1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Myanmar: Konflik Bersenjata Menghambat Respons COVID-19

Leah Carter
9 Mei 2020

Meskipun ada seruan internasional untuk gencatan senjata, kelompok-kelompok bersenjata etnik dan militer Myanmar masih terlibat dalam konflik - yang membahayakan warga di tengah wabah corona.

https://p.dw.com/p/3bwqK
Gambar ilustrasi militer Myanmar di Rakhine
Foto: Getty Images/AFP/Ye Aung Thu

Di bawah ancaman konflik, mematuhi langkah-langkah menjaga jarak sosial dan pencegahan penyakit menjadi prioritas sekunder di banyak wilayah etnis minoritas di Myanmar. Warga dihadapkan dengan perawatan medis yang tidak memadai, pembatasan pergerakan karena konflik dan pandemi, dan kesulitan mengakses barang dan jasa. 

Meskipun pemerintah menyatakan komitmennya untuk menangani pandemi COVID-19, militer Myanmar, yang juga dikenal sebagai Tatmadaw, terus melakukan serangan di banyak daerah dari tujuh negara bagian etnis minoritas di negara itu, terutama di negara bagian Rakhine dan Chin, serta negara bagian Karen. 

Kelompok etnis Karen - yang merupakan sekitar 7% dari populasi negara itu - telah berpuluh-puluh tahun menghadapi pengungsian paksa, serangan militer, pemerkosaan dan pembunuhan sistematis. Desa-desa, pertanian dan properti masyarakat terbakar - seperti di banyak desa kelompok minoritas lainnya di Myanmar. 

Negara yang dilanda konflik 

Konflik di Myanmar antara kelompok-kelompok etnis dan militer, yang telah berlangsung sejak 1948, bisa dianggap sebagai perang sipil terpanjang di dunia. Pada bulan Februari lalu, lebih dari 2.000 etnis Karen terpaksa mengungsi dari rumah mereka di negara bagian Karen utara di tengah serangan yang dilancarkan oleh tentara, sementara daerah lain di negara bagian itu masih menghadapi serangan reguler yang diprakarsai oleh militer. 

"Di negara-negara bagian etnis termasuk Karen, pemerintah dan pasukan keamanannya secara drastis meningkatkan kerentanan terhadap virus yang mematikan karena serangan ofensif brutal militer terhadap masyarakat tanpa peduli dengan seruan gencatan senjata yang disampaikan organisasi etnis, partai politik etnis, masyarakat sipil, dan Perserikatan Bangsa-bangsa, " demikian ditegaskan Jaringan Dukungan Perdamaian Karen (KPSN) dalam sebuah pernyataan bulan lalu. 

"Desa-desa mereka telah terbakar dan mereka telah dibunuh seperti binatang di hutan," kata Naw Wahkushee, juru bicara KPSN. "Saat ini ada 15 desa yang terancam dan orang-orang siap untuk melarikan diri jika ada peningkatan konflik di daerah-daerah itu," katanya. "Mereka lebih takut pada tentara Myanmar daripada COVID-19." 

Di negara bagian utara Rakhine, kelompok bersenjata Tentara Arakan saat ini terlibat dalam konflik dengan militer Myanmar. Jumlah orang yang mengungsi  mencapai 164.211 orang pada akhir April, demikian menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kongres Etnis Rakhine. 

"Di daerah-daerah konflik gerilya, di negara bagian Shan utara, dan jauh lebih serius lagi di seluruh Rakhine dan Chin selatan, kekhawatiran tentang COVID-19 adalah hal sekunder dari keprihatinan untuk bertahan hidup," kata Anthony Davis, seorang konsultan keamanan yang mengkhususkan diri dalam isu Myanmar. 

Pada tanggal 29 April, utusan PBB yang pergi ke Myanmar, Yanghee Lee, mengeluarkan surat pernyataan pedas, menyerukan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di negara bagian Rakhine dan Chin. "Sementara dunia diduduki oleh pandemi COVID-19, militer Myanmar terus meningkatkan serangannya di negara bagian Rakhine, dengan menargetkan penduduk sipil," tulis Yanghee. 

Seruan untuk perdamaian 

Pada tanggal 2 April, 18 duta besar asing untuk Myanmar juga menyerukan diakhirinya konflik bersenjata antara militer dan kelompok-kelompok bersenjata etnik, menyerukan kedua belah pihak untuk fokus pada "melindungi masyarakat yang paling rentan dari dampak dahsyat COVID-19." 

