1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BencanaIndonesia

Patahan Megathrust Selat Sunda Bisa Picu Gempa Besar

Detik News
15 Januari 2022

Setelah gempa dengan magnitudo (M) 6,6 mengguncang Jakarta kemarin, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan potensi gempa besar berkekuatan M 8,7 pada patahan megathrust di Selat Sunda.

https://p.dw.com/p/45ZbI
Gambar ilustrasi seismograf
Gambar ilustrasi seismografFoto: Getty Images/AFP/S. Yeh

Menurut Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, gempa Ujung Kulon kemarin sebenarnya bukanancaman sesungguhnya "karena segmen megathrust Selat Sunda mampu memicu gempa dengan magnitudo tertarget mencapai 8,7 dan ini dapat terjadi sewaktu-waktu," kata Daryono dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (15/01/2022).

Meski ilmu pengetahuan belum mampu memprediksi secara presisi kapan gempa itu terjadi, potensi itu ada. Indonesia harus siap dengan hal itu, karena patahan megathrust melintang di selatan Pulau Jawa (termasuk dari pantai barat Sumatera hingga ke Nusa Tenggara Timur).

Waspada tanpa panik

Maka, waspadalah dengan gempa dari megathrust Selat Sunda, tanpa panik berlebihan tentunya. Namun kenapa kita harus waspada sekarang? Bukankah dari dulu gempa yang berpusat di sekitar Selat Sunda juga sudah terjadi? Ada sebab kenapa kita harus waspada sekarang, yakni karena gempa besar sudah lama tidak terjadi di sekitar Selat Sunda ini.

"Inilah ancaman yang sesungguhnya, kapan saja dapat terjadi karena Selat Sunda ini merupakan salah satu zona seismic gap di Indonesia yang selama ratusan tahun belum terjadi gempa besar sehingga patut diwaspadai karena berada di antara dua lokasi gempa besar yang merusak dan memicu tsunami, yaitu gempa Pangandaran magnitudo 7,7 (2006) dan gempa Bengkulu magnitudo 8,5 (2007)," tutur Daryono.

Gempa di Selat Sunda

Selat Sunda memang sudah sering menjadi lokasi gempa dan tsunami. Tsunami Selat Sunda akibat gempa terjadi pada 1722, 1852, dan 1958. Tsunami tahun 416, 1883, 1928, 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami pada 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.

"Gempa kuat dan tsunami adalah proses alam yang tidak dapat dihentikan, bahkan memprediksi kapan terjadinya pun juga belum bisa. Namun, dalam ketidakpastian kapan terjadinya itu, kita masih dapat menyiapkan upaya mitigasi konkret," kata Daryono.

Pentingnya mitigasi bencana

Mitigasi konkret antara lain membangun bangunan tahan gempa, memodelkan bahaya gempa dan tsunami, kemudian menjadikan model ini sebagai acuan mitigasi, seperti perencanaan wilayah berbasis risiko gempa dan tsunami. Mitigasi yang diperlukan juga dan penting berupa penyiapan jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, membangun tempat evakuasi, berlatih evakuasi/drill secara berkala, termasuk edukasi evakuasi mandiri di samping itu BMKG juga akan terus meningkatkan performa peringatan dini tsunami lebih cepat dan akurat. 

Gempa kemarin, yakni berkekuatan M 6,6, juga merupakan gempa di area megathrust. Gempa kemarin termasuk gempa dangkal akibat patahan batuan Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Selat Sunda-Banten. Itu adalah gempa 'interslab earthquake', ciri-cirinya mampu meradiasikan guncangan (ground motion) yang lebih besar dan lebih kuat dari gempa sekelasnya dari sumber lain.

"Sehingga wajar jika gempa ini memiliki spektrum guncangan yang sangat luas, dirasakan hingga Sumatera Selatan hingga Jawa Barat," kata Daryono. (Ed: yp)