1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Bandung, Kota Yang Dibangun Dengan Partisipasi Warga

4 Juni 2018

Ingin ikut berpartisipasi dalam pembangunan kota Anda? Mungkin hasil penelitian periset perempuan Indonesia yang studi di Jerman ini, bisa menjadi inspirasi.

https://p.dw.com/p/2ypt4
Indonesien Bandung
Foto: Imago/Xinhua

Partisipasi Komunitas di Bandung Dalam Menata Kota

Kemacetan dan polusi berpotensi mematikan kreativitas warga kota. Ini adalah contoh-.contoh masalah yang dihadapi kaum perkotaaan, termasuk yang menghuni kota sekunder. 

Kota sekunder adalah kota berpenduduk setengah juta jiwa hingga tiga juta jiwa. Sejauh ini, perencanaan pembangunan kota sekunder biasanya dilakukan melalui pendekatan top-down dan cenderung mengikuti contoh beberapa kota di negara maju. Padahal belum tentu dapat mengatasi masalah di wilayah kota sekunder, seperti misalnya dalam penanganan sampah, kemacetan, hingga banjir. 

Indonesien Lenny Martini im Funkhaus der Deutschen Welle in Bonn
Peneliti Lenny MartiniFoto: DW/A.Purwaningsih

Seorang peneliti pembangunan kota asal Indonesia, Lenny Martini, punya ide untuk meneliti pendekatan pembangunan bottom-up yang bisa diterapkan di kota sekunder -seperti Bandung- dalam usahanya mengadopsi konsep kota kreatif. Di kota Bonn, Jerman, ia mengembangkan penelitiannya.

"Di pusat penelitian Center for Development Research atau Zentrum fur Entwicklungforschung, Universitas Bonn ini saya meneliti tentang pengaruh komunitas sebagai gerakan akar rumput dalam proses konstruksi wacana dan implementasi konsep kota kreatif di kota Bandung."

Bagaimana agar warga terlibat?

Ada 24 komunitas di Bandung yang menjadi obyek penelitian Lenny. Komunitas-komunitas ini secara rutin menyelenggarakan kegiatan berbagi pengetahuan dalam berbagai bentuk, misalnya seminar, pelatihan, diskusi dan blusukan menyusuri tempat-tempat di Bandung.

Salah satu contohnya Komunitas Aleut, yang sejak tahun 2006 menyelenggarakan acara jalan-jalan atau ngaleut setiap hari Minggu, mengajak masyarakat  untuk  lebih mengenal sejarah dan dinamika kehidupan masyarakat Bandung lebih dekat.

Komunitas Aleut juga mengadakan Kelas Literasi, dan Bio Tour guna mengembangkan pengetahuan sekaligus mendekatkan penggiat dan para pesertanya kepada alam sekitar. Bio Tour misalnya, membantu warga memahami tumbuhan apa saja yang cocok ditanam di kotanya, sehingga bisa mengurangi dampak polusi di perkotaan.

Itu baru salah satu contoh. Ada ratusan komunitas di Bandung yang aktif berkegiatan sesuai ketertarikan dan kapabilitasnya. Komunitas di Bandung berperan sebagai gerakan literasi yang mendorong masyarakat, khususnya generasi muda untuk lebih kritis dalam membaca arah dan konsekuensi dari pembangunan kota. Melalui aktivitas membaca kota, diharapkan para penggiat dan partisipan dapat menumbuhkan empati terhadap sesama penghuni kota dan tergerak untuk ikut berkontribusi dalam usaha perbaikan kota.

Ada 10 prinsip kota kreatif yang menggambarkan kondisi ideal sebuah kota, di antaranya bahwa sebuah kota yang kreatif haruslah menjunjung keanekaragaman sosial budaya, inklusif, melindungi hak asasi manusia, memanfaatkan kreativitas warga, memelihara kearifan sejarah, dikelola dengan jujur, serta berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup warganya melalui penyediaan fasilitas umum yang baik dan ramah lingkungan. 

Bisa menjadi contoh

Dalam penelitian ini Lenny yang dibimbing profesor Jerman, Christoph Antweiler, seorang ahli antropologi  yang bertanggung jawab di jurusan studi Asia Tenggara di Universitas Bonn. Di Kota Bonn menurutnya, juga banyak komunitas yang berusaha untuk mengembangkan kotanya untuk menjadi kota kreatif.

"Di kota Bonn ada beberapa  inisiatif, ada yang sudah lama dan banyak yang baru, contohnya Migrapolis dan lainnya. Penting buat Bonn ada sebuah kebijakan berkelanjutan agar membuat kota ini menjadi bagus dan bagi masa depan. Kebijakan ini bisa dihubungkan dengan kota bandung, karena Bandung cukup besar namun bukan megapolitan. Bonn bisa belajar dari Bandung. Dan semoga  terjalin hubungan antara kedua kota ini di masa depan," paparnya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan kota secara bottom-up dapat membantu suatu kota sekunder untuk mendefinisikan sendiri suatu konsep pembangunan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhannya tanpa harus selalu mencontoh transformasi kota di negara-negara maju.

Disebutkan Lenny, hasil penelitiannya menunjukkan tiga interpretasi dominan dari Bandung yang ingin menjadi kota kreatif sebagai akibat dari pengaruh komunitas-komunitas ini: yaitu sebagai penggerak ekonomi, branding kota, dan identitas sosial. Ia menjelaskan: "Komunitas berperan, pertama, sebagai pembawa wacana kota kreatif sebagai konsep  pembangunan dari tingkat global masuk ke dalam kota Bandung. Kedua, komunitas memunculkan jenis kreativitas yang secara historis sudah ada di kota Bandung, di antaranya dalam bentuk budaya hiburan, pengembangan intelektual, perlawanan terhadap dominansi, kontra budaya, dan wirausaha. Kemudian yang ketiga, komunitas adalah aktor utama yang terlibat dalam proses legitimasi, simbolisasi, dan sekaligus negosiasi untuk merespon kontradiksi dan ekses negatif dari implementasi konsep kota kreatif di Bandung."

Lenny berharap penelitiannya ini akan bisa diterapkan di berbagai kota di Indonesia bahkan juga di seluruh dunia, khususnya kota sekunder.