Belakangan --masih di bulan April, pemerintah mengumumkan komite COVID-19 dengan kelompok-kelompok bersenjata etnis untuk bersama-sama meredam penyebaran pandemi, dan anggota komite diharapkan untuk berbagi informasi tentang langkah mereka masing-masing. 

Namun, menurut Davis, pandemi tidak mungkin mengubah keadaan konflik di setiap wilayah. "Di beberapa daerah, hal itu mungkin menahan [konflik] dan saya berpikir terutama konflik antara Tatmadaw dan Shan, dan KNU. Tetapi di tempat lain, terutama Rakhine, itu tidak membuat perbedaan apa pun. Ini bukan untuk bulan lalu saja dan keadaan itu tidak akan berbeda selama beberapa bulan ke depan - perang terus berlanjut," katanya. 

Kemana dana itu pergi? 

Sementara jutaan dolar bantuan internasional telah dikirim ke pemerintah Myanmar, kelompok-kelompok etnis, yang biasanya memelihara infrastruktur kesehatan dan pendidikan mereka sendiri, khawatir bahwa bantuan terpusat terhadap COVID-19 tidak akan mencukupi. 

Pada tanggal 20 April, Bank Dunia menyetujui kredit 50 juta dollar AS untuk bantuan COVID-19 di Myanmar. Pemerintah Myanmar juga telah mengalokasikan anggaran 2,4 miliar Kyats Myanmar, setara 17 juta dollar AS, untuk tindakan pencegahan COVID-19 di kamp-kamp pengungsi, dan jutaan dollar lainnya telah dikirim oleh donor swasta, LSM dan organisasi bantuan internasional. 

Tetapi banyak dari uang tunai digunakan untuk meningkatkan kapasitas perawatan intensif yang terbatas di negara itu - sebagian besar di Yangon, kota terpadat di Myanmar dan pusat dari wabah negara. Jenis perawatan kesehatan ini sebagian besar tidak dapat diakses oleh orang-orang di luar pusat kota. 

Para kritikus juga mempertanyakan apakah sumbangan kepada pemerintah pusat akan menjangkau jaringan kesehatan yang dioperasikan oleh kelompok etnis. "Sepertinya mereka berusaha menghancurkan struktur federasi yang ada jika mereka hanya membantu pemerintah pusat. Mereka membuat semua kelompok etnis mengakses pendanaan melalui pemerintah pusat," kata Naw Wahkushee. 

Naw Wahkushee menambahkan, sistem layanan kesehatan Persatuan Nasional Karen (KNU)  sendiri lebih efektif, karena orang dapat mengakses layanan dan instruksi kesehatan dalam bahasa mereka sendiri. Selain itu, sebagian besar kelompok etnis itu juga mendidik warga dan menerapkan langkah-langkah mereka sendiri untuk mengekang penyebaran COVID-19. Langkah-langkah tersebut dilakukan di negara bagian Karen, termasuk dengan memeriksa suhu tubuh orang yang melintasi garis distrik. Mereka juga mendirikan pusat isolasi mereka sendiri. 

Kekhawatiran besar 

Walaupun Myanmar menggunakan bantuan itu untuk mengembangkan sistem kesehatan di tingkat pusat, sebagian besar negara itu tidak memiliki infrastruktur untuk mengelola pandemi. "Kebanyakan orang di Myanmar yang mati karena wabah ini akan mati di rumah," kata Davis. "Gagasan untuk meratakan kurva, yang mungkin relatif di Mandalay dan Yangon, tetapi di desa-desa, mereka akan mati di rumah." 

Para kritikus juga mengatakan bahwa bantuan yang ditujukan untuk kamp-kamp pengungsi di dalam negeri tidak mungkin menjangkau semua yang membutuhkan, dan tidak akan cukup untuk mengimbangi dana yang hilang dalam bantuan kemanusiaan dan pengiriman pasokan yang diblokir, yang telah terhalang karena perbatasan yang ditutup. Sekitar 241.000 orang tinggal di kamp-kamp  pengungsi semacam itu di seluruh negeri, demikian menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan. 

"Ada kekhawatiran besar bagi kami bahwa akan ada bencana kelaparan, setelah mereka menutup perbatasan, dan karena krisis ekonomi. Tidak mudah untuk mengangkut pasokan seperti sebelumnya," kata Naw Wahkushee. "Kami menyerukan agar setiap kelompok bekerja sama untuk menyelamatkan nyawa," pungkasnya.