan kesehatan populasi manusia sangat bergantung pada ekosistem yang baik dan kaya akan keanekaragaman hayati.

Jika ekosistem dan spesies tanaman obat yang hidup di dalamnya rusak, akses ke bahan mentah untuk penemuan obat dan bioteknologi otomatis berkurang. Selain itu, tercipta juga kondisi untuk penyebaran virus dari satwa liar ke manusia.

Melindungi lingkungan yang sehat sangatlah penting untuk dapat menemukan obat-obatan potensial, kata Leaman. “Dari mana nantinya asal bahan baku pengobatan untuk leukemia? Dan pengobatan untuk COVID-19?”

Lingkungan yang sehat juga “menentukan kemampuan kita untuk memiliki akses, tidak hanya ke sumber obat yang telah kita andalkan dan ketahui, tetapi juga ke sumber-sumber yang belum kita ketahui,” ungkap Leaman. (ae/hp)