1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Nafsu Global, Cara Gombal

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
7 Juni 2024

Salah satu guru besar paling produktif dunia ternyata ada di Indonesia. Tahun 2024 belum genap empat bulan, ia sudah mempublikasikan lebih dari 600 paper ilmiah. Plot twist-nya, dia melakukannya dengan cara yang culas.

https://p.dw.com/p/4eqlP
Gambar simbol naskah
Gambar ilustrasi jurnalFoto: Marco Longari/AFP

Sang guru besar menerbitkan tulisannya di jurnal-jurnal predator, yang juga berstrategi culas agar publikasinya terindeks internasional. Nama sang guru besar terpajang di setiap edisi jurnal-jurnal tersebut. Nampaknya satu komplotan dengan jurnal-jurnal jahat bersangkutan, ia memburu nama-nama akademisi internasional yang bisa dicatut untuk dimasukkan ke jurnal publikasi mereka, memberikan mereka kredensial internasional.

Cerita semacam bukan baru sekali ini terjadi. Pada tahun 2018, pemenang penghargaan SINTA, indeks pengukuran publikasi akademik rancangan Kemenristekdikti, juga melakukan keculasan. Pada 2017-2018, ia menulis tak kurang dari 100 paper, dikutip tak kurang 600 kali.

Penyelidikan menemukan ia dikutip oleh artikel-artikel yang tak berhubungan dengan topik penelitiannya.

Silang kutip tak karuan ini merupakan strategi yang jamak dilakukan jurnal culas, tujuannya tak lain untuk mendongkrak jumlah kutipan. Jumlah kutipan diperlukan agar jurnal masuk dalam indeks-indeks publikasi. Dan jurnal yang sudah masuk dalam indeks publikasi terkenal akan didatangi oleh mahasiswa dan dosen.

Mereka rela mengeluarkan kocek tak kecil agar tulisannya bisa terbit. Semua demi menggugurkan kewajiban lulus sebagai mahasiswa, kewajiban per semester sebagai dosen, maupun persyaratan kenaikan pangkat.

Di luar kasus-kasus heboh di atas, kondisi di lapangan yang berkembang secara senyap sama mencemaskannya. Diskusi yang berkembang di grup-grup jurnal di Indonesia adalah jurnal mana yang layanan "menerbitkannya” cepat atau berapa banyak kocek yang harus dirogoh untuk layanan ini. Bahkan, informasi tentang pesan pasang nama dalam terbitan mendatang berseliweran tanpa malu-malu.

Buat pembaca awam yang bingung bagaimana mengartikan situasi ini, saya akan mengatakan ia situasi yang sangat memalukan. Ia sangat memalukan tapi kini diwajarkan.

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kebijakan berparadigma instan

Saya tidak tahu apa yang ada di kepala para pengambil kebijakan pendidikan tinggi pada periode kepemimpinan Mendiknas M. Nuh (2009-2014). Segenap kekacaubalauan ini dimulai dari kebijakan-kebijakan ambisius pada kurun tersebut. Berangkat dari kecemasan jumlah publikasi internasional kita yang tertinggal, bahkan di level Asia Tenggara, Kemenristekdikti - waktu itu Kemendiknas - mengambil serangkaian kebijakan mewajibkan publikasi ilmiah.

Pada saat itu, publikasi ilmiah internasional menjadi kewajiban naik pangkat sebagai guru besar. Mahasiswa yang ingin lulus, bahkan pada taraf sarjana, wajib menerbitkan karya. Saya tak tahu bisa seberapa konyol lagi peraturan yang terakhir disebutkan. Sebelum kewajiban ini dihapus sepuluh tahun kemudian, ia sudah memakan sangat banyak korban. Para penyusun kebijakan nampaknya tidak tahu proses penerimaan tulisan di jurnal yang berlarut-larut, yang berakibat banyak mahasiswa sulit lulus.

