1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Saatnya Ubah Konsep Kepatuhan ke Pendidikan Berpikir Kritis

Kusumasari Ayuningtyas
15 Desember 2021

Saat proses menghafal kitab suci di hadapan guru, seorang murid mengatakan ia harus melakukan 'ritual pembersihan vagina'. Banyak sekolah masih tekankan murid untuk menurut, alih-alih bertanya.

https://p.dw.com/p/44GsY
Ilustrasi seruan untuk mengakhiri budaya pemerkosaan
Ilustrasi seruan untuk mengakhiri budaya pemerkosaanFoto: Kerry Davies/SOLO Syndication/picture alliance

Viralnya kasus pelecehan seksual terhadap belasan santri perempuan di sebuah pesantren di Bandung, Jawa Barat, menandakan adanya sistem yang sangat perlu dibenahi, demikian ujar pengamat pendidikan.

Penekanan kepatuhan terhadap guru atau pendidik perlu diubah dengan pembiasaan siswa atau anak didik untuk berpikir kritis. Selain itu, perlu juga menempatkan posisi pengajar setara dengan para siswa untuk memungkinkan terjadinya diskusi juga mendebat ketika ada hal-hal yang dinilai menyalahi etika dan situasi yang mengancam.

Fitri Haryani dari Spek-HAM, sebuah organisasi nirlaba di Solo, Jawa Tengah, yang berfokus terhadap penegakan hak-hak asasi perempuan menceritakan pengalamannya ketika mendampingi seorang santriwati yang mengalami pelecehan seksual beberapa tahun lalu.

Dari penilaian saat mengunjungi rumah korban dan saat konsultasi di Spek-HAM, muncul dugaan bahwa korban tidak hanya satu orang tetapi banyak. Menurut Fitri, korban rata-rata dimanipulasi.

Berdasarkan cerita aduan santriwati itu, ada program studi muroja'ah atau hafalan Al-Qur'an yang dilakukan secara individu, yakni satu murid dan satu guru. Pada saat itulah, sosok yang diduga sebagai pelaku memanipulasi korban untuk melakukan ritual yang dikatakan sebagai bagian dari proses untuk mempermudah hafalan, antara lain yang disebut 'ritual pembersihan vagina'.

"Dan sebagai santriwati, dia tidak boleh menolak. Dia harus patuh pada pengajarnya," terang Fitri.

Ia menyayangkan bahwa pada tahun 2018 laporan ini dicabut oleh orang tua santriwati itu karena tekanan dari pihak pesantren dan masyarakat sekitar.

Iming-iming pendidikan lengkap dan gratis

Santri perempuan tersebut memang berasal dari keluarga miskin, ujar Fitri. Pihak keluarga menyekolahkannya ke pesantren karena iming-iming sekolah gratis. Selain tidak perlu membayar uang sekolah, anak mereka juga akan tinggal di asrama lengkap, dan tidak perlu membayar uang makan.

Singkat kata, mereka berada dalam posisi yang lemah. Sementara sosok yang diduga pelaku adalah tokoh yang terkemuka dan disegani di daerahnya. Pesantren miliknya pun memiliki jumlah santriwan-santriwati sekitar 100 orang per angkatan.

"Kami sebagai kuasa hukum, sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi ketika mereka mencabut kuasanya," ujar Fitri kepada DW Indonesia. 

Dari kontak terakhir dengan keluarga santriwati tersebut Fitri mendapatkan informasi bahwa setelah lulus, dia memutuskan untuk pergi jauh dari tempat tinggal dan pesantrennya dulu dan bekerja di luar kota. Berusaha melupakan pengalaman kelamnya.

Melihat kenyataan tersebut, Fitri hanya bisa menekankan agar orang tua mengajarkan anak-anak untuk berani berbicara dan melapor ketika berada dalam ancaman. Selain itu, para orang tua harus mencari tahu sejelas-jelasnya kredibilitas sebuah sekolah sebelum memutuskan untuk memasukkan anak mereka.

"Harus bertanya sebanyak-banyaknya, jangan hanya percaya apa kata orang, kemudian harus ada pengawasan dari semua lini," papar Fitri.

Pertanyakan konsep kepatuhan total kepada guru

Prof. Dr. Azyumardi Azra, intelektual muslim yang juga pengamat dan pendidik dalam dunia pendidikan Islam, menilai bahwa prinsip sami'na wa ato'na yang artinya "kami mendengar dan kami patuh" masih menjadi gejala umum di sistem pendidikan di Indonesia.

Ia menyayangkan bahwa anak-anak didik tidak diarahkan untuk berpikir kritis, apa yang dibilang oleh guru harus didengar dan dipatuhi. Murid tidak diharapkan untuk mengkritisi dan bertanya macam-macam kepada guru.

