1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Barang Negara Malah Jadi Barang Pribadi

22 September 2018

Kali ini yang kena sorot Roy Suryo. Tapi mungkin sebelumnya Anda pun mengamati bagaimana perilaku pejabat-pejabat tinggi negara memperlakukan fasilitas-fasilitas negara yang dititipkan kepada mereka. Opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/34nTF
GastRo Messe in Rostock
Foto: picture-alliance/dpa/D. Reinhardt

Kasus dugaan belum dikembalikannya 3.226 barang oleh mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga, Roy Suryo, menjadi sorotan publik dan media massa? Karena satu hal utama: publik tahu barang negara tidak boleh jadi barang pribadi, karena barang-barang itu diberikan pada dasarnya untuk menopang tugas-tugas pejabat tersebut.

Sayangnya, kasus itu mencuat dengan aroma politis ketimbang dijadikan momentum bagi pengelola negara untuk melakukan audit terhadap seluruh barang negara yang dijadikan fasilitas kerja para pejabat negara.

Jauh sebelum kasus Roy Suryo mencuat, saya—dan saya yakin juga banyak orang lainnya—sudah sering mendengar tentang bagaimana perilaku pejabat-pejabat tinggi negara memperlakukan fasilitas-fasilitas negara yang dititipkan kepada mereka, mulai dari peralatan kerja, mobil dinas, rumah dinas, sampai dengan seluruh perabotan di dalam rumah dinas itu.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Kasus-kasus lainnya

Ada semacam kebiasaan di kalangan para pejabat negara untuk mendapatkan fasilitas dinas sesuai dengan yang mereka inginkan, dan membawa pulang sebagian fasilitas-fasilitas itu ketika mereka selesai dari jabatannya.

Misalnya, suatu waktu di awal 2003, di sebuah kabupaten di Jawa Barat, seorang bupati yang baru terpilih mengunjungi calon rumah dinasnya. Kemudian dia bersama istrinya mulai mengatur apa saja yang harus dilengkapi di rumah itu, apa saja yang harus diganti sesuai keinginan mereka, mobil apa yang harus disediakan, perlengkapan apa saja yang harus ada di kamar yang akan ditempati anak-anak mereka, dan seterusnya.

Di hari lain, seorang pejabat tinggi kepolisian yang akan menempati rumah dinasnya, kurang lebih juga melakukan hal yang sama: ingin rumah dinasnya dilengkapi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan dia dan keluarganya.

Itu hanya sebuah contoh kecil saja dari sebuah persoalan besar tentang tradisi yang sangat buruk: pejabat lama mengambil sebagian fasilitas dinasnya ketika dia selesai dengan jabatannya, pejabat baru meminta fasilitas baru, untuk kemudian dia pun melakukan hal yang sama dengan pejabat sebelumnya ketika dia selesai dengan jabatannya. Begitu terus menerus seperti lingkaran setan, dan negara harus terus membeli barang-barang baru untuk setiap pejabat yang baru.

Bayangkan berapa uang publik yang habis untuk belanja fasilitas-fasilitas para pejabat?

Dalam tataran tertentu, wajar saja ada permintaan-permintaan khusus dari seorang pejabat tentang apa yang dia butuhkan untuk melancarkan pekerjaannya yang terkait dengan jabatan tersebut. Namun jika fasilitas-fasilitas negara diminta oleh seorang pejabat untuk memenuhi gaya hidup dia dan keluarganya, apalagi jika kemudian fasilitas-fasilitas itu diambil sebagai milik pribadi ketika seorang pejabat selesai dengan jabatannya, publik harus bereaksi keras.

Ada satu alasan mendasar kenapa publik harus bereaksi keras kepada para pejabat yang mengambil alih fasilitas negara yang dipinjamkan kepadanya: fasilitas-fasilitas itu dibeli dengan anggaran negara, dan anggaran negara itu adalah uang publik yang diambil melalui pajak. Jadi, tidak masuk akal jika seorang pejabat bisa mengambil alih fasilitas yang diberikan kepadanya tanpa persetujuan publik.

Sayangnya, tidak banyak di antara kita yang memiliki sikap kritis itu

Kita ramai melihat kasus Roy Suryo, mungkin karena nilai barangnya yang fantastis, atau karena sosoknya sebagai mantan menteri. Tapi apa kita cukup kritis melihat perilaku para pejabat-pejabat yang memperlakukan fasilitas negara dengan seenaknya dalam hidup sehari-hari?

Satu contoh kecil lagi, tentu sebagian dari kita sering melihat bagaimana mobil-mobil pejabat melintas dengan pengawalan voorrijder polisi—bahkan di hari libur dan mobil-mobil itu singgah di restoran-restoran atau lokasi-lokasi wisata. Atau ternyata di dalam mobil hanya ada anggota keluarganya yang ingin belanja—menggunakan mobil milik negara dan disopiri sopir yang digaji negara.

Apakah kita bisa melihat ada kepentingan publik dari seorang pejabat yang ingin makan di restoran atau singgah ke tempat wisata, atau keluarganya yang ingin berbelanja, sampai mereka harus mendapat pengawalan dari polisi (yang adalah alat negara) yang mengendarai mobil atau motor (yang adalah barang negara)?

Contoh lainnya lagi, dalam satu tugas liputan, saya pernah ikut di dalam mobil yang merupakan bagian rombongan pejabat negara, melintas jalan yang macet dengan sirene meraung-raung, meminta semua pengguna jalan minggir agar rombongan bisa melaju cepat. Ke mana tujuan rombongan itu? Ke sebuah tempat pemancingan ikan untuk acara makan-makan.

Apakah para pengguna jalan tahu tentang hal itu? Tentu saja tidak. Mungkin mereka rombongan ini begitu tergesa demi sebuah tugas negara.

Apa jadinya kalau mereka tahu kalau rombongan itu menuju sebuah tempat pemancingan ikan untuk berpesta? Saya tidak terlalu yakin akan ada banyak orang yang marah, karena selama bergenerasi-generasi kita dibiasakan untuk menerima hal itu: pejabat negara lewat, publik harus minggir—tak peduli alasannya apa.

Hal yang sama saya kira terjadi juga dalam persepsi kita dengan penguasaan barang-barang negara oleh pejabat atau para mantan pejabat. Kita sudah dipaksa untuk menerima semua itu apa adanya, berpikir bahwa hal itu lumrah.

Kembali lagi pada kasus Roy Suryo, saya berharap semoga setelah kasus ini publik semakin rajin menyoroti perilaku serampangan para pejabat negara: apakah dari yang sekadar dikawal polisi di jalan untuk hal yang tidak terkait kepentingan publik, maupun penguasaan barang-barang negara jadi milik pribadi setelah mereka selesai dengan jabatannya itu.

Zaky Yamani, jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.