1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hidup Sebagai Minoritas di Jerman

Dina Novian
17 Juli 2020

Menjadi minoritas di tengah masyarakat Jerman ternyata tidak terlalu menakutkan seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya, dan mengajarkan saya banyak hal baru. Oleh Dina Novian.

https://p.dw.com/p/3fQ2J
Dina Novian dan teman-teman musim dingin di Jerman
Dina Novian dan teman-teman di JermanFoto: privat

Saya datang ke Jerman sebagai Aupair di salah satu kota di Bayern sejak Agustus lalu. Tidak banyak hal yang saya ketahui tentang negara ini, tapi satu hal yang pasti yaitu jumlah Muslim yang tinggal di negara ini sedikit. Pikiran negatif mulai datang menghampiri, bahkan beberapa bulan sebelum saya berangkat, saya selalu bertanya pada diri sendiri. Apakah nanti orang-orang disana akan menyukai saya? Apakah saya bisa berbaur dengan mereka? Apakah saya bisa punya teman? Bagaimana dengan makanan? Itu hanya segelintir pertanyaan yang bersarang dikepala. Pertanyaan-pertanyaan itu bukan tanpa alasan, saya seorang muslimah dengan jilbab yang panjang dan mungkin akan menjadi satu-satunya yang berpakaian seperti itu.

oto Dina Novian
Dina NovianFoto: privat

Saya tiba di Bandara Internasional München sekitar pukul 10 pagi waktu setempat. Hal pertama yang saya khawatirkan yaitu ketika masuk ke bagian imigrasi. Saya khawatir ada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, terutama jika dikaitkan dengan penampilan saya saat itu. Semua dokumen saya simpan di tas ransel sehingga ketika butuh tidak repot. Kekhawatiran saya bertambah ketika ada orang yang dibawa oleh salah satu petugas.

Ketika giliran saya tiba dan sebelum petugas bertanya, saya langsung menyampaikan tujuan datang ke Jerman dalam bahasa Jerman dan menyerahkan beberapa dokumen. Petugas tersebut hanya bertanya di kota mana saya akan tinggal. Setelah menjawab, ia berkata ‘Willkommen in Deutschland' yang artinya Selamat Datang di Jerman. Rasanya melewati imigrasi benar-benar menegangkan. Harap maklum, ini adalah pertama kalinya saya ke luar negeri dan sendirian.

Saya menjadi Aupair di sebuah keluarga Muslim, sehingga ketika di rumah saya tidak perlu khawatir tentang cara berpakaian, masalah makanan dan beribadah. Minggu-minggu pertama tinggal di sini menjadi waktu untuk beradaptasi dan membiasakan diri untuk melakukan apapun sendirian. Tanpa keluarga, tanpa teman, dan harus berbicara bahasa Jerman atau bahasa Inggris. Ketika saya tidak mengerti, saya akan meminta lawan bicara menggunakan bahasa Inggris. Meskipun bahasa Inggris saya juga tidak terlalu bagus, tapi saya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut.

Setiap keluar rumah, saya selalu menggunakan jaket sehingga cara berpakaian saya tidak menarik perhatian. Saya benar-benar khawatir, namun ternyata kekhawatiran saya tidak terjadi. Orang-orang di kota tempat saya tinggal ramah dan jumlah Muslim disini juga lumayan banyak. Saya mencoba keluar rumah, ke pusat kota tanpa menggunakan jaket. Saya menggunakan rok hitam, blouse, dan jilbab yang panjangnya hampir menutup tangan. Respon yang saya terima tidak ada! Jangankan berkata jelek, melihat saya dengan aneh pun tidak. Mereka cuek, dan itu membuat saya senang. Sejak saat itu saya merasa lebih percaya diri.

Tantangan berikutnya yaitu mendapat teman. Saya memang orang yang tidak menyukai keramaian tapi bukan berarti saya tidak butuh teman. Apalagi ini petama kalinya saya merasa menjadi orang yang benar-benar asing. Wajar saja, saya tinggal di negara yang sangat jauh dari rumah. Meskipun sejak tahun 2013, saya sudah merantau untuk kuliah dan bekerja setelahnya, tapi Indonesia tetaplah rumah bagi saya. Di  kota manapun saya tinggal, selama itu masih di Indonesia, saya tetaplah di rumah.

Saat saya datang ke Volkshochschule untuk mendaftar kursus Bahasa Jerman, saya melihat dan mengambil sebuah brosur yang berisi informasi tentang Sprachcafe. Lokasi Sprachcafe pun tidak terlalu jauh dari rumah sehingga saya ingin mencoba datang kesana. Selain ingin berkenalan dengan orang lain, saya juga bisa memperlancar kemampuan berbahasa Jerman.

Dina Novian bersama teman-teman di Jerman
Bersama teman-teman di JermanFoto: privat

Pertama kali datang ke sana, saya agak canggung untuk masuk karena hanya saya yang berjilbab, tapi mereka menyambut saya dengan ramah. Salah seorang dari mereka bahkan berdiri untuk menghampiri saya dan mengajak saya untuk duduk. Dia memintaku untuk memperkenalkan diri dan tentu saja dalam Bahasa Jerman. Saya hanya memperkenalkan nama, asal, dan apa yang saya lakukan di Jerman. Mereka sangat tertarik karena saya adalah orang Indonesia pertama yang mereka lihat dan kenal. Setelah memperkenalkan diri, saya hanya diam karena saya tidak mengerti mereka membahas apa. Bahkan saya tidak bisa menangkap sepatah kata pun ucapan mereka. Terlalu cepat untukku. Hal tersebut berlangsung hingga beberapa pertemuan.

