1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Menantikan Perang Cuit Tengku Zulkarnain dan Ivan Lanin

Geger Riyanto
20 Juli 2019

Twitter gemar menyodorkan cuit-cuit yang menguji kesabaran. Pernah merasakannya? Dan apa tindakan Anda? ikuti opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/3Lqas
Symbolbild | Twitter
Foto: picture-alliance/dpa/M. Skolimowska

Saya tak mengikuti selebritas tertentu, katakanlah. Namun, cuitannya yang menggeramkan banyak orang tahu-tahu saja tertempel di linimasa saya. Dan saya yang meramban gawai berangkat dari niat menghibur diri pun tertular kemarahan banyak orang.

Satu di antara nama selebritas semacam adalah sosok yang selalu tampil dengan jubah putihnya—Tengku Zulkarnain. Ia merupakan Wasekjen Dewan Pimpinan MUI. Namanya terkerek ketika lantang menggelorakan menuntut Ahok dihukum atas penistaan agama.

Contoh cuitnya yang menguji kesabaran? Dicuitkannya pada 6 Juli 2019:

“Bedanya Orang JUJUR dgn Orang CURANG: Orang JUJUR Tidak Perlu Pengakuan dari Orang Orang Curang, bahkan dari Orang Orang JUJUR Sekalipun... Tapi Orang CURANG Sangat Butuh Pengakuan dari Orang Orang JUJUR. Karena Pengakuan dr Org Org CURANG Tdk Bermanfaat Baginya. (kalimat bijak)”

Saya terganggu. Anda? Anda, bisa jadi, tidak terganggu dengannya.

Apakah saya terganggu karena saya bagian dari gerombolan si cebong, pencoblos Jokowi garis keras, pengagum Denny Siregar dan Afi Nihaya Fardisa? Tidak. Saya terganggu karena selama lebih dari sepuluh tahun pekerjaan saya adalah menyunting. Selama hampir lima belas tahun, saya menulis. Dan Tengku Zulkarnain, tanpa rasa bersalah sedikit pun, mencuitkan kepada 250 ribu pengikutnya kalimat yang setiap awalan katanya huruf besar.

Mata saya sakit melihatnya. Hati saya tercabik-cabik membacanya

Pun, cuit semacam bukan kekecualian. Kalau Anda buka laman Twitternya, nyaris setiap cuitan Tengku Zulkarnain ditulis dengan cara demikian. Sesekali, memang, gaya menulisnya mendadak wajar. Huruf besar dan huruf kecil (nyaris) ada pada tempatnya. Namun, itu sebuah pengecualian yang luar biasa yang membuat saya bertanya-tanya.

Saya jadi berpikir. Biasanya, seiring orang rutin menulis, ia juga akan mempelajari penggunaan bahasa yang pada tempatnya. Sejak awal menulis sampai dengan hari ini, sejauh pemantauan saya, Tengku Zulkarnain tidak pernah bertobat (bertobat Bahasa, sebut saja). Ia tak henti-henti menyiksa bahasa tulis kita dan Twitter, mungkin tahu saya menghabiskan banyak waktu sekadar untuk menggerutu di depan cuit Tengku Zulkarnain, tak henti-henti menyodorkannya kepada saya.

Namun, kalaupun Twitter bersalah karena gemar mengambuhkan darah tinggi penggunanya, kalaupun misinya yang terdengar manis dan mulia itu acap ternodai karena ia mementingkan muatan provokatif yang merampas perhatian, sedikit-banyak, kita bisa memaafkan dusta platform ini kepada bahasa Indonesia lantaran ia juga mengerek satu nama lain: Ivan Lanin.

@gegerriyEsais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Ivan Lanin adalah nama yang tak perlu lagi diperkenalkan. Saya hanya perlu mengingatkan Anda dengan kiprahnya lewat satu guyonan dari @fschiko_ yang secara ajaib tepat menggambarkannya:

Suatu hari, Ivan Lanin pergi ke bar. Penyanyi di bar bernyanyi kencang, “ijinkan aku…”. Ivan Lanin kontan kesal. Ia naik ke atas panggung dan merenggut mikrofon dari sang penyanyi. “Izinkan!!!”

