1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertarungan Membosankan di Pilkada Jawa Barat

6 April 2018

Tahun politik 2019 masih menghitung bulan namun situasi sudah mulai memanas semenjak ditetapkannya 11 partai politik peserta pemilihan umum legislatif. Opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/2ui9Q
Indonesien Wahlen Parlamentswahlen Wahllokal in Jakarta
Foto: Reuters

Pemetaan masyarakat dan analisis menjadi penting karena dalam sistem demokrasi, seluruh rakyat diharapkan berpartisipasi aktif dalam menentukan masa depannya melalui selembar kertas di pemilihan umum.

Karena sistem demokrasi menuntut partisipasi rakyat, maka rakyat diasumsikan rasional dalam menyeleksi calon yang terbaik untuk mewakili dirinya dalam mengambil keputusan.

Kata ‘rakyat' muncul dalam kampanye taken for granted tanpa ada pertanyaan rakyat yang berada di kelas dan kelompok sosial mana? Tiap-tiap lapisan kelas dan kelompok sosial rakyat menjadi subjek sekaligus objek politik. Dan dalam iklim politik yang mulai menghangat ini, setiap tindakan individu menjadi politis.

Tapi individu bisa memilih karena ada pilihan, bagaimana jika toh dalam belantara partai politik tidak ada pilihan ideologi berdasarkan kelas sosial rakyat? maka individu itu sendiri, yang menjadi komoditi dalam jual beli ini. Dengan ketiadaan ideologi yang memantik rasionalitas individu, perasaan menjadi bahan jualan bagi para politikus untuk mengumpulkan simpati dan suara.

Penulis: Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Emosi perasaan ‘suka atau tidak suka' bermain lebih dulu daripada keputusan memilih. Permainan perasaan baru mencari rasionalisasi ternyata terjadi pada skala yang lebih luas: politik Indonesia menjelang pemilu presiden 2019.

Tetap sebelum pemilu DPR dan Presiden berlangsung, rakyat sudah diberi latihan pemanasan melalui serangkaian pemilihan daerah. Jawa, sebagai kunci akan menghadapi pemilihan gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebagai penduduk Jawa Barat tulisan ini akan mengkritisi jalannya pemilu Jawa Barat pasca debat pertama.

Telah terpilih empat pasang calon gubernur dengan nomor urut sebagai berikut: Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul (Rindu) yang disokong partai Nasdem, PPP, Hanura, dan PKB. Pasangan kedua Tb Hasanuddin-Anton Charliyan (Hasanah) yang diusung PDI-P. Disusul oleh, Sudrajat-Akhmad Syaikhu (Asyik) yang didukung koalisi PKS dan Gerindra. Dan yang terakhir, pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (2DM) yang diusung Demokrat dan Golkar. Pada tanggal 13 Maret lalu juga telah berlangsung juga debat terbuka sesi pertama antar pasangan cagub berlangsung dengan tema tema Ekonomi, Politik, Pemerintahan Daerah, Infrastruktur, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Industri, Perdagangan dan Teknologi, Umum dan Koperasi.

Melalui visi-misi para calon mencoba mengatasi permasalahan tersebut melalui program-program yang ditawarkannya.

Jawa Barat berbeda dengan DKI Jakarta secara demografik dan geografis. Apabila DKI Jakarta sebagai ibukota dengan kergaman penduduknya, Jawa Barat lebih cenderung homogen dengan dominasi etnis Sunda beragama Islam. Untuk isu kemungkinan isu SARA bergaung tidak sekencang DKI Jakarta yang ibukota dengan keragaman penduduknya.

Walau begitu, ada formula yang sama terjadi pada pemilihan umum di Indonesia pada umumnya. Demokrasi di Indonesia kehilangan atribut politik karena pemilihan calon pemimpin lebih menggunakan pendekatan tokoh yang tradisional-kharismatik. Emosi lebih ditekankan dalam menyeleksi dan bukan ideologi.

Baca juga:

Tak Apa Pasca-Kebenaran, Yang Penting Membangun

Pemilu Legislatif 2019: Bakal Minus “Partai Islamis”?

Permainan afek

Dalam neurosience, sebuah tindakan yang diputuskan oleh otak didasari oleh perasaan antara suka dan tidak suka baru tindakan dilakukan. Beberapa peneliti juga mengungkapkan bahwa emosi dihasilkan manusia sebagai respon untuk bertahan hidup, rasa takut saat mendekati kematian, rasa bersemangat saat akan bertemu pujaan hati atau rasa marah ketika makanan pesanan tak kunjung datang. Afek adalah perasaan yang timbul sebagai respon dari berinteraksi dengan objek sosial.

