1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Penerapan Pola Asuh Demokratis Terhadap Anak

Betty Herlina
9 Maret 2022

Dengan sikap tegas orang tua, anak perlu diberi tahu jika melakukan kesalahan. Namun bukan dengan nada tinggi, apalagi berkata kasar yang dapat merendahkan mental anak.

https://p.dw.com/p/48AYT
Ilustrasi mendisiplinkan anak
Ilustrasi mendisiplinkan anakFoto: Rafael Ben-Ari/Newscom/picture alliance

Sesuai dengan Undang Undang No. 23 tahun 2005 tentang perlindungan anak, salah satu hak anak adalah mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan orang tua bisa memulainya dari lingkungan keluarga. Salah satunya dengan memberikan pola asuh yang tepat. Ini disampaikan ahli tumbuh kembang dan pediatri sosial, dr. Braghmandita Widya Indraswari, dalam siaran live instagram Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Selasa (08/03).

Penerapan pola asuh anak menjadi salah satu kunci untuk memproteksi diri anak dari berbagai bentuk kekerasan. Ada tiga pola asuh yang umumnya dikenal masyarakat. Yakni, pola asuh otoriter, anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini tumbuh menjadi pribadi yang penakut dan tidak berani menyampaikan berpendapat. Kedua, pola asuh permisif, yakni pola asuh yang selalu memberikan apa yang anak inginkan. Pola asuh ini berdampak pada sikap anak yang semaunya.

"Pola asuh demokratis, ini yang orang tua harus bisa mengombinasikan. Tidak galak tapi tegas dan konsisten. Apa yang sudah menjadi aturan disepakati bersama dan dijalankan. Pola asuh ini membuat anak menjadi percaya diri, berani menyampaikan pendapat dan mau bercerita," katanya.

Dalam kesempatan yang sama ahli tumbuh kembang dan pediatri sosial, dr. Eva Devita Harmoniati, menambahkan pola asuh demokratis memberikan konsekuensi atas sebuah pelanggaran. Bila anak melanggar aturan yang sudah ditetapkan dan disepakati bersama, orang tua akan memberikan sanksi.

"Anak tahu konsekuensi jika melanggar peraturan, jadi anak bisa patuh. Pola ini bisa diterapkan sejak anak masih kecil, ketika berumur 3 tahun, misalnya kalau nanti ngompol bagaimana? Sehingga anak akan berusaha memberikan yang terbaik, ketika anak tidak ngompol maka orang tua harus memberikan reward," ujar Eva.

Selain itu, lanjut Eva, membangun kepercayaan jika anak sudah berusia remaja juga perlu dilakukan sehingga orang tua dapat tetap mengontrol anak. Usia remaja, umumnya anak tidak mau diatur, sehingga orang tua perlu membangun keterbukaan dan menjadikan anak sebagai teman.

"Penting bagi orang tua untuk menetapkan batasan. Ada beberapa aplikasi yang bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan anak. Pemasangan aplikasi harus didiskusikan dengan anak, tapi jangan sampai jadi orang tua menjadi kepo. Pemasangan aplikasi ini cukup membantu untuk mengawasi, tapi membangun keterbukaan tetap penting," ungkapnya.

Tegur tanpa merendahkan anak

Kekerasan terhadap anak terus terjadi di Indonesia. Dilansir dari situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), berdasarkan Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang diakses Selasa, terjadi kenaikan angka kekerasan selama pandemi COVID-19.

Tahun 2019 tercatat 11.057 kasus, memasuki pandemi tahun 2020 menjadi 11.278 kasus dan tahun 2021 meningkat menjadi 14.517. Sepanjang tahun 2022 hingga Februari sudah tercatat 2.784 kasus kekerasan terhadap anak.

"Ini merupakan fenomena gunung es, angka yang terlihat tidak mencerminkan kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan. Apalagi selama pandemi. Sistem pembelajaran daring, anak yang lebih banyak di rumah, angka kekerasan meningkat," kata dr. Eva Devita Harmoniati.

Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan yang menyakitkan bagi anak dan berpotensi mengganggu tumbuh kembang mereka. Bentuknya termasuk kekerasan verbal dengan berkata kasar, eksploitasi, menyakiti dan menyentuh fisik anak, termasuk penelantaran.

Jika orang tua ingin menegur anak karena sudah melakukan kesalahan, lanjut Eva, tidak perlu menggunakan kata-kata kasar yang dapat merendahkan mental anak. 

"Anak perlu tahu jika melakukan kesalahan, tentunya dengan sikap orang tua yang tegas, bukan mendayu-dayu sehingga anak bisa membedakan kapan orang tuanya biasa saja atau kapan sedang tegas. Sikap tegas yang diperlukan supaya anak tahu batasan, tidak perlu dengan nada tinggi atau berteriak," imbuhnya.

Anak yang sering menjadi korban kekerasan, kata Eva, akan mengalami gangguan pada saraf sinaps yang sudah terbentuk di otak. Hal tersebut berdampak panjang dan bisa menimbulkan gangguan kesehatan dan metabolik dikemudian hari.

"Dampak kekerasan itu jangka panjang, anak-anak menjadi berani mencoba hal-hal yang berisiko misalnya merokok dan narkoba," tuturnya.

Memutus lingkaran kekerasan

Sementara dr. Braghmandita menambahkan anak yang menjadi korban kekerasan cenderung akan menjadi pelaku kekerasan ketika sudah menjadi dewasa karena menganggap tindakan kekerasan sebagai hal yang biasa.

"Risiko menjadi pelaku lebih besar, karena anak menganggap kekerasan adalah hal yang biasa, jadi dia menganggap itu normal," terangnya.

Perubahan perilaku pada anak menjadi salah satu gejala anak sudah menjadi korban kekerasan. Contohnya, anak yang tadinya ceria tiba-tiba menjadi pemurung atau malah menjauh dari lingkungan. Ada pula yang mengeluarkan beragam alasan untuk menghindar, seperti keluhan sakit perut. Pada tingkat yang lebih berat, anak menjadi depresi tidak mau bermain keluar dan menarik diri.

Dr. Eva mengimbau jika ada yang menemukan tindakan yang mengarah pada kekerasan atau tidak lazim, sehingga ada perubahan pada sikap anak, masyarakat harus segera melaporkan. Pelaporan dapat dilakukan ke Komisi Perlindungan Anak, Kepolisian di hotline 110 untuk kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Serta hotline Sapa 129 dari Kemen PPPA.

"Jika itu kasus kekerasan seksual, silakan bawa ke Pusat Krisis Terpadu di IGD, nanti dokter akan membantu mengumpulkan barang bukti termasuk membantu proses pelaporan ke polisi. Bisa juga ke unit pelayanan UPTD PPA untuk membantu proses advokasi," ujarnya. (ae)