1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Restorasi Lahan Gambut Berpotensi Picu Konflik Sosial

20 Juni 2019

Badan Restorasi Gambut (BRG) berambisi merestorasi 2,6 juta hektar lahan gambut di tahun 2020 mendatang. Namun pengamat meyakini, tanpa sosialisasi yang tepat, upaya tersebut akan memicu konflik sosial baru.

https://p.dw.com/p/3KkSt
Torfwälder in Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa

Badan Restorasi Gambut (BRG) menargetkan 200.000 hektar lahan gambut untuk direstorasi pada tahun 2019. Lahan gambut yang direstotasi kebanyakan berada di areal masyarakat dan areal pemerintah. Ini merupakan bagian dari rencana BRG untuk merestorasi total 2,6 juta hektar lahan gambut di tahun 2020 mendatang.

Hingga tahun 2018 sendiri, BRG telah berhasil merestorasi sebanyak 679.000 hektar lahan gambut. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead, di Jakarta (19/06). "Tahun ini kita berharap bisa tambah sekitar 200.000 hektar, jadi (total) bisa 800.000 hektar lebih, nanti sisanya target bisa tercapai semua di 2020," ujar Nazir dilansir dari Antara.

Baca juga: Perusahaan Pembakar Hutan Masih Menunggak Denda

Berdasarkan Laporan Tiga Tahun Restorasi Gambut (2016-2018) Badan Restorasi Gambut, ada tujuh provinsi yang menjadi fokus BRG dalam upaya mereka merestorasi lahan gambut. Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua adalah ke-tujuh provinsi tersebut.

Dalam upaya restorasi tersebut, BRG akan membangun infrastruktur pembasahan gambut antara lain membangun  1.000 sumur dalam dan 30 canal blocking. Hal ini sangatlah penting mengingat gambut harus dalam keadaan tetap basah sehingga keberlangsungan ekosistem gambut pun terjaga. Selain itu gambut juga mampu mengurangi tingkat risiko terjadinya kebakaran hutan.

Nazir menjelaskan pihaknya kini sudah menerapkan sistem pengawasan lahan gambut secara lebih komprehensif.  Berbagai jenis sensor sudah disiagakan di lahan-lahan gambut yang ada untuk memonitor tinggi muka air (TMA) di lahan-lahan tersebut. Citra satelit juga mampu memberikan data tingkat kelembapan, degradasi, hingga tingkat karbon yang ada di lahan gambut.

Restorasi Gambut Indonesia Diakui Dunia di GLF

Pada tahun 2019 ini, biaya restorasi  lahan gambut di tiga kabupaten di Sumatera Selatan yaitu Banyuasin, Muara Enim, dan Penukal Abab Lematang Ilir menelan dana hingga Rp 92 miliar. Dengan sistem pengawasan yang lebih komprehensif diyakini mampu mendeteksi lebih dini adanya degradasi lahan gambut sehingga anggaran yang dikeluarkan pun jauh lebih rendah.

Perhatikan aspek sosial

Menanggapi ini pengamat lingkungan dari Universitas Diponegoro, Haryono Setiyo Huboyo, menyambut positif rencana Badan Restorasi Gambut. Kepada DW Indonesia ia berpendapat bahwa sangatlah penting untuk menjaga keberlangsungan ekosistem gambut.

"Kalau itu tidak direstorasi bisa-bisa hilang nanti dan itu perlu ribuan tahun lagi untuk mendapatkan hal yang sama. Sekarang 'kan kebanyakan sisa belukar, kalau belukar lebih rentan untuk proses kebakaran karena dia tidak bisa menahan air,” papar dosen Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro ini.

Baca juga:Ingin Restorasi Gambut, KLHK Malah Berpeluang Percepat Laju Deforestasi 

Gambut terbentuk dari endapan sisa-sisa tumbuhan yang membusuk selama ribuan tahun lamanya, oleh sebab itu ia memiliki komposisi bahan organik yang tinggi. Gambut juga merupakan sumber energi. Lebih lanjut gambut akan mengalami proses karbonisasi dan berubah menjadi batubara.

Menurut Haryono, upaya restorasi lahan gambut di areal masyarakat harus diiringi dengan adanya sosialisasi secara tepat. Hal ini untuk mencegah terjadinya konflik sosial dengan masyarakat sekitar. Kebanyakan lahan gambut yang ada secara sengaja dikeringkan masyarakat dan dipergunakan untuk kegiatan bercocok tanam.

"Melihat dari sisi ekonomi dan sosialnya memang harus ada diversifikasinya karena ya kalau mereka dapat income yang cukup baik dari sana cukup sulit, di lapangan sudah terjadi konversi yang cukup masif. Istilahnya kalau di sebelahnya sudah dapat konsesi (tapi) yang lain belum, harus ada kompesensi, itu ‘kan lahan masyarakat,” jelas Haryono saat diwawancarai DW Indonesia.

Kerja sama dengan Korea

Dalam usaha menjaga hutan dan lingkungan di kedua negara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia bekerja sama  dengan Kementerian Kehutanan Korea akan menggandeng kaum millennials dari musisi di tanah air hingga bintang K-Pop di Korea. Hal ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di sela-sela acara Asia Pacific Forestry Week (APFW) 2019 di Incheon, Korea Selatan.

Baca juga:Dilema Ekonomi Persulit Upaya Restorasi Gambut 

"Agendanya nanti tentu bisa macam-macam, seperti Festival Millennial untuk Hutan, adanya pertukaran generasi muda Korea dan Indonesia terutama terkait dengan aspek pendidikan, budaya dan ilmu pengetahuan untuk menyiapkan pemimpin kehutanan dan lingkungan hidup masa depan dengan menggunakan jalur kultural,” ujar Siti Nurbaya dilansir dari Jakarta Post.

Mantan Sekjen DPD RI ini juga mengapresiasi kerja sama yang terjalin erat antara Indonesia dengan Korea Selatan seperti kerja sama antar taman nasional, pengembangan wood pellet, hingga pengelolaan lahan gambut. Menteri Kehutanan Korea, Kim Jae-Hyun pun menyambut positif rencana tersebut. Ia berjanji pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kedutaan Korea Selatan yang berada di Jakarta.

rap/rzn (reuters, Antara News, Jakarta Post)

Studi Banding Konversi Lahan Gambut di Jerman