Mungkinkan Kutukan Kemacetan Jakarta Berkurang?
18 Juni 2019Sebuah situs yang menyoroti masalah transportasi di kota-kota besar, TomTom Traffic Index, baru merilis survei tingkat kemacetan di kota-kota di dunia. Jakarta diklaim sebagai kota dengan perbaikan kemacetan terbaik dari 403 kota yang tersebar di penjuru dunia.
Musababnya, tingkat kemacetan di kota ini disebut turun sebesar delapan persen, yaitu menjadi 53 persen pada 2018 dari sebelumnya 61 persen pada 2017. Jakarta pun memperbaiki posisinya sebanyak tiga peringkat dari peringkat ke-4 menjadi peringkat ke-7 kota termacet di dunia.
Apakah survei tersebut benar-benar merepresantasikan kemacetan di kota yang berulang tahun tiap 22 Juni ini? Lantas, akankah kemacetan mampu terus dikurangi pada tahun-tahun mendatang?
Kepada DW Indonesia pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen S. Tangkudung, menyampaikan pandangannya.
DW: Survei TomTom Traffic Index menyebutkan tingkat kemacetan Jakarta turun delapan persen di tahun 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Jakarta berhasil memperbaiki posisi sebagai kota termacet ke-4 menjadi kota termacet ke-7 di dunia. Apakah Anda setuju dengan survei tersebut?
Ellen Tangkudung: Harus dilihat lebih detail lagi hasil dari Tom Tom itu. Ada kemacetan di jam sibuk dan kemacetan bukan jam sibuk. Yang turun itu di jam sibuk atau bukan? Ini sebenarnya baik karena dia membandingkan dengan yang lalu. Kemudian ini kemacetan di mana, apakah itu rata-rata dari seluruh jalan? Karena tidak salah indikator yang digunakan oleh TomTom itu aplikasi navigasi arah. Bisa diterima juga. Mengatakan macet atau tidak itu memang ada caranya dan cara yang dibuat akademisi bukan dari aplikasi, tetapi dari perhitungan waktu tempuh. Disebut macet kalau waktu tempuhnya lebih panjang.
Apakah faktor utama timbulnya kemacetan di Jakarta?
Sebenarnya faktor utamanya adalah kendaraan, jadi banyak kendaraan di jalan atau volume kendaraan pada satu waktu tertentu. Bila pada waktu yang bersamaan di jalan banyak sekali kendaraan itu yang membuat macet. Kalau kendaraannya banyak tapi terdistribusi merata dari pagi sampai 24 jam mungkin enggak akan membuat macet. Tapi karena menumpuk di waktu tertentu yang disebut jam sibuk itulah kemacetan.
Banyak sarana infrastruktur jalan dibangun dalam beberapa tahun terakhir, seperti flyover, underpass, serta pelebaran jalan. Masihkah Jakarta memerlukan infrastruktur jalan baru?
Itu kalau bagaimana mengurangi kemacetan. Kalau mau mengurangi kemacetan ada namanya push and pull: mendorong penggunaan angkutan umum dan menarik dari penggunaan kendaraan pribadi. Secara teori yang kita pakai seperti itu. (Makin) banyak orang yang beralih ke kendaraan umum, lebih berkurang perjalanan dengan kendaraan pribadi, hingga waktu di jalan juga berkurang. Itu yang biasanya menjadi tolak ukur.
Selain itu yang membuat macet juga adanya persimpangan-persimpangan sebidang, baik dengan kereta maupun dengan sesama kendaraan. Yang lain lagi adalah gangguan samping atau side friction, misalnya parkir pinggir jalan, bus yang berhenti di halte/ngetem. Memang kalau persimpangan itu sebidang lalu dibuat tidak sebidang itu akan mengurangi kemacetan karena tidak ada antrean lampu ataupun antrean kereta.