Ivan Lanin mengajarkan kepada para pengikutnya kaidah-kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang luput atau terlupakan. Ia memperkenalkan kepada banyak orang idiom-idiom tak akrab yang ternyata ada di bahasa kita. Dan pengalaman saya pribadi dengannya cukup baik. Tidak, saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Namun, ketika saya memerlukan padanan dari sebuah ungkapan dan buku tesaurus terlalu jauh dari genggaman tangan (mohon maaf, Eko Endarmoko), saya akan mengetik istilah yang ingin saya cari padanannya dan namanya di kolom pencarian Twitter.

Dan saya punya mimpi ganjil yang, saya harap, Ivan Lanin mau mengabulkannya. Para penikmat kebudayaan populer acap memimpikan pertarungan di antara tokoh-tokoh favoritnya—Ironman lawan Kapten Amerika, Superman lawan Batman, Kingkong lawan Godzilla. Saya? Saya memimpikan suatu hari Ivan Lanin menyambar salah satu cuit Tengku Zulkarnain seperti geledek dan mengoreksi tulisannya yang amburadul seperti biasa.

“Buruk sekali bahasa tulis Anda. Siapa yang mengajarkan Anda?” tantang Ivan Lanin, saya membayangkan.

Tengku Zulkarnain, tak peduli dirinya keliru seperti biasa, menimpali balik Ivan Lanin.

“Siapa Peduli Kalau Tulisan Saya Jelek. Yang Penting Saya Menyampaikan Apa Kata Hati UMAT.”

Keributan di antara mereka pun terekskalasi

Di hadapan ratusan ribu pengikutnya, mereka tak henti saling serang. Ivan Lanin berargumentasi tentang pentingnya bahasa Indonesia untuk melestarikan identitas dan keutuhan. Tengku Zulkarnain, seperti biasa, bercuit marah-marah tanpa henti dan tanpa tahu apa yang sedang dibicarakannya.

Kekisruhan tak usai selepas keduanya berhenti saling berargumentasi. Ivan Lanin kini rajin mengintai cuitan-cuitan Tengku Zulkarnain dan menjadi polisi bahasa tetap untuknya. Setiap cuitan Tengku Zulkarnain akan ditimpali dengan koreksiannya oleh Ivan Lanin.

Tentu saja, adegan barusan kecil kemungkinannya terjadi bila tak mau dikatakan tidak mungkin. Dan saya, mungkin, tak benar-benar segeram itu dengan kesemerawutan bahasa tulis Tengku Zulkarnain. Saya, boleh jadi, geram dengannya sebagai pengumbar ujaran kebencian, penyebar hoaks, pembela oligarki, misoginis dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan dengan keburukan berbahasanya, muatan-muatan cuitnya yang sudah mengganggu itu kian mengganggu saya. Ia menjadi yang terburuk dari antara yang terburuk—lebih dari kumpulannya yang mencakup Mustofa Nahrawardaya, Fadli Zon, Fahira Idris. Algoritma Twitter tahu ini dan, karenanya, rajin menjejalkan cuit-cuitnya kepada saya.

Namun, percayalah, kalau kelak suatu hari Ivan Lanin memang melucuti cuit-cuit Tengku Zulkarnain, hari itu akan menjadi hari yang sangat manis. Sang chauvinis paling mengganggu satu tanah air Twitter akan dipentaskan di khalayak luas sebagai karikatur yang berbahasa saja terbata-bata. Seperti sang raja telanjang dalam dongeng Hans Christian Andersen, dia akan melenggak-lenggok di tengah gelak tawa rakyat.

Untuk sekarang? Untuk sekarang, saya belum bisa melakukan banyak. Mungkin saya perlu membungkam saja notifikasi cuit-cuitnya dari linimasa saya.

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.