Kebijakan-kebijakan jalan pintas ini segera membuka air bah apa yang hari ini disebut sebagai rezim Scopus. Dengan kebingungan terkait jurnal berkriteria internasional, berbagai peraturan turunan muncul. Peraturan-peraturan ini mendefinisikan indeks-indeks seperti Scopus sebagai kriteria internasional, sekaligus mengatur publikasi sebagai syarat karier akademik lainnya.

Buat banyak dosen yang tak terbiasa dengan menulis dan interaksi akademik pada tingkatan yang lebih luas - dua hal yang sangat mahal untuk dunia akademik di Indonesia - menunjuk Scopus tak menjawab apa-apa. Banyak yang bahkan tidak bisa membedakan apakah Scopus merupakan indeks atau nama jurnal. Yang mereka tahu adalah Scopus merupakan kewajiban dan mereka harus menggugurkannya.

Pada akhirnya, yang muncul adalah industri gelap untuk menjawab kebutuhan yang para dosen sendiri tak bisa mengidentifikasinya. Walhasil, orang-orang kini tak dipusingkan dengan bagaimana menuliskan hasil penelitiannya melainkan bagaimana mendapatkan jurnal yang bisa "membantu” mereka dan bagaimana agar tulisan asal-asalan bisa terbit cepat. Selanjutnya, setelah terbiasa mempermainkan sistem ini, pertanyaan-pertanyaannya menjadi bagaimana memanfaatkannya agar cepat naik pangkat dan mendapatkan insentif.

Alih-alih terbiasa dengan publikasi ilmiah, yang terjadi adalah pengertian "publikasi ilmiah” bergeser. Dan dalam situasi ini, nama-nama seperti Kumba Digdowiseiso muncul. Ia menjadi bintang, dielu-elukan oleh perguruan tingginya dan membantu penerbitan banyak orang lain, sebelum tumbang dalam skandal yang masih akan bergulir lebih jauh.

Satu dasawarsa terakhir, jumlah publikasi ilmiah kita naik. Para pejabat pendidikan tinggi membangga-banggakannya. Tapi, kenyataan yang menakutkan berkembang dan kita tak tahu bagaimana memutusnya.

Mutasi seperti apa lagi?

Situasi kita sekarang adalah produk dari internasionalisasi, yang kita sendiri mungkin tak tahu artinya apa, berbelit dengan birokrasi pendidikan tinggi kita. Kita tahu, awalnya adalah pemeringkatan internasional menakut-nakuti para pejabat kita, dan bukan pejabat kita bila mereka tak mengeluarkan aturan sebagai solusinya. Untuk waktu yang lama, dunia akademik kita dikontrol dengan ketat melalui birokratisasi dan ini membentuk cara berpikir yang bermasalah dalam mengaturnya.

Kita harus menyadari bahwa Indonesia tak memiliki akses yang sama ke ajang dan publikasi akademik yang disebut-sebut bereputasi internasional. Di samping itu, profesi pendidikan tinggi sejak awal dan di mayoritas tempat hanya memberikan insentif seadanya. Dengan keadaan ini, para dosen lebih terasah kemampuannya untuk mengerjakan berbagai pekerjaan sekaligus ketimbang berfokus pada penelitian dan penulisan.

Situasi ini membentuk kebudayaan akademik kita yang "tidak akademik”, dan sudah sangat banyak generasi yang muncul darinya. Kita tak bisa memutus sebuah kultur milik beberapa generasi hanya dengan satu-dua kebijakan gebrakan. Dan yang kini terjadi akibat kita mengandalkan kebijakan instan, dunia akademik membentuk mutasi mencemaskan.

Bila birokrasi pendidikan tinggi kita berpikir dapat mengontrol makhluk yang diciptakannya ini dengan kebijakan instan baru, yang mencekal semua, saya berharap mereka memikirkannya ulang.

Mau menciptakan monster seperti apa lagi dengan menghukum semua generasi?

 

@gegerriy

Esais dan peneliti  lulusan Institut Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.