"Jadi ini budaya yang harus diubah secara keseluruhan dalam sistem pendidikan kita, karena pendidikan kita itu tidak mengembangkan pemikiran kritis, lebih menekankan hafalan," ujar Azyumardi.

Ia juga menyesalkan sistem pendidikan berbasis agama yang lebih menekankan kepada kepatuhan maksimal terhadap kemauan dan kata-kata pengajar atau guru. "Kita memang harus menghormati guru, tetapi tidak kemudian apa saja yang dikatakan atau yang dilakukan oleh guru harus diikuti," ujar Azyumardi.

Senada dengannya, pengamat pendidikan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Dr. Jejen Musfah, mengatakan bahwa konsep kepatuhan murid terhadap gurunya harus diubah. Pendidikan harus membuat murid atau santri bebas mengungkapkan gagasan, berdiskusi, dan berdebat dengan guru. Menurutnya, itu akan melatih para murid untuk berani menolak ajakan-ajakan atau tindakan destruktif yang bisa membahayakan.

"Mereka akan punya antisipasi kalau ada tindakan yang tidak benar dari gurunya," tutur Jejen yang anaknya juga bersekolah di pesantren. 

Saat ini, yang harus dilakukan adalah membangun sistem, ujarnya. Mulai dari pemerintah daerah yang melakukan evaluasi terhadap semua institusi pendidikan di wilayahnya. Hingga ke penerapan sistem oleh Kementerian Agama untuk mengevaluasi para staf pengajar. Sementara itu, untuk mendapatkan data internal, bisa dilakukan dengan menyebar angket sehingga antarguru bisa saling menilai dan para siswa bisa menilai gurunya.

"Data ini nanti untuk mengetahui dan membaca apakah ada indikasi adanya tindakan-tindakan yang tidak seharusnya," pungkas Jejen.

Fenomena gunung es yang tidak pandang agama

Prof. Dr. Azyumardi Azra melihat bahwa fenomena kekerasan seksual di sekolah asrama seperti yang terungkap baru-baru ini seperti fenomena gunung es dan tidak hanya terjadi pada sistem pendidikan Islam.

Di antara sekolah-sekolah tesebut ada yang menggunakan sistem boarding school atau asrama, di Islam ada yang asrama ada yang pesantren. Sekolah-sekolah dengan sistem boarding yang modern, berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan sistem pendidikan yang membawa identitas religius seperti pesantren, seminari, atau paslam (Hindu) kewenangan pengawasannya berada di bawah Kementerian Agama.

Dia mencontohkan kejadian di tahun 2019 ketika 56 orang menjadi korban pelecehan seksual di pusat pendidikan calon imam Gereja Katolik Indonesia. Pelecehan diketahui dilakukan oleh 33 orang imam, dan 23 lainnya yang bukan imam.

Lalu di pertengahan tahun 2020, di sebuah Gereja Katolik di Depok, Jawa Barat, seorang pengurus gereja berusia 42 tahun dituduh mencabuli sedikitnya 20 putra altar yang berusia sekitar 11-15 tahun. Di sebuah sekolah di Medan, Sumatera Utara, 6 orang siswa perempuan mengaku mengalami pelecehan seksual oleh Pendeta Protestan mereka. Di luar itu, sedikitnya 15 santri laki-laki dilecehkan secara seksual di sebuah pesantren di Aceh oleh kepala pesantren yang kemudian dihukum 15 tahun penjara.

Orang tua, jangan lepas tangan!

Sekolah yang menggunakan sistem asrama atau pesantren cenderung lebih sulit untuk diawasi, ujar Azyumardi. Hal ini diperparah dengan sikap para orang tua yang cenderung percaya kepada lembaga sekolah, terutama pesantren.

Bahkan, menurut survei yang dilakukan Azyumardi, orang tua muslim lebih cenderung mengirim anak perempuan mereka ke pesantren daripada sekolah umum. Mereka merasa aman jika anak perempuannya masuk pesantren.

"Tidak ada sikap mawas diri, sama sekali tidak ada. Seolah-olah semua guru di lingkungan itu orang baik semua," ujarnya.

Selain itu, ia juga menekankan agar masyarakat turut mengawasi apa yang terjadi di lingkungan mereka.

"Jangan permisif, jangan beranggapan kalau mengungkap itu seperti membuka aib. Ini bukan tentang aib, ini tentang kejahatan yang harus dibongkar," tandas Azyumardi yang menganggap bahwa pelecehan seksual kepada anak adalah kejahatan kemanusiaan. (ae)