1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Terjadinya Petir dan Erupsi Gunung Api Taal di Filipina

13 Januari 2020

Lava merah panas telah mulai menyembur dari Gunung Api Taal di Filipina. Pihak berwenang setempat memperingatkan potensi "letusan erupsi yang berbahaya" masih akan datang.

https://p.dw.com/p/3W6Yp
Philippinen | Ausbruch Vulkan Taal
Foto: Imago Images/Pacific Press Agency/K. Ragaza

Gunung Api Taal di Filipina erupsi pada Senin (13/01) dan menyemburkan abu vulkanik yang mencapai ketinggian hingga 15 kilometer. Gunung Api Taal adalah salah satu gunung berapi paling aktif di Filipina. Erupsi terakhir tercatat terjadi pada tahun 1977 tetapi pada tahun 1911 gunung itu pernah erupsi yang menelan 1.335 korban jiwa.

Gunung api ini terletak di Provinsi Batangas, Pulau Luzon Filipina, dan termasuk gunung api berbentuk strato (kerucut). Gunung ini cukup populer di kalangan para wisatawan karena pemandangannya yang spektakuler. Gunung Api Taal tidak tinggi, hanya 400 meter dari permukaan laut. Namun bukan berarti letusannya tidak berbahaya.

"Taal adalah gunung api yang sangat kecil namun berbahaya," ujar Renato Solidum, Kepala Institut Vulkanologi dan Seismologi Filipina (Phivolcs), kepada kantor berita Reuters, Senin (13/01).

Phivolcs mencatat setidaknya terjadi 75 gempa vulkanik pada Minggu (12/01) malam yang disebabkan oleh aktivitas gunung berapi yang terletak di provinsi Batangas, 65 kilometer sebelah selatan ibukota Filipina, Manila ini. Aktivitas ini berarti erupsi Gunung Api Taal diperkirakan masih dapat berlangsung beberapa jam bahkan hingga berhari-hari kemudian.

Baca juga: Citra Satelit Ungkap Penyebab Letusan Gunung Agung di Bali

Selain itu, Phivolcs merekam adanya gempa bumi volkanik yang dirasakan hingga mengeluarkan suara gemuruh di sekitar kaldera dan sejumlah desa di Agoncillo, Batangas. 

Menurut keterangan resmi dari Phivolcs kepada media, muntahan material vulkanik menutupi wilayah barat daya. Kantor berita dpa melaporkan hingga berita ini diturunkan telah ada satu korban jiwa akibat kecelakaan lalu-lintas karena rendahnya jarak pandang akibat tertutup abu vulkanik.

Aktivitas seismik tinggi sejak Maret 2019

Seperti dikutip dari media Filipina, inquirer.net, Phivolcs telah menaikkan status bahaya Gunung Api Taal menjadi level 4 pada Senin. Level 4 berarti bahwa "letusan erupsi berbahaya dapat terjadi dalam beberapa jam hingga beberapa hari." Level tertinggi yaitu level 5 yang mengindikasikan terjadinya erupsi.

Dalam buletin yang dikeluarkan pada pukul 19:30 waktu setempat, Phivolcs mengatakan bahwa peningkatan status level bahaya dilakukan karena "aktivitas letusan di kawah utama Gunung Api Taal meningkat ketika letusan terus-menerus menghasilkan kolom tephra yang sarat uap setinggi 10-15 kilometer seiring dengan hujan abu yang mengarah ke utara hingga Kota Quezon," demikian tulis Phivolcs dalam keterangannya seperti dikutip dari inquirer.net, Senin.

Tephra adalah bebatuan vulkanik yang disemburkan ke udara ketika terjadi erupsi gunung api atau semburan lava dari gunung api. 

Karte Vulkan Taal Philippinen EN
Peta Lokasi Gunung Api Taal di Filipina

Sementara Renato Solidum dari Phivolcs mengatakan gunung berapi itu telah menunjukkan aktivitas seismik tingkat sedang hingga tinggi sejak Maret tahun lalu.

Allan Loza, seorang spesialis penelitian sains di Phivolcs, mengatakan seperti dikutip dari pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa ledakan freatik secara historis terjadi sebelum letusan besar. "Tetapi ada beberapa contoh kasus ketika gejala itu tidak terjadi. Oleh sebab itu kita harus terus memantau," ujar Allan.

Baca juga: BNPB: Abu Vulkanik Erupsi Taal Volcano di Filipina Tak Mengarah ke Indonesia

Terjadinya petir dalam erupsi gunung api

Dalam video yang beredar di sosial media Twitter, masyarakat dapat melihat pemandangan petir yang menyambar di tengah erupsi Gunung Api Taal. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa terjadinya petir selama erupsi gunung berapi tidak jauh berbeda dari mekanisme petir yang biasa.

"Hanya saja, awan cumulunimbus yang menjadi 'sarang' petir tergantikan oleh awan kepulan uap air, abu, debu, dan partikel vulkanik lain yang menyembur ke angkasa secara massif," demikian ungkap BMKG dalam cuitan di akun Twitter resmi, Senin.

BMKG menjelaskan ada beberapa teori yang mengungkapkan asal-mula petir yang kerap muncul dalam erupsi gunung berapi termasuk juga di Gunung Taal.

Berdasarkan keterangan BMKG, teori pertama yaitu ketika sebagian besar atom yang pada awalnya netral bertemu dengan banyak energi bebas yang hadir disertai suhu sekitar 1500 Kelvin.

"Ada energi yang cukup untuk melempar keluar elektron yang terikat lemah dari beberapa atom yang mengikat mereka, sementara pada saat yang sama ada atom-atom yang ingin mengambil elektron yang baru dibebaskan ini. Peristiwa tersebut menciptakan sejumlah besar ion positif dan ion negatif."

"Proses selanjutnya adalah muatan ion negatif dan positif tersebut akan terpisah. Ketika ion-ion tersebut terpisah dengan jarak yang cukup, muncullah beda potensial listrik yang akan menyebabkan sambaran petir," tulis BMKG.

Baca juga: Letusan Tambora Berperan Dalam Kekalahan Napoleon di Waterloo

Teori kedua, ketika meletus, gunung berapi mengeluarkan partikel abu panas, uap, dan gas. Partikel ini mula-mula netral, tetapi dengan bertabrakan dengan satu sama lain mereka dapat mentransfer muatan satu sama lain dan berubah menjadi massa positif atau negatif.

Ketika partikel debu vulkanik bertabrakan, terjadi ionisasi atau pemisahan muatan terjadi dengan proses yang disebut aerodynamic sorting.

Pemisahan muatan positif dan negatif terjadi melalui adanya awan vulkanik yang menyebabkan awan tersebut bermuatan positif di salah satu ujung dan bermuatan negatif di ujung satunya lagi. Pemisahan ini terus berlanjut sampai terlewat batas dan listrik mulai mengalir di antara kedua muatan yang berbeda sehingga terjadi petir saat letusan gunung berapi.

Teori lain berpendapat bahwa partikel yang lebih besar mungkin memiliki muatan positif dan partikel yang lebih kecil mungkin memiliki muatan negatif dan sebagai partikel yang lebih besar jatuh lebih cepat, yang mungkin membuat pemisahan yang diperlukan untuk menghasilkan petir.

Namun BMKG mengatakan penelitian menunjukkan bahwa aktivitas erupsi gunung berapi bukan pemicu secara langsung terjadinya petir.  "Jadi meskipun terjadi erupsi utama, tidak berarti kejadian petir memiliki kuantitas yang paling besar," tulis BMKG.

ae/vlz (berbagai sumber)