1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ruang Politik Bagi Purnawirawan

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
19 Januari 2019

Nama Hendropriyono kembali viral, ketika dirinya sukses mendorong kerabat dekatnya, yakni Jenderal Andika Perkasa (Akmil 1987), sebagai KSAD baru.

https://p.dw.com/p/39RBg
Ernennung von Andika Perkasa als Chef Generalstabes der indonesischen Landstreitkräfte durch Präsident Joko Widodo in Jakarta
Foto: Rusman/Biro Pers Setpres

Ketika Presiden Jokowi  melantik Andika sebagai KSAD, sebenarnya sudah tidak ada kejutan lagi, mengingat Hendropriyono sejak lama diketahui memiliki kedekatan khusus dengan Presiden.

Peran purnawirawan seperti Hendropriyono (atau Luhut Panjaitan) di lingkaran pertama rezim Jokowi membenarkan asumsi selama ini, secara tradisional para purnawirawan (khususnya strata pati) tetap memperoleh posisi khusus dalam masyarakat kita, bukan sebatas di lingkungan TNI. Mereka memiliki privilese, yang tidak diperoleh kelompok pensiunan lain.

Berkumpul di Istana

Jauh hari setelah Soeharto lengser, jejaknya masih terasa dalam politik Indonesia hari ini. Warisan penting Soeharto adalah membangun supremasi  militer (khususnya Angkatan Darat) dalam lanskap politik di tanah air, di sepanjang masa kekuasaannya (1966-1998).

Meskipun sudah tidak sebesar dulu lagi, peran politik militer masih menentukan, itu terwujud dalam figur Hendropriyono dan Luhut B Panjaitan.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Dari pengamatan media, terlihat ketergantungan Presiden Jokowi terhadap Luhut, khususnya saat masih menjabat Menkopolhukam dulu. Cukup sering Presiden Jokowi memberi jawaban "tunggu Pak Luhut”, ketika ditemui awak media pada kasus-kasus yang pelik. Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan, Luhut merupakan "presiden bayangan” rezim Jokowi.

Demikian juga dengan Hendropriyono, yang karena pengaruhnya bisa meng-endorse Andika sebagai KSAD. Meski pemilihan nama Andika sendiri sempat menjadi perdebatan, terkait rekam jejaknya yang tidak semoncer perwira lainnya. Namun semua kontroversi kini sudah berlalu. Presiden selaku Pangti telah melantik Andika akhir November lalu.

Publik jelas akan bertanya-tanya, mengapa Hendro memperoleh begitu banyak kemudahan, bahkan cenderung dimanjakan oleh rezim Jokowi. Sebesar apakah jasa Hendro pada Jokowi, sehingga posisi Hendro seolah demikian tinggi. Ini semua masih misteri, yang entah kapan menemukan jawabnya. Dalam hitungan kasar, apa yang diterima Hendro sejatinya sudah berlebih, tidak sebanding dengan jasanya selama ini.

Obsesi kekuasaan

Demikian banyaknya jumlah purnawirawan (pati), sehingga kalau kita cermati, ternyata ada tipologi di kalangan mereka. Purnawirawan bukanlah entitas yang homogen. Kita ambil saja kategori yang paling ekstrem, yaitu tipe yang relatif tenang dalam menjalani masa pensiunnya. Titik ekstrem lainnya adalah, mereka yang seolah selalu gelisah. Di antara dua titik ekstrem tersebut, tentu masih ada kategori atau varian lainnya, semisal purnawirawan yang menjadi intelektual, aktif di bidang bisnis, aktif di bidang sosial, dan seterusnya.

Sepertinya belum ada wacana yang secara khusus membahas kehidupan para pensiunan TNI. Kiranya akan lebih mudah dimengerti, bila penjelasannya dengan memakai beberapa contoh kasus. Beberapa purnawirawan yang dianggap bisa masuk kategori tenang adalah Letjen TNI Purn Kuntara (mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad, AMN 1963), dan Letjen TNI Purn Johny Lumintang (AMN 1970, kini Dubes Filipina).

Para purnawirawan tersebut, meski dulu sangat menonjol, namun ketika pensiun sangat jarang kita dengar lagi kabarnya. Tampaknya ada kesengajaan dari mereka sendiri, untuk mengambil jarak dengan politik riil sehari-hari.

Sedang yang masuk kategori selalu gelisah, bisa disebut Mayjen (Purn) Kivlan Zen (Akmil 1971) dan Brigjen TNI Purn Ibrahim Saleh (almarhum, mantan Staf Ahli KSAD bidang Olahraga dan Kebudayaan). Tentu daftar nama tersebut, baik yang masuk kategori tenang atau gelisah, masih bisa diperpanjang lagi, namun untuk sekadar model, kiranya nama-nama tersebut sudah cukup.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa kategorisasi "sementara” purnawirawan tersebut, jangan dilihat dalam perspektif positif-negatif.Asumsi ini berdasar pengamatan yang (diusahakan) wajar dan obyektif. Semisal yang menyangkut nama Brigjen TNI Purn Ibrahim Saleh. Sekadar mengingatkan, Brigjen Ibrahim Saleh adalah anggota DPR yang melakukan interupsi saat SU MPR 1988, setelah itu karirnya di TNI kandas.

