1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PM Thailand Prayuth Chan-ocha Tolak Mundur

16 Oktober 2020

Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menolak mengundurkan diri dari jabatannya menyusul aksi demonstrasi massal yang dihadiri puluhan ribu orang di Thailand. Dia mewanti-wanti demonstran agar tidak memaksakan tuntutan.

https://p.dw.com/p/3k1Ao
Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha
Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ochaFoto: picture-alliance/AP Photo/S. Lalit

Larangan berkumpul lebih dari lima orang ditetapkan Kamis (15/10) pagi dengan tujuan untuk mengakhiri gelombang protes yang telah berlangsung selama hampir tiga bulan. Kaum oposisi menuntut pengunduran diri PM Prayuth Chan-ocha dan dilucutinya kekuasaan monarki di bawah Raja Maha Vajiralongkorn

Pada sore hari usai larangan diberlakukan, kaum oposisi justru menggelar salah satu aksi demonstrasi terbesar di Bangkok. 

“Saya tidak akan mengundurkan diri,” kata Prayuth kepada awak media usai rapat kabinet darurat. “Salah saya apa?” 

“Pemerintah harus mengumumkan dekrit darurat nasional. Kami harus mengambil lankah itu karena situasinya semakin berbahaya," imbuh PM Tahiland itu.

Dekrit ini akan diberlakukan selama 30 hari, atau bisa dicabut lebih cepat jika situasinya mereda.” 

PM Thailand mewanti-wanti penduduk agar tidak membangkang terhadap dekrit pemerintah “Tunggu saja,” kata Prayuth, “jika Anda berlaku salah, kami akan menggunakan kekuatan hukum.” 

Prayuth naik tahta setelah mengkudeta pemerintahan sipil di bawah Yingluck Shinawatra pada 2014. Prayuth juga dituduh memanipulasi pemilihan umum 2019 silam untuk mempertahankan kekuasaannya. Mantan jenderal ini bersikeras pemilu berjalan jujur dan adil. 

Para demonstran terutama menuntut konstitusi baru untuk menggantikan UU Dasar yang dibuat di bawah pemerintahan junta militer. Mereka juga meminta reformasi kekuasaan monarki yang dituduh ikut melanggengkan pengaruh militer terhadap politik selama berpuluh tahun.  

Provokasi damai berujung dekrit 

Satu-satunya insiden spesifik yang dikutip oleh pemerintah sebagai dalih menerbitkan dekrit darurat nasional adalah ketika iring-iringan mobil Ratu Suthida disoraki oleh demonstran, Kamis (15/10).  

Demonstran mengerubungi kendaraan yang ditumpangi Ratu Suthida Bajrasudhabimalalakshana di Banhkok, 14/10.
Demonstran mengerubungi kendaraan yang ditumpangi Ratu Suthida Bajrasudhabimalalakshana di Banhkok, 14/10. Dua tersangka kini didakwa dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup.Foto: Teera Noisakran/Pacific Press/dpa/picture-alliance

Jumat (16/10) pagi kepolisian mengumumkan dua tersangka akan didakwa dengan delik percobaan melakukan tindak kekerasan terhadap ratu, dengan ancaman maksimal hukuman penjara seumur hidup. 

Ekachai Hongkangwan and Bunkueanun Paothong, dua demonstran yang ditahan karena mengerubungi mobil ratu, mengatakan dirinya “dituduh berusaha melukai ratu,” kata dia kepada AFP lewat sambungan telepon. “Saya tidak bersalah. Itu bukan maksud saya,” katanya. 

Kelompok demonstran sebelumnya sudah menolak dekrit darurat nasional dan mengecam penangkapan terhadap 40 demonstran oleh kepolisian. Jumat sore waktu setempat, mereka akan kembali turun ke jalan. 

Penerbitan dekrit oleh Prayuth juga dikritik partai-partai oposisi di parlemen. “Pheu Thai Party menyerukan kepada Jendral Prayuth Chan-ocha dan pejabat negara untuk mencabut dekrit darurat nasional,” tulis petinggi partai dalam sebuah keterangan pers. 
Pemerintah “harus menghentikan semua bentuk intimidasi dan segera membebaskan semua demonstran yang ditahan.” 

Analis politik di Bangkok, Thitinan Pongsudhirak, mengatakan gelombang protes membuka peluang terjadinya kudeta militer lanjutan. “Babak terakhir bagi masa depan Thailand sudah dirintis sejak bertahun lalu, dan akhirnya dimulai di sini dan saat ini,” kata dia. 

“Tindakan brutal pembubaran aksi protes mungkin akan terjadi,” pungkasnya.

rzn/as (ap, rtr, dpa)