1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Pasang Surut Seabad Negara Demokrasi Turki

Burak Ünveren
4 Januari 2023

Tahun ini, Republik Turki merayakan hari jadi ke-100. Di bawah kepemimpinan Erdogan, Turki kian memalingkan wajah dari Barat dan lebih mengasosiasikan diri dengan nilai-nilai Islam.

https://p.dw.com/p/4Lg9i
Erdogan saat berkampanye tahun 2018
Erdogan saat berkampanye tahun 2018Foto: Presidential Press Service/dpa/picture alliance

Republik Turki yang didirikan 100 tahun lalu, mengalami berragam transformasi, dari mulanya sistem satu partai menjadi sistem multipartai. Turki juga mengalami kudeta militer di tahun 1960, kekerasan selama hampir satu dekade pada tahun 70-an, diikuti oleh kudeta lain dan pemerintahan koalisi yang tidak stabil di era 90-an.

Di tengah pasang surut itu, Turki yang dibangun dengan mengacu kepada nilai-nilai Barat seperti demokrasi, kesetaraan, supremasi hukum, dan sekularisme tetap bertahan dan akan merayakan dirgahayu ke-100 pada tahun ini. Seberapa tangguh lembaga-lembaga demokrasi Turki di usianya yang mencapai satu abad ini?

Otoritarianisme meningkat

Di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, Turki kian memalingkan wajah dari Barat ke Timur. Negara ini jadi lebih mengasosiasikan diri dengan nilai-nilai Islam dan mendapatkan sekutu baru di dunia Arab. Namun, perkembangan ini tidak membuat semua orang Turki gembira, karena perubahan ini disertai dengan meningkatnya otoritarianisme.

Sinem Adar, pengamat Turki di Pusat Studi Turki Terapan (CATS) di Berlin, Jerman, punya pandangan negatif tentang langkah negara ini di bawah Erdogan. "Turki saat ini adalah contoh utama meningkatnya praktik otoriter," ujar Adar.

"Sejak akhir 2000-an, negara ini terus menjauh dari supremasi hukum dan pemisahan kekuasaan yang efektif," ujar Adar yang mengatakan sangat frustrasi dengan perubahan ini. 

Batas negara dan agama kian luntur

Salah satu nilai dasar republik ini adalah sekularisme, sebuah konsep yang didasarkan pada pemisahan tegas antara negara dan agama. Kekhalifahan Utsmaniyah dihapuskan pada tahun 1924, kurang dari setahun setelah berdirinya Republik Turki. Tidak lama setelahnya, Diyanet yang disebut Direktorat Urusan Agama, didirikan untuk memberi kontrol lebih besar kepada negara atas pengaruh politik Islam.

Akan tetapi, saat ini agama justru memainkan peran politik yang jauh lebih besar di Turki bila dibandingkan dengan 20 tahun lalu berkat kebijakan dan wacana yang diusung Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Adar menegaskan, selalu ada "garis tipis (pembatas) antara agama dan politik di Turki" sejak berdirinya republik tersebut. Tapi menurutnya, dalam 20 tahun terakhir di bawah kekuasaan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan, telah membawa perbedaan signifikan dalam hal "luas dan dalamnya penetrasi agama yang disponsori negara ke dalam kehidupan sosial." Adar juga menilai Diyanet telah berubah menjadi aktor politik raksasa di bawah kekuasaan AKP.

"Diyanet telah mendapatkan lebih banyak kekuatan dibandingkan sebelumnya, dengan bobot politik yang meningkat dan akses ke sumber daya yang terus meningkat. Setelah gagalnya upaya kudeta pada 2016, Diyanet mengambil peran kunci dalam reproduksi harian narasi bahwa elit penguasa Turki di bawah kepemimpinan Erdogan mewujudkan kehendak rakyat dan membela nilai-nilai otentik dan nasional bangsa, serta integritas wilayah negara," tambah Adar.

Mungkinkah Erdogan kalah pemilu?

Turki akan melangsungkan pemilihan umum (pemilu) pada 18 Juni 2023 untuk memilih presiden. Sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa Erdogan mungkin akan kalah jika oposisi berhasil melawannya dengan satu kandidat.