Kegelisahan Ibrahim Saleh bisa jadi positif, karena ia kemudian aktif menyuarakan aspirasi rakyat dengan caranya sendiri. Sosoknya sempat sering muncul bila ada aksi unjuk rasa di DPR atau di jalan-jalan protokol Jakarta. Hanya penampilannya yang sering membuat kita iba, karena jauh dari kesan selaku mantan jenderal. Benar, Brigjen Purn Ibrahim Saleh bila berpergian, sering hanya beralaskan sendal jepit dan menenteng tas kain (bahan yang biasa dipakai mengemas tepung terigu).

Kegelisahan dalam bentuk lain, juga ditunjukkan mendiang Mayen TNI Purn Soehardiman dan mendiang Mayjen TNI Purn Herman Sarens. Mereka selalu gelisah, seolah ada obsesi yang tidak pernah tuntas. Tampaknya mereka memiliki target atau agenda pribadi, yang tidak sempat tercapai saat masih aktif dulu. Maka ketika tiba saat pensiun, mereka masih berusaha menggapainya, dengan sumber daya yang kian terbatas.

Ruang bagi purnawirawan

Bila hendak mencari postur purnawirawan yang ideal, tentu jawabnya sama dengan bidang profesi lainnya, bagaimana dia bisa memberikan kontribusi bagi kemaslahatan rakyat. Kontribusi di sini jangan diartikan senantiasa finansial, namun bisa berupa sumbangan pemikiran atau keteladanan dalam bersikap.

Sekitar satu dekade lalu, sebagian pengamat politik memperkirakan bahwa Pilpres 2009 merupakan pertarungan terakhir bagi figur purnawirawan seperti Wiranto (Akmil 1968), SBY (Akmil 1973), Prabowo Subianto (Akmil 1974), atau purnawirawan lain segenerasi mereka. Perkiraan itu berdasarkan faktor usia, bahwa pada tahun 2009 itu, usia rata-rata generasi mereka dianggap terlalu senior bila maju lagi pada pilpres berikutnya. Sementara di sisi lain, publik merindukan munculnya figur pimpinan dari generasi yang lebih baru.

Namun perkiraan itu meleset, khususnya pada kasus Prabowo Subianto, ketika dirinya maju kembali dalam Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Apakah Pilpres 2019 nanti benar-benar merupakan pertarungan terakhir bagi (generasi) Prabowo? Belum ada kepastian soal itu. Bila melihat tren keterlibatan purnawirawan sejak pemilihan presiden langsung 2004, tidak ada yang bisa meramalkan dalam usia berapa seorang purnawirawan akan benar-benar undur diri dari panggung politik.

Selain partisipasi dalam pilpres, purnawirawan juga terlibat pada level pilkada, meski secara umum hasilnya kurang menggembirakan. Ketika pilkada langsung diterapkan pertama kali pada tahun 2005, ada beberapa purnawirawan dan perwira aktif TNI yang maju dalam kontestasi, namun sayang tidak satupun yang keluar sebagai pemenang.

Faktor usia dan tren kekalahan dalam pilkada, tidaklah membuat surut para purnawirawan untuk menyalurkan hasrat kekuasaan. Tampaknya magnitudo kekuasaan begitu besarnya, sehingga faktor usia dan riwayat kekalahan bukanlah hambatan benar, untuk terus maju dalam pertarungan berikutnya.

Pembelajaran yang bisa dipetik dari perilaku politik purnawirawan adalah soal karakter. Bagaimana purnawirawan merespons, seandainya mereka gagal dalam kontestasi, baik mereka yang terjun sebagai capres (atau cagub), maupun yang terjun sebagai tim sukses (relawan). Karena selain keteladanan, manfaat apa yang bisa diambil publik dari segala kebisingan politik kaum purnawirawan di ranah politik, belum terlalu jelas.

Benar, kiprah purnawirawan belum memberi manfaat langsung pada rakyat kecil, khususnya dalam hal kesejahteraan. Kiprah purnawirawan selama ini sekadar melanjutkan ikhtiar menggapai kekuasaan, seperti saat masih aktif dulu. Sehingga hasil yang diperoleh sebagian (besar) kembali pada subjek pelaku, yakni purnawirawan itu sendiri.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan menulis pendapat Anda di kolom komentar yang tersedia di bawah ini.