1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IklimAmerika Serikat

Ilmuwan Bersikap Dingin atas Rencana Nuklir Bill Gates

Jo Harper
12 November 2021

Perusahaan Bill Gates dan Warren Buffett berencana luncurkan proyek reaktor nuklir yang disebut Natrium. Para ahli menganggap proyek itu sebagai upaya salah arah dalam mencapai target pengurangan CO2.

https://p.dw.com/p/42p97
Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Carolina Selatan, AS
Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Carolina Selatan, ASFoto: picture-alliance/AP Images/C. Burton

Perusahaan energi nuklir milik Bill Gates yakni TerraPower dan perusahaan listrik PacifiCorp - yang dimiliki oleh perusahaan Warren Buffett, Berkshire Hathaway - pada September 2020 bekerja sama untuk meluncurkan proyek yang disebut Natrium. Ini adalah proyek reaktor modular kecil yang ditargetkan siap beroperasi secara komersial tahun 2030.

Banyak negara kini tengah mempertimbangkan reaktor nuklir yang lebih kecil, yang disebut modular, sebagai cara untuk mendukung produksi energi rendah emisi selama masa transisi dari ketergantungan bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan.

Reaktor ini rencananya akan dibangun di Wyoming yang merupakan negara bagian penghasil batu bara terbesar di Amerika Serikat (AS), ujar Gates. "Kami pikir Natrium akan menjadi game-changer bagi industri energi," kata dia.

Undang-Undang Transformasi Energi Bersih AS mewajibkan penghapusan batu bara pada tahun 2025 dan dekarbonisasi jaringan secara penuh pada tahun 2045. Departemen Energi AS memberikan dana kepada TerraPower sebesar $80 juta (Rp1,15 triliun) untuk mengembangkan ide mereka.

Tidak sekecil yang diklaim

TerraPower mengatakan pembangunan pabriknya akan menelan biaya $1 miliar (sekitar Rp14,25 triliun) untuk biaya teknik, pengadaan dan konstruksi. Pembangunannya diperkirakan memakan waktu 7 tahun. Di AS, biaya untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir konvensional adalah sekitar $25 miliar dan dapat memakan waktu lebih lama.

"Reaktor yang lebih kecil dan canggih seperti yang dikembangkan dengan pendanaan dari Bill Gates dan lainnya menawarkan aplikasi, pendekatan, dan peluang baru untuk salah satu sumber energi nonkarbon terbesar di dunia, energi nuklir," ujar Brett Rampal, direktur inovasi nuklir di lembaga nirlaba Clean Air Task Force, kepada DW.

Namun ternyata seorang ahli menilai bahwa ini bukanlah reaktor nuklir yang kecil.

"Reaktor ini bukanlah reaktor yang kecil, mencapai 345 megawatt (MW)," kata Antony Froggatt, seorang peneliti di Chatham House, kepada DW. "Meskipun jauh lebih kecil daripada reaktor yang ada (1.000 MW), reaktor ini masih tergolong besar dan kemungkinan tidak semodular seperti perkiraan awal. Ini melemahkan argumen bahwa reaktor dapat dibangun di pabrik dan kemudian dikirim keluar, yang digadang akan jadi lebih murah," Froggatt memperingatkan.

Klaim 10 kali lebih murah

Reaktor Natrium ini direncanakan untuk bisa mengisi kekurangan energi yang diproduksi oleh pembangkit tenaga angin dan surya sebagai generator cadangan. Proyek ini mencakup reaktor cepat berpendingin natrium 345 MW dengan penyimpanan energi berbasis garam cair untuk meningkatkan output daya hingga 500 MW pada masa puncak permintaan daya.

Teknologi Natrium memiliki kemampuan untuk menyimpan panas dalam tangki garam cair agar bisa digunakan di masa depan, seperti pada baterai. 