Sedangkan emosi adalah afek/perasaan yang ditimbulkan yang berkaitan dengan ingatan dan kondisi sosial. Emosi seperti marah-mengamuk muncul ketika kita membaca berita tentang isu kebangkitan PKI yang menyerang ustad di daerah. Afek dan kesadaran rasional bukan sesuatu yang terpisah ataupun saling bertolak belakang satu sama lain. Afek adalah respon terhadap stimulus tetapi juga stimulus menjadi respon dari perasaan itu sendiri. Afek adalah tindakan sehari-hari yang menjadi alasan kita melakukan sesuatu seperti membeli produk ataupun bergabung pada kelompok tertentu.

Beberapa peneliti afek mengelompokan afek memiliki menjadi dua yakni afek positif dan negatif. Bapak teori afek modern, Silvian Tomkins mengelompokan sembilan jenis afek yang berdasarkan respon ekspresi wajah anaknya sewaktu bayi yakni;  interest-excitement (tertarik-bersemangat), enjoyment-joy (kenikmatan-kebahagiaan), surprise-startle (terkejut-kaget), distress-anguish (tertekan-cemas), anger-rage (marah-mengamuk), fear-terror (takut-horor), shame-humiliation (malu-merendahkan), disgust (jijik) dan dissmell (jijik karena bau).

Demokrasi tanpa politik

Dalam debat cagub Jabar lalu, terlihat seluruh pasangan calon mengajukan dua hal. Nasionalis-Islami. Pasangan nomor satu RK-Uu menonjolkan campuran RK yang nasionalis dengan Uu yang berkostum putih dan selendang hijau khas NU, pasangan nomor dua Hasanudin dan Anton yang menawarkan kepemimpinan modern-Islami walau tanpa simbol keagamaan yang muncul. Pasangan ketiga Sudrajat-Syaikhu terang-terangan menyebut akan "melindungi Ulama dari serangan orang gila” dari awal pernyataan pertamanya. Sedangkan pasangan terakhir Deddy-Dedi menghadirkan penampilan Charlie Setia Band yang menyatakan ‘salawat-salawat' yang identik dengan ritual agama Islam dan citra nasionalis yang melekat dari pernyataan-pernyataan Deddy Mizwar sepanjang debat berlangsung.

Berdasarkan program kerja yang ditawarkan juga visi-misi yang diajukan, dominasi nasionalis-Islami kental sekali dan ini menandakan krisis Ideologi secara umum soal lapangan kerja berpadu dengan ahlak mulia. Walau Jawa Barat didominasi oleh Sunda-Muslim, para calon mencitrakan bahwa mereka akan melindung mayoritas, bukan minoritas baik agama maupun seksual. Padahal, angka Intoleransi di Jawa Barat berdasarkan penelitian dari Wahid Foundation menempati posisi tertinggi di Indonesia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Timo Duile dan Jonas Bens berjudul "Indonesia and the ‘conflictual consensus'” dalam Critical Asian Studies (2017) bahwa mengukur kualitas demokrasi tidak hanya melalui keberadaan institusi-institusi seperti pemilu yang jujur dan adil dan trias politica. Pandangan pos Marxis memperlihatkan bagaimana spanduk kampanye yang bertebaran setiap menjelang pemilihan umum merepresentasikan absennya (P)olitik dalam kerangka konsensual konflik.

Konsensual konflik diambil dari pemikiran Chantal Mouffe yang menyatakan bahwa politik adalah sebagai pertarungan ide dan wacana. Sedangkan apa yang nampak dalam poster dan spanduk kampanye hari ini, ideologi Islami dan nasionalis bersanding dan keduanya berusaha untuk menjadi rukun dan harmonis.

Penyatuan dua ideologi Islam-Nasionalis justru menggerus demokrasi itu sendiri  karena tidak adanya pertarungan ideologi politik.

Akibat tidak adanya ideologi yang menjadi lokomotif pemikiran rasional, emosi menjadi objektifikasi untuk memilih dan berkelompok sekaligus menggerakan gelombang dan arah politik dalam demokrasi. Celakanya, pada demokrasi yang dituntut adalah bagaimana politikus berkampanye menjual program kerja dan ideologi yang berguna meningkatkan rasionalitas pada calon pemilih agar mereka bisa memilih yang terbaik.

Penulis: Nadya Karima Melati (ap/vlz)

Essais dan pengamat masalah sosial.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis