1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TeknikAfrika

Negara-negara Afrika Berlomba Menuju Antariksa

Antonio Cascais
20 April 2023

Industri antariksa kelak akan diramaikan pemain baru dari Afrika. Melalui kerja sama dengan Cina, Rusia dan Amerika Serikat, sejumlah negara memulai program peluncuran roket yang mulai menjaring minat investor asing.

https://p.dw.com/p/4QIjl
Stasiun luar angkasa Baikonur, Kazakhstan
Peluncuran roket di stasiun luar angkasa Baikonur, KazakhstanFoto: Sergei Savostyanov/Tass/IMAGO

Sejak lama Afrika dipandang sebelah mata, terlebih dalam bisnis antariksa. Namun anggapan itu mulai usang, seiring derasnya investasi di sejumlah negara. Kini, Afrika bersiap menyambut badan antariksa dan pusat peluncuran roket pertama di benua hitam tersebut.

Dorongan menuju luar angkasa berangkat dari keinginan untuk "membangun industri yang benar-benar menolong penduduk Afrika," kata analis pasar asal Afrika Selatan, Rorisang Moyo, kepada DW. Bisnis antariksa adalah bidangnya - "sektor ini punya potensi pertumbuhan yang luar biasa besar, terutama di Afrika," kata dia.

Selama ini, satelit-satelit Afrika harus diluncurkan dari pangkalan Baikonur di Kazakhstan, Guyana di Amerika Selatan atau dari Kalifornia, AS. Ketiadaan infrastruktur peluncuran membengkakkan biaya bagi penyedia layanan satelit. Menurut Rorisang Moyo, keterbatasan itu tidak lama lagi akan sirna, lantaran besarnya minat investor membangun pangkalan antariksa pertama di Afrika.

Industri antariksa Afrika pada 2021 ditaksir bernilai sekitar USD 20 miliar. Hingga 2026, nilainya diprediksi akan meningkat ke level USD 23 miliar. Sebanyak 270 perusahaan yang bergerak di bidang teknologi antariksa saat ini bermukim di Afrika. Kebanyakan menawarkan jasa layanan komunikasi, pengawasan, pertahanan, keamanan, kesehatan atau penambangan. Betapa luasnya spektrum industri antariksa di sana bisa dilihat pada Konferensi NewSpace Africa pada akhir April di ibu kota Pantai Gading, Abidjan.

Melatih Astronot untuk Misi Baru ke Bulan

Teknologi Cina untuk Afrika

Letak geografis, yang berada di bawah Garis Khatulistiwa, menjadikan Afrika ideal untuk peluncuran satelit. Kelak, stasiun luar angkasa di Afrika juga bisa meluncurkan satelit-satelit dari kawasan lain.

Pangkalan pertama rencananya akan dibangun di Djibouti, di Tanduk Afrika. Awal tahun ini, Presiden Ismael Omar Guelleh, menandatangani nota kesepahaman dengan perusahaan Cina, Hong Kong Aerospace Technology.

Proyek bernilai USD 1 miliar itu diharapkan bisa rampung dalam waktu lima tahun. Djibouti dipilih karena letak geografis yang ideal dan memiliki akses langsung ke Laut Merah. Menurut perjanjian, stasiun luar angkasa itu akan dikelola bersama Cina selama 30 tahun.

"Proyek di Djibouti membuktikan besarnya potensi dari kerja sama dengan negara antariksa seperti Cina," kata Rorisang. "Tidak diragukan lagi, Djibouti akan berkembang menjadi aktor penting industri antariksa global dalam waktu dekat."

Persaingan adidaya antariksa

Proyek lain sedang dikerjakan di Kenya. Dengan bantuan Amerika Serikat, Kenya sedang mengembangkan satelit mata-mata dan observasi Bumi yang dikerjakan di dalam negeri. Proyek tersebut diharapkan bisa menghasilkan "data observasi berkualitas tinggi, untuk meningkatkan produksi pangan," tulis Badan Antariksa Kenya (KSA).

"Proyek-proyek sejenis semakin banyak di Afrika," kata Rorisang Moyo, merujuk pada Angola, yang sejak lama berambisi meluncurkan satelit komunikasi sendiri.

Pada Oktober 2022 silam, satelit milik Angola yang dikembangkan oleh Rusia, diluncurkan dari pangkalan Baikonur di Kazakhstan. Satelit bernama Angosat-2 itu sedemikian mumpuni, jangkauannya bahkan bahkan mencapai Eropa Selatan.

Pemerintah Angola sejak lama berambisi ingin memajukan komunikasi di Afrika. "Dengan proyek ini, Angola memasuki era baru," kata Menteri Komunikasi, Mario Oliviera, saat peluncuran satelit. "Kami membuat langkah pertama menuju infrastruktur komunikasi yang berkualitas. Untuk itu, tim ilmuwan Angola bekerja sama dengan Rusia."

Dinamika ini tidak cuma muncul di Angola, Kenya atau Djibouti saja, tetapi juga di seluruh Afrika. Di Afrika Selatan atau nigeria misalnya, perusahaan-perusahaan start-up teknologi mulai ramai bermunculan, kata Rorisang Moyo. Selain itu, pelaku industri antariksa Afrika kini kian erat bekerja sama dengan Amerika, Eropa atau Cina. Perkembangan itu sebabnya diharapkan bisa melontarkan seisi benua menuju era modern. "Masa depan teknologi antariksa ada di benua Afrika," timpal Rorisang Moyo.

rzn/hp