"Natrium mencakup tangki-tangki penyimpanan panas nitrat- jenis penyimpanan panas yang sama seperti yang dipakai dalam sistem tenaga surya terkonsentrasi - pengganti turbin gas dan pembangkit listrik tenaga batu bara," Charles Forsberg dari Departemen Ilmu dan Teknik Nuklir di Massachusetts Institute of Technology mengatakan kepada DW.

"Penyimpanan panas ini 10 kali lebih murah daripada penyimpanan dengan menggunakan baterai tetapi membutuhkan teknologi penghasil panas untuk menggabungkan penyimpanan panas. Nuklir adalah teknologi penghasil panas rendah karbon," ujarnya.

Dinilai salah arah dan berbahaya        

"Bill Gates selama ini meremehkan peran teknologi energi terbarukan yang aman dan terbukti dalam mendekarbonisasi ekonomi kita, sebaliknya ia memainkan teknologi yang lebih berbahaya dan berisiko seperti geoengineering dan nuklir," ujar Michael E. Mann, profesor ilmu atmosfer di Penn State University, kepada DW.

Profesor Mann baru-baru ini menandatangani deklarasi yang menyerukan dekarbonisasi melalui dengan sepenuhnya menggunakan energi terbarukan. Ia merasa terganggu karena menurutnya Gates mencoba menarik keuntungan dengan melakukan apa yang ia sebut sebagai "penyesatan". 

"Ini salah arah dan berbahaya. Saat ini, yang menjadi hambatan bagi aksi kebijakan iklim bukanlah teknologi, tapi kebijakan," bantah Mann yang diamini oleh sejumlah ilmuwan lainnya.

"Energi nuklir adalah pengalihan dari sejumlah aksi iklim lainnya yang lebih mendesak," kata Jan Haverkamp dari Greenpeace kepada DW. Perhatian yang baru-baru tercurah kepada energi nuklir sepenuhnya didorong oleh keputusasaan industri dan lobi terkait yang menggambarkannya sebagai solusi untuk mengatasi perubahan iklim, tambahnya.

Biayanya terlalu tinggi

"Tenaga nuklir baru, baik itu reaktor besar yang dikembangkan dari sumber daya yang ada, atau desain kecil terbaru, hanya bisa mengurangi sebagian kecil emisi gas rumah kaca," kata Haverkamp. Ia menambahkan bahwa penggandaan kapasitas hanya akan menghasilkan pengurangan emisi kurang dari 4% dibandingkan jika dilakukan dengan cara biasa.

"Itu juga sudah terlambat dan biayanya terlalu tinggi. Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kita butuh ratusan reaktor baru, menyebarkan risiko terjadinya proliferasi," ujar Haverkamp.

"Reaktor Natrium inilah yang kami sebut sebagai tipe reaktor pembiak cepat. Reaktor jenis ini adalah mimpi buruk terjadinya proliferasi," kata Haverkamp. "Mereka dikirim bersama dengan teknologi pemrosesan ulang yang juga diperlukan untuk mengisolasi bahan pembuat bom nuklir. Untuk alasan itu saja, saya pikir dalam hal ini ide Gates sangat berbahaya," lanjutnya.

Kritikus juga mengatakan produksi reaktor ini akan menjadi perusahaan yang sangat padat modal. "Jadi jawaban singkat saya adalah: Tidak. Kalaupun ada, reaktor ini kemungkinan besar tidak akan memainkan peran penting dalam aksi iklim," kata Haverkamp.

"Saat ini, energi angin dan matahari jauh lebih murah, dan lebih cepat untuk digunakan, serta jauh lebih aman daripada pembangkit nuklir tradisional," ungkap Robert Howarth, profesor di Cornell University, kepada DW.

"Apakah mungkin pembangkit listrik yang dibayangkan oleh Gates dan Buffet akan jadi lebih baik dibandingkan pembangkit listrik tenaga nuklir tradisional? Mungkin, tapi ini masih percobaan. Dan saya meragukan klaim mereka. … dan sebaiknya kita tidak usah memakai tenaga nuklir, tapi secepatnya beralih ke 100% pemakaian energi terbarukan," kata Howarth. (ae/vlz)