1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Parlemen Thailand Mulai Bahas Amandemen Konstitusi 

17 November 2020

PM Prayuth menawarkan amandemen konstitusi untuk meredam aksi protes. Rencana itu ditolak kelompok tradisionalis pro-Monarki yang mengkhawatirkan kekuasaan kerajaan. Gejolak politik bergeser dari jalanan ke parlemen.

https://p.dw.com/p/3lONN
Sidang istimewa dua lembaga legislatif Thailand, Dewan Rakyat dan Senat, di Bangkok.
Sidang istimewa dua lembaga legislatif Thailand, Dewan Rakyat dan Senat, di Bangkok.Foto: Sakchai Lalit/AP/dpa/picture-alliance

Sebanyak tujuh rancangan amandemen konstitusi akan dibahas dan diputuskan dalam dua hari ke depan. Selama itu dua kamar parlemen di Thailand, Dewan Rakyat dan Senat, akan menjalani sidang gabungan yang diawali sesi debat dan berakhir dengan pemungutan suara. 

Setiap perubahan pada konstitusi membutuhkan persetujuan kedua lembaga legislatif. Rancangan amandemen yang lolos pada tahap pertama harus melalui dua tahapan lain. Secara keseluruhan proses tersebut memakan waktu hingga 30 hari.  

Perkembangan politik di Bangkok merupakan siasat Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha untuk meredakan ketegangan yang meruncing sejak awal tahun. Amandemen konstitusi adalah salah satu tuntutan utama kelompok pro-demokrasi. 

Dalam sidang pertama hari Selasa (17/11) ini, parlemen tidak diharapkan bisa menyepakati konsensus politik terkait kekuasaan militer dan monarki di Thailand. Namun kelompok pro-demokrasi menuntut agar amandemen membidik konstitusi bentukan junta dari 2017 yang memberi kuasa besar terhadap senat yang dipilih langsung oleh militer. 

Sejak kekuasaan monarki absolut berakhir pada 1932, Thailand sudah pernah memiliki 20 Undang-undang Dasar. Konstitusi terakhir disetujui oleh 61.4% pemilih dalam sebuah referendum dengan tingkat partisipasi sebesar 60%. 

Penentuan kekuasaan 

Parlemen Thailand diperkirakan bakal membentuk sebuah komite untuk menyusun konstitusi baru. Mekanisme serupa dilakukan pemerintahan junta pada 2016 silam saat membentuk Dewan Penjaga Ketertiban dan Perdamaian Nasional Thailand (NCPO). 

Komite konstitusi diyakini oleh kelompok pro-demokrasi sebagai siasat politik mengulur waktu. Sebelumnya PM Prayuth sudah berjanji akan mengajukan enam rancangan amandemen untuk disetujui parlemen hingga akhir September, sebelum dia berubah arah dan sebaliknya mendukung pembentukan komite. 

Aksi protes kelompok pro-demokrasi di Thailand
Kelompok pro-demokrasi menuntut amandemen UUD yang melucuti kekuasaan kerajaan dan membubarkan semua lembaga sipil bentukan militer, termasuk senat yang anggotanya ditunjuk tanpa proses pemilihan.Foto: Athit Perawonhmetha/Reuters

Salah satu naskah rancangan yang paling kontroversial, tapi populer di kalangan demonstran, ditulis oleh aliansi LSM progresif, Internet Law Reform Dialogue (iLaw). Petisi untuk mengajukan amandemen yang mereka klaim “rancangan rakyat” itu didukung oleh setidaknya 100.000 orang. 

Berbeda dengan rancangan yang disiapkan koalisi pemerintah dan oposisi, iLaw menuntut agar anggota komite konstitusi dipilih rakyat, bukan ditunjuk oleh parlemen dan pemerintah. Aliansi itu juga ingin melucuti kekuasaan monarki dan membubarkan lembaga-lembaga sipil bentukan militer. 

Kompromi politik 

Namun tuntutan iLaw ditentang oleh kaum tradisionalis pro-monarki. “Amandemen konstitusi akan berujung pada pembubaran monarki,” kata salah seorang tokoh loyalis Thailand, Warong Dechgitvigrom, saat berdemonstrasi di hadapan gedung parlemen, Selasa (17/11). 

“Kami tidak ingin mereka mengamandemen apapun terkait monarki,” kata Samutprakan Chun, 58, seorang demonstran pro-kerajaan. “Monarki adalah pemberian surga, sementara kita ada di bawah di neraka, kita jauh di bawah mereka, kita harus mengenal tempat kita.” 

Kekuasaan monarki merupakan isu sensitif di Thailand. Aksi demonstrasi antipemerintah yang awalnya mengarah kepada PM Prayuth, kian bergeser menjadi aksi protes terhadap kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn.  

Sejak berkuasa pada 2016, Vajiralongkorn dikabarkan lebih banyak memerintah dari Jerman, dan hanya datang ke Thailand untuk kunjungan singkat atau menghadiri acara seremoni. Tapi belakangan, dia terlihat lebih aktif tampil di media, termasuk bersedia diwawancara awal November lalu. Saat itu dia mengatakan Thailand adalah “negeri kompromi” ketika ditanya soal aksi protes yang berkecamuk. 

Pernyataannya itu disikapi sebagai indikasi bagi arah proses legislasi di Bangkok. Parlemen diyakini akan mencari jalan tengah antara tuntutan demonstran, kepentingan militer dan monarki. Namun kelompok pro-demokrasi belum siap menerima konsensus yang mencederai tuntutan utama mereka. 

“Tanpa rakyat, pemerintah dan monarki tidak punya kekuasaan,” kata Panusaya Sithijirawattanakul, salah seorang pemimpin protes. “Apakah mereka bersedia mengambil langkah mundur atau menemukan konsensus yang bisa kami sepakati?” 

rzn/vlz (ap, rtr, bangkokpost)