Namun, semua itu masih belum jelas. Gabungan enam partai oposisi yang disebut sebagai Tabel Enam hingga kini belum mengumumkan kandidatnya. Tabel Enam menginginkan kembalinya sistem parlementer dan pembatasan kekuasaan presiden yang kini meningkat pesat setelah Erdogan mendorong terjadinya perubahan konstitusional yang signifikan tahun 2018.

Namun, Turki ternyata masih memiliki lembaga demokrasi yang berfungsi dan memastikan pemilu yang bebas dan adil sampai batas tertentu. Pemilu tahun 2019 memberikan secercah harapan bagi mereka yang menginginkan pemerintahan yang berbeda. Saat itu, pada pemilu tingkat lokal, kandidat oposisi menang melawan kandidat AKP di dua kota terbesar Turki, Istanbul dan Ankara.

Ini membuktikan bahwa Turki masih memiliki institusi demokrasi yang berfungsi dan pemilu sebenarnya dapat dimenangkan oleh oposisi.

Namun, peralihan kekuasaan hanya dapat terjadi apabila pemilu diselenggarakan secara adil. "Untuk memenangkan pemilu, (pertama-tama oposisi harus) memastikan ... keamanan kotak suara," kata Adar.

Proyek Erdogan akan dilanjutkan

Sejauh ini, Partai AKP bangga dengan sejumlah pencapaian seperti keberhasilan drone Bayraktar TB-2 buatan Turki di tingkat internasional. Turki juga punya rencana memproduksi jet tempur dan mobil listrik sendiri. Apa yang bisa terjadi pada semua proyek ini jika oposisi berkuasa?

Pemerintah baru tidak hanya akan mempertahankan proyek-proyek ini, tetapi juga melanjutkannya dengan cara yang lebih praktis dan demokratis, menurut Adar.

"Aspirasi untuk industri pertahanan yang asli, ekonomi berdasarkan inovasi, dan kemajuan teknologi kemungkinan akan berlanjut di bawah pemerintahan yang berbeda," katanya.

"Namun, di bawah pemerintahan yang berbeda, kemungkinan akan ada penilaian yang lebih realistis dan bijaksana atas kapasitas Turki, dan hubungan industri pertahanan-kebijakan luar negeri kemungkinan akan dengan lebih baik dilembagakan, diatur, dan bersifat akuntabel." 

Turki tetap punya peran penting di Eropa dan NATO

Mengingat langkah-langkah Turki hingga saat ini, dapat dikatakan bahwa masa depan negara itu terkait Eropa bisa jadi tidak begitu cerah.

"Tahun 2023 ditakdirkan untuk menjadi tahun kritis bagi hubungan Turki dan Uni Eropa", kata Cigdem Nas, Sekretaris Jenderal Economic Development Foundation di Istanbul, wadah pemikir terkemuka yang didedikasikan bagi hubungan Turki-UE.

"Jika oposisi menang, mereka sebagian besar akan berkonsentrasi untuk kembali ke rezim parlementer, dan proses ini juga akan memerlukan agenda demokratisasi. Di bawah skenario seperti itu, kita dapat mengharapkan revitalisasi perspektif UE oleh Turki," katanya.

Nas menekankan, kemungkinan kembalinya agenda reformasi UE pada periode setelah pemilu "dapat membawa percepatan hubungan Turki-UE melalui modernisasi serikat pabean, dan koordinasi yang lebih besar dalam perdagangan, energi, kebijakan luar negeri, keamanan dan migrasi kebijakan."

Dengan demikian, Turki akan tetap menjadi mitra yang kritis dan istimewa.

"Meskipun pembicaraan keanggotaan Uni Eropa dibekukan, Turki masih berada di dalam arsitektur Eropa yang lebih luas, sebagai aktor penting untuk keamanan Eropa," kata Nas.

Turki juga adalah anggota NATO dan memiliki tentara terbesar kedua dalam aliansi tersebut dan ini menjadikan Turki sebagai penyedia keamanan yang sangat dibutuhkan. Terutama dalam keadaan seperti saat ini, ketika NATO menginginkan persatuan maksimum untuk melawan agresor potensial seperti Rusia dan Cina. Mengingat perang agresi Rusia di Ukraina tampaknya belum akan segera berakhir, peran Ankara sebagai mediator juga diharapkan semakin besar.

(ae/as)