Di Jakarta, simpang yang dipisahkan sudah cukup banyak, tapi masih banyak juga yang belum seperti simpang-simpang sebidang dengan kereta. Itu yang membuat signifikan. Jadi jika dikatakan perlu infrastruktur lagi atau tidak menurut saya memang itu simpang yang krusial. Tapi yang paling penting adalah mengurangi kendaraan di jalan, dibuat traffic restraint, dibatasi perjalanan dengan kendaraan pribadi antaranya dengan ganjil genap. Jika ganjil genap sudah diberlakukan tapi tidak ada penurunan kemacetan berarti gagal.
Apa saja jenis pembatasan kendaraan tersebut?
Pembatasan kendaraan di jalan ada berbagai macam cara, ada menaikkan parkir yang tinggi, tapi bersamaan dengan itu mendorong penggunaan angkutan umum dan itu sudah bertahap sudah terjadi dengan jaringan Transjakarta yang cukup baik kemudian sudah ada MRT dan LRT. Transjakarta seperti menggelontorkan proyek baru supaya memberi kesempatan orang untuk naik walaupun bus-bus itu masih kosong. Banyak sekali trayek baru yang belum terlalu dipergunakan orang. Jika itu bisa dipergunakan orang, bus-bus feeder itu terisi, siginifikan mengurangi kemacetan.
Mengapa masyarakat sepertinya sulit sekali beralih ke transportasi publik?
Kenyamanan membuat masyarakat enggan menggunakan transportasi publik. Kalau pakai sistem transportasi umum harus ada waktu tunggu, di halte dan di stasiun. Kalau kendaraan pribadi 'kan point to point. Oleh karena itu harus dibatasi kendaraan pribadinya. Salah satunya menggunakan ganjil genap. Kalau bisa diperluas sehingga penggunaan kendaran pribadi jadi lebih sulit hingga beralih menggunakan kendaraan umum.
Upaya agar orang menggunakan angkutan umum itu kan kelihatannya sering membandingkan dengan kenyamanan menggunakan angkutan umum. Makanya MRT termasuk laku karena nyaman apalagi orang merasa seperti di luar negeri. Walau masih terbatas stasiunnya tapi kenyamanannya bisa dirasakan, selain itu cepat. Kalau LRT (sepi) bisa saja rutenya tidak sesuai dengan kebutuhan. Harus diperpanjang dari Kelapa Gading – Rawamangun. Kalau MRT memang sepanjang dari Blok M sampai ke HI banyak tempat tujuan orang yang setiap hari mereka gunakan.
Rekomendasi apa yang bisa Anda sampaikan agar tingkat kemacetan terus menurun kedepannya?
Angka kemacetan itu hanya bisa diturunkan jika kendaraan yang berlalu-lalang di jalan berkurang. Itu yang paling utama. Kalau misalnya jumlah kendaraan yang digunakan tetap, ya sama juga. Ke depannya memang harus ada peralihan penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum. Caranya dengan memberikan fasilitas yang cukup dan pelayanan yang sangat baik sesuai dengan kenyamanan yang diinginkan.
Akankah tingkat kemacetan di Jakarta dapat terus menurun?
Sebenarnya DKI atau Jabodetabek punya target tahun 2029 sebanyak 60 persen orang menggunakan angkutan umum. Jadi targetnya lebih kepada menggunakan angkutan umum dan target turunannya adalah mengurangi kemacetan. Ketika orang sudah banyak menggunakan angkutan umum hasilnya adalah macet berkurang karena tidak semua angkutan umum ada di jalur khusus seperti busway. Di luar busway itu kalau misalnya lebih baik dan berkualitas kalau mereka bisa mengejar travel time dari perjalanan orang. Oleh karena itu mesti ada perencanaan sebaik-baiknya khususnya di angkutan umum dan sarana infrastruktur di jalan harus lebih diperbaiki dan dilengkapi seperi jalan layang atau underpass. Persimpangan sebidang dengan kereta harusnya tidak ada lagi karena di Jakarta kereta lewat lima menit sekali. Kalau sebentar-sebentar ditutup itu sangat membuat macet.
(Ed: ae/ts)