1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BencanaIndonesia

Perlunya Peningkatan Mitigasi Bencana Saat Pandemi

24 November 2021

Dengan pemetaan risiko, pemerintah bisa mengidentifikasi daerah-daerah rawan bencana dan mengantisipasinya dengan cakupan vaksin COVID-19 yang lebih luas bagi daerah tersebut.

https://p.dw.com/p/43OJA
Ilustrasi bencana banjir di Indonesia
Ilustrasi bencana banjir di IndonesiaFoto: AP Photo/picture alliance

Tingginya curah hujan yang terjadi akhir-akhir ini membuat beberapa wilayah di Indonesia diterjang bencana banjir dan tanah longsor seperti yang terjadi di Garut (Jawa Barat), Sintang (Kalimantan Barat), dan Palangkaraya (Kalimantan Tengah).

Pekan lalu, sedikitnya 20 kecamatan di 4 kabupaten di Kalimantan Tengah terendam banjir dengan ketinggian 2 meter dan ditetapkan status siaga darurat banjir. Lebih dari 9.900 orang terkena dampaknya, akses jalan-jalan pun terputus akibat bencana ini.

Salah satu korban banjir di Palangkaraya, Nida Najibah Hanum (34), mengungkapkan saat ini banjir sudah surut, tinggal genangan saja dibandingkan dengan minggu lalu. Ia menceritakan air di rumahnya kala itu mencapai 1,5 meter.

"Dalam rumah itu sedada, kalau di luar sekuping. Ini banjir terparah dalam lima tahun terakhir. Tidak pernah seperti ini sebelumnya, buku sekolah anak rusak semua, barang-barang berantakan," kata Hanum kepada DW Indonesia, Selasa (23/11).

Hanum bersama dua anaknya akhirnya mengungsi ke rumah sanak saudara yang tak jauh dari rumahnya. Sementara beberapa tetangga ada yang mengungsi ke tempat pengungsian.

Menurut dia, kondisi pengungsian masih jauh dari layak dan dibangun seadanya dalam kondisi yang terbatas.

"Namanya pengungsian yang begitu, seadaanya, tidak ada standar COVID, ada dapur umum, jarang ada orang pakai masker. Kondisi saat tidur nggak tahu karena saya mengungsi ke rumah kakak, tapi berkerumun pasti iya, karena tidak ada pilihan lain, rumah terendam itu sudah seatap jadi mau nggak mau bareng-bareng, mau bagaimana lagi?" keluhnya.

Perlunya pemetaan risiko dan daerah rawan bencana

Pakar Epidemiologi dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman, mengatakan berkumpulnya banyak orang di tempat pengungsian akibat bencana di saat pandemi COVID-19 memperburuk risiko penyebaran virus.

"Ini karena pandemi masih terjadi dan serius, dan belum bisa dikendalikan. Masyarakatnya belum pada taraf terproteksi imunitas dengan vaksinasi penuh dan memadai. Artinya penanganan kondisi pengungsi harus bisa memastikan ada mapping (pemetaan) risiko bencana," ujar Dicky Budiman kepada DW Indonesia. 

Ia menjelaskan dengan adanya pemetaan risiko bencana, pemerintah bisa mengidentifikasi daerah-daerah rawan bencana dan mengantisipasinya dengan cakupan vaksin yang lebih luas untuk daerah tersebut. 

"Sehingga daerah dengan tradisi longsor, banjir dan gempa bumi bisa lebih diutamakan untuk akses vaksin. Setidaknya 80% warga di daerah bencana harus sudah divaksin. Jangan hanya lansia, tapi juga golongan muda, petugas, dan warga setempat," kata dia.

Perhatian ekstra terhadap lokasi pengungsian

Selain itu, fasilitas tempat pengungsian juga harus diperhatikan dengan memilih lokasi yang cukup ventilasi, dan ruangan yang luas. Perlu juga pemberian sekat per keluarga baik dari kain, triplek, gabus, atau kardus. Dicky menambahkan bahwa kipas angin juga perlu disediakan di ujung ruangan dan hindari pemakaian alat makan atau pakaian bersama.

"Kalau bentuknya tenda, berarti harus lebih banyak tendanya supaya orang juga tidak berkumpul. Kemudian juga menyiapkan kebutuhan masker lebih banyak terutama di tempat pengungsian yang padat. Kalau ternyata, mereka ada di tempat rawan tapi jangkauan masih rendah ada dua opsi apakah mereka mengungsi ke luar atau dilakukan testing dan tracing secara teratur," ujar Dicky.

Dengan pemetaan risiko bersama, ujar dia, lokasi pengungsian dan apa saja yang dibutuhkan bisa ditentukan sebelumnya.

"Misalnya GOR tidak dibutuhkan waktu lama untuk menyiapkan tempat layak untuk pengungsi, kurang dari 24 jam. Respon cepat tepat harus disiapkan. Ini bagian dari mitigasi, menyiapkan ini bukan hanya orangnya saja tapi juga makanan, suplai logistik, harus ada koordinasi antarsektor. Tantangan terbesar pandemi ini adalah SDM, dana, dan alat," menurutnya.

"Jika tidak bisa jaga jarak, jangan lepas masker"

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Mayjen TNI Suharyanto menekankan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah agar mengantisipasi adanya varian baru virus corona AY.4.2 yang telah masuk ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

"Varian AY.4.2 sudah mulai masuk ke Malaysia. Ini yang harus kita antisipasi. Negara-negara di Eropa kasus COVID-19 sudah naik," ujar Mayjen TNI Suharyanto dalam sebuah pernyataan.

Ia juga meminta warga dan pemangku kepentingan untuk mengantisipasi Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2022, yang dapat mendorong masyarakat untuk beraktivitas di luar ruangan, sehingga memicu peningkatan kasus COVID-19. 

"Jadi protokol kesehatan ini terus dijaga. Jangan sampai nanti muncul klaster lagi, utamanya di pengungsian. Terkadang kita lupa saat kondisi bencana untuk terus disiplin protokol kesehatan. Ibu-ibu di dapur umum, jika tidak bisa jaga jarak minimalnya jangan sampai lepas masker! Kalau tidak punya, akan dibagikan secara gratis!" kata Suharyanto.

Di samping itu, Kepala BNPB juga menegaskan bahwa dalam penanganan darurat, pemenuhan hak-hak para warga yang rumahnya dilanda banjir juga harus dipenuhi. Dalam hal ini, keselamatan jiwa masyarakat harus diutamakan dan diprioritaskan.

"Bencana ini merupakan urusan bersama, oleh karena itu pemerintah provinsi juga harus melakukan sinergi dengan berbagai pihak di antaranya pelaku usaha, akademisi, media, dan masyarakat," imbuhnya. (ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.