1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Pastor Bollen dari Jerman dan Ikthiarnya di Flores

Hengky Ola Sura
9 Oktober 2020

Enam dekade berlalu, Sikka Nian Tana kini menjadi sentra utama kakao di NTT, dengan kakao Sikka yang terkenal. Semua berawal dari ikhtiar Pastor Heinrich Bollen dari Jerman. Oleh Hengky Ola Sura.

https://p.dw.com/p/3jcG3
Schokoladen-Produkte aus Flores
Foto: Privat

Kabupaten Sikka, Provinsi NTT, tak hanya punya pesona alam dan pantainya yang eksotis, tapi juga hasil terberi dari tumbuh suburnya kakao. Kakao Sikka adalah jenis kakao dengan kualitas nomor satu. Jika kini Sikka punya coklat dengan label Cho-Sik, maka sosok yang kepadanya paling layak disematkan rasa terima kasih paling berlimpah adalah Pastor Heinrich Bollen, SVD.

Hengky Ola Sura dari Flores
Hengky Ola SuraFoto: Privat

Biarawan Katolik asal Jerman inilah yang mendatangkan benih kakao dari Pantai Gading Afrika pada masa-masa awalnya sebagai seorang misionaris Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD) di Pulau Flores. Berkat jasanya memotivasi petani Sikka-Flores itulah yang menjadi semacam cerita berlanjut petani kakao dari masa ke masa. Usaha awalnya adalah sebagai misi sosial, juga sebagai upaya merencanakan kehidupan ekonomi petani yang lebih baik. Lebih mulia.

"Saya datang dan saya lihat umat saya susah sekali. Untuk makan apalagi berpakaian. Saya lihat ada beberapa tanaman kakao yang tumbuh, jadi saya pikir di sini cocok untuk tanaman kakao. Kami bikin CU (Credit Union/Koperasi Kredit) dan ajak umat tanam kakao.” Demikian tutur Bollen saat saya dan tiga sahabat jurnalis menemuinya pada November 2018 lalu.

Enam dekade berlalu dan Sikka Nian Tana kini jadi sentra utama kakao di NTT. Kakao Sikka pun terkenal. Siprianus Karel Siga, mantan pegiat NGO Sahabat Cipta dan Swiss Contact, yang bergerak pada pemberdayaan petani kakao, mengemukakan bahwa kualitas biji kakao Sikka dari Flores umumnya adalah kakao kelas unggulan ketika sudah diolah jadi cokelat.

Lebih jauh menurut Siga, kualitas kakao Sikka bagus karena kadar airnya sedikit. Tumbuh di daerah Flores yang curah hujannya sedikit memengaruhi kualitas kakao. Standarnya adalah biji kakao harus difermentasi, kering (kadar air 7 %), bebas dari biji smoky, bebas dari bau yang tidak normal dan bau asing, dan bebas dari bukti-bukti pemalsuan.

Biji kakao juga harus bebas dari serangga hidup. Biji kakao dalam satu parti (kemasan) harus mempunyai ukuran seragam, bebas dari pecahan biji dan pecahan kulit, dan bebas dari benda-benda asing. Demikian urai Siga.

Produk coklat Cho-Sik

Kualitas terbaik biji kakao Sikka telah mendorong Pemerintah Kabupaten Sikka untuk melakukan inovasi. Kakao Sikka lalu diolah jadi coklat Sikka dengan nama produk Cho-Sik. Produk ini secara resmi diluncurkan pada 10 Februari 2018. Tentang rasanya coklat Sikka, banyak kalangan dan penikmat coklat menilai sebagai yang terbaik.

Menurut Siprianus Karel Siga, ketika sejumlah tamu dari NGO internasional mencoba Cho-Sik rasanya paling istimewa. Legit, sedikit pahit dan aromanya yang klasik, meleleh di mulut dan tidak menempel pada langit-langit mulut.

Ibu Mufidah Jusuf Kalla ketika berkunjung ke Maumere pada 4 April 2018 lalu, ketika makan Cho-Sik langsung nyeletuk, "aduh, ini enak sekali! Rasanya unik…sangat enak. Warga Maumere Even Edomeko bilang, Cho-Sik beda dari rasa cokelat lainnya. Cokelatnya terasa, manisnya unik dan beda dari coklat yang pernah dimakannya.

Okto Suban Pulo, kepala UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang mengurusi produk Cho-Sik, mengemukakan, sampai saat ini bahan baku kakao yang diolah jadi Cho-Sik dipasok dari Koperasi Serba Usaha (KSU) Sube Huter Nita dan KSU Romeo Hewokloang.

Berkembang berkat Pastor Bollen

Cho-Sik kini bekerja sama dengan 75 kelompok tani melalui dua KSU sebagai penyedia bahan pokok kakao yang sudah difermentasi. Harga yang dibeli pun lumayan mahal, 1 kg cokelat dipatok dengan Rp 38 ribu. Harga ini tentunya juga membantu para petani kakao.

Varian Cho-Sik kini selain dalam bentuk batangan juga dalam kemasan tepung. Beberapa varian juga sedang dikembangkan oleh manajemen Cho-Sik. Varian tersebut nantinya dicampur dengan jagung dan kelor. Sedangkan kemasan dibuat lebih menarik. Penampilannya lebih-lebih cantik.

Alexius Bartolomeus, Ketua KSU Sube Huter Nita menjelaskan, dalam seminggu pihaknya bisa memasok sekitar 100 kg kakao yang sudah difermentasi kepada manajemen Cho-Sik. Fermentasi biasanya berlangsung lima hari lima malam. Saat ini KSU Sube Huter sudah mendampingi lima kelompok petani kakao. Menurut Bartolomeus, pihaknya sebagai pemasok merasa bangga dan gembira karena ikut memuliakan nasib hidup para petani anggota koperasi.

Semua yang terjadi dan berubah saat ini adalah karena sosok Pastor Heinrich Bollen, SVD. Ikthiar awalnya berkoperasi dan menanam kakao tetap hidup dan sungguh-sungguh berbuah manis saat ini. Semua pegiat pemberdayaan masyarakat ketika bicara tentang kemajuan saat ini mengatakan semuanya adalah berkat Tuan Bollen. Pastor Jerman ini sungguh-sungguh telah menjadi kecintaan warga Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

*Hengky Ola Sura, saat ini tinggal di Maumere, Flores-NTT. Selain menulis juga gemar bertani

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)