1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pasar Karbon Indonesia untuk Siapa?

Telly Nathalia
3 November 2023

Pasar Karbon Indonesia baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada September 2023. Bagaimana mekanisme perdagangan dan mengapa dinilai sulit menarik pembeli internasional?

https://p.dw.com/p/4Y96i
Ilustrasi: perusahaan penghasil emisi bisa menjadi target pembeli karbon
Ilustrasi: perusahaan penghasil emisi bisa menjadi target pembeli karbon Foto: blickwinkel/IMAGO

Indonesia tengah berlomba untuk memenuhi komitmen untuk memperlambat laju perubahan iklim dengan penurunan emisi karbon global guna mecapai titik netral. Serangkaian upaya dalam rangka mencapai target komitmen netral atau Net Zero Emission 2060 atau lebih awal juga telah dilakukan, salah satunya dengan membuka Pasar Karbon Indonesia.

Terobosan membuka pasar karbon yang diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 26 September 2023 atau dikenal dengan nama Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon), adalah batu loncatan signifikan oleh pemerintah Indonesia dalam mengimplementasi komitmen terhadap perubahan iklim.

Perlu ikuti standard internasional

Menurut data pemerintah, Indonesia memilki 75 hingga 80% cadangan karbon dunia, sebagian besar dihasilkan dari hutan bakau yang menyumbang 20% cadangan karbon dunia. Artinya, di satu sisi, membuka pasar karbon bisa menambah cadangan devisa bila dimanfaatkan secara maksimal.

Namun, menurut Dean Benitez M.A.S., Direktur Rantai Oxygen Indonesia (ROXI), ada beberapa hal yang berpotensi menjadi penghalang bagi pembeli internasional untuk memasuki pasar karbon Indonesia. Pasalnya, ada beberapa elemen penting yang disepakati di dunia perdagangan karbon global yang tidak diikuti Indonesia.

Di antaranya menurut Dean, Indonesia belum memiliki metodologi yang terverifikasi dan mengacu kepada standar internasional dalam pengaturan karbon. Indonesia bahkan menolak menggunakan metodologi internasional untuk hal itu dan membuat mekanisme sendiri. Hal ini dapat menghambat penghitungan pajak karbon.

Di satu sisi, pemerintah Indonesia berupaya mereduksi emisi gas rumah kaca dengan mendorong penggunaan transportasi ramah lingkungan, misalnya penggunaan kendaraan listrik, industri ramah lingkungan dan sebagainya, tapi lupa membuat on board unit (OBU) untuk mesin-mesin produksi, moda transportasi, dan lainnya yang menjadi alat ukur emisi karbon yang dilepas dari sebuah mesin produksi ataupun kendaraan. 

Pengunaan OBU pada mesin produksi dan kendaraan yang mengeluarkan gas emisi sudah menjadi acuan di banyak negara, misalnya di Korea Selatan yang sudah mengaplikasikan penggunaan OBU di kendaraan-kendaraan listriknya, sehingga pengguna bisa mengetahui besaran gas emisi yang dihasilkan dan apakah telah melewati batas yang diizinkan atau tidak.

Hal lainnya, sosialisasi peraturan-peraturan yang terkait dengan pengurangan emisi karbon, ataupun perdagangan karbon tidaklah merata bagi masyarakat umum di Indonesia.

"Sekarang adalah momentum yang baik bagi Indonesia untuk membuka pasar karbon, dengan catatan, pertama, metodologi untuk verifikasi dan validasi karbon dari hutan Indonesia harus bisa diterima atau sesuai dengan metodologi industri atau pasar karbon dunia. Kedua, sudah ada regulasi dan undang-undang yang detil sebagai penyelaras multi kementerian dan lintas stakeholders swasta," jelas Dean kepada DW.

Karbon dari hutan bakau

Perdagangan perdana Pasar Karbon Indonesia di sesi pertama mencatat adanya 27 transaksi yang menjual 459.953 ton unit karbon, menurut Bursa Efek Indonesia.