Saat ini saya cukup bisa mengerti apa yang mereka katakan. Ketika ada yang berbicara, saya akan menyimak dengan baik dan menangkap beberapa poin yang dikatakannya serta merangkai maksudnya dalam kepala. Mereka menerima saya dengan sangat baik. Mereka tidak melihat asal saya dari mana, bagaimana penampilan saya dan apa agama saya. Mereka juga menghargai ketika saya menolak bersalaman dengan lawan jenis tanpa bertanya sebabnya. Berbincang dengan mereka membuat kemampuan berbahasa saya meningkat. Saya tidak pernah melewatkan satu pertemuan pun dengan mereka.

Hal yang kami bicarakan bukan hanya hal-hal ringan seperti kegiatan sehari-hari dan hobi tapi juga berdiskusi tentang hal yang cukup berat. Misalnya kami pernah membahas tentang isu perempuan yang bekerja, alasan perempuan bekerja, bahkan tentang Islam dan konflik yang terjadi di negara-negara Muslim. Mereka banyak bertanya kepada saya dan teman saya. Mereka bertanya kepada saya kenapa wanita muslim itu berjilbab dan kenapa ada anak TK yang sudah berjilbab. Apakah itu juga wajib bagi mereka. Sebagian dari mereka berpikir bahwa jilbab itu wajib bagi wanita yang sudah menikah. Lalu saya menjelaskan sebisa saya karena kemampuan bahasa yang masih terbatas. Menjadi bagian dari Sprachcafe adalah hal yang saya syukuri.

Selanjutnya waktu beribadah. Jika di Indonesia bisa mendengar adzan sebagai seruan sholat dan bisa dengan mudah menemukan masjid atau mushola, maka di sini berbeda. Saya harus selalu mengecek waktu sholat menggunakan aplikasi karena waktu Sholat di sini berbeda dengan di Indonesia. Perbedaan lama waktu bersinarnya matahari mempengaruhi waktu sholat. Contohnya saja saat musim panas di bulan Agustus, waktu sholat Maghrib sekitar jam 9 malam namun pada musim dingin di bulan Desember, waktu sholat Maghrib sekitar jam 4.15 sore.

Suara adzan di sini juga hampir tidak mungkin bisa didengar kecuali datang ke Masjid saat waktu sholat. Adzan pun hanya terdengar di masjid, tidak sampai keluar masjid. Ketika saya sedang berada di luar rumah dan waktu sholat tiba, saya akan mencari masjid terdekat untuk sholat dengan menggunakan Google Maps. Masjid di kota ini ada dua dan tidak terlalu berbentuk seperti Masjid. Tapi salah satu masjid memiliki kubah sehingga bisa terlihat dari luar bahwa itu adalah sebuah masjid. Setiap sholat di Masjid, membuat saya merasa seperti pulang karena saya bisa mendengar adzan atau sayup-sayup orang mengaji. Saya rindu suara adzan yang saling besahutan dari satu masjid ke masjid lainnya seperti di Indonesia.

Hal terakhir yaitu perihal makanan. Saat makan di rumah, InsyaaAllah halal karena saya tinggal dengan keluarga Muslim yang makan hanya makanan halal, termasuk daging ayam dan sapi. Saya pernah bertanya kepada mereka tentang kehalalan daging tersebut dan mereka menggunakan pendapat ulama yang memperbolehkan makan daging ayam dan sapi di negara mayoritas non-muslim.

Gedung Masjid di Jerman
Gedung Masjid di ErlangenFoto: privat

Sejak tinggal di Jerman, saya jarang makan camilan dan beli makanan di luar karena saya tidak tahu mana yang halal dan haram. Tapi di pusat kota terdapat beberapa kedai penjual Kebab dan beberapa di antaranya ada yang memiliki sertifikasi halal. Sertifikat kehalalan kedai tersebut di tempel di dinding kedai sehingga ketika saya lapar, saya tidak ragu untuk membeli makanan di kedai tersebut. Pilihan lainnya yaitu membeli salad atau telur rebus yang dijual di minimarket. Saat sedang menghemat, saya akan memilih membeli telur rebus ketimbang kebab atau salad. 1 kotak berisi 10 telur rebus harganya hanya 1,79 € sedangkan 1 porsi kebab harganya 4 € dan 1 porsi salad harganya sekitar 2 € sampai 3 €.

Menjadi muslimah dan minoritas di negara lain adalah hal baru dan mengajarkan banyak hal untuk saya. Hal yang tadinya biasa saja di Indonesia, sekarang menjadi hal yang saya rindukan. Saya rindu mendengar suara adzan yang saling bersahutan dari satu masjid ke masjid lainnya saat waktu sholat. Saya juga merindukan aneka jajanan pinggir jalan yang bisa ditemui di mana saja.

Masih banyak hal lain yang saya rindukan. Tapi manusia memang selalu begitu, hal yang biasa saja ketika jauh menjadi hal yang luar biasa dan paling dirindukan.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)