Cara untuk bertransaksi karbon di Pasar Karbon Indonesia telah diatur secara detail di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.

"Aturan detailnya sudah ada di Peraturan Menteri dan ada beberapa peraturan lainnya yang terkait. KLHK menyediakannya, perdagangannya dibawah pengawasan badan di bawah Kementerian Keuangan yang diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," kata sumber DW di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menolak disebutkan namanya.

Dalam Peraturan Menteri tentang perdagangan karbon tersebut dijelaskan bahwa Indonesia memiliki standarisasi sendiri untuk perdagangan karbon, yaitu Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang menggunakan metodologi sendiri, bukan metodologi yang terverifikasi secara internasional.

Adapun karbon yang dapat diperdagangkan berasal dari jenis hutan yang telah ditentukan dalam peraturan tersebut, termasuk hutan gambut dan bakau atau mangrove dari lokasi yang ditentukan oleh instansi pemerintah terkait setelah melalui proses verifikasi. 

Mengapa perusahaan beli karbon?

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia, pada perdagangan perdana pasar karbon Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) menjadi penyedia atau penjual karbon yang berasal dari lahan Lahendong di Sulawesi Utara. Sementara pihak pembeli di antaranya adalah Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank DBS Indonesia, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT BNI Sekuritas, dan PT BRI Danareksa Sekuritas (bagian dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk).

Mereka yang membutuhkan karbon dari pasar adalah perusahaan-perusahaan yang telah melewati ambang batas emisi karbon ketika melakukan proses produksinya. Saat ini, pemerintah Indonesia mengatur batas emisi bagi perusahaan pada kurun waktu tertentu.

Perusahaan yang bergerak di bidang bisnis yang menghasilkan emisi harus memperoleh sertifikat komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan terdaftar di SRN PPI. Perhitungan unit karbon dilakukan dengan rumus penghitungan baku.

Menarik pembeli dalam negeri

Menurut Dean Benitez, Indonesia melalui regulasi dan undang-undang yang disusun secara bijak, ditambah dengan pemberlakukan pajak karbon, dapat mengategorikan calon pembeli utama produk karbon di bursa karbon sesuai skala persentase tinggi hingga rendahnya kewajiban mengurangi emisi.

Ia mengusulkan pengelompokan ini dapat diurut yaitu industri ekstraktif, industri transportasi dengan bahan bakar fosil, bisnis atau perkantoran baik pemerintah maupun swasta yang ditentukan melalui audit emisi karbon, pemilik kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, dan seterusnya.

Saat ini, menurutnya, produk karbon di Indonesia baru bisa diterima oleh pengguna dalam negeri saja.

"Jika metodologi-metodologi skema karbon Indonesia sudah selaras dengan pasar dunia dan jika kebijakan voluntary diatur dengan cerdas, pembeli internasional akan sangat ingin belanja karbon di Indonesia," tukas Dean.

Bila ini dapat terjadi, menurut Dean, negara akan untung karena pencatatan atau sertifikasi karbon secara sukarela di pasar nasional akan juga tercatat sebagai pencapaian komitmen Indonesia atau Nationally Determined Contributions (NDC) dalam menekan emisi gas rumah kaca.

Namun dalam praktiknya, sampai saat ini, Indonesia masih belum terlalu mengembangkan kebijakan ke arah penjualan karbon secara sukarela, dan masih mengedepankan pemenuhan komitmen berdasarkan NDC.

Instrumen-instrumen hukum yang mendukung pembukaan pasar karbon Indonesia baru dikeluarkan pada bulan September lalu, sehingga proses sosialisasi pasar karbon dan mekanisme perdagangannya serta pihak mana saja yang dapat menjual cadangan karbonnya di pasar tersebut masih berjalan.

KLHK sebagai instansi yang mempersiapkan soal teknis dari sisi lingkungan dan akan mengawasi implementasi pelaksanaan proses pindah kepemilikan stok karbon, menjadi pihak yang terus gencar melalukan sosialisasi ini. (ae)