1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mau Bisa Terus Makan Enak? Ayo Kita Lestarikan Sungai!

Yulia Savitri (Palembang)
24 November 2022

Yang suka kulineran wajib tahu bahwa keberadaan bahan makanan yang mereka konsumsi selama ini sangat tergantung kelestarian alam. Kenapa bisa begitu?

https://p.dw.com/p/4JxyS
Pindang ikan khas Palembang
Pindang dimasak dengan bahan ikan dan rempah serta bumbu tambahan seperti nanas, asam jawa, lengkuas, dan terasiFoto: Yulia Savitri/DW

Kuliner nusantara dikenal beragam dan kaya bumbu, salah satunya yaitu pindang yang juga punya ciri dari masing-masing daerah. Contohnya pindang khas Sumatera Selatan (Sumsel), dengan cita rasa kuah yang cenderung menyengat, sedikit asam, pedas, sekaligus segar.

Pindang memang menjadi makanan khas Sumatera Selatan. Namun sayangnya, kuliner khas melayu ini kini terancam kekurangan bahan baku akibat rusaknya kualitas sungai dan rawa.

Pindang dulu dibuat dari beragam ikan tangkapan di sungai, seperti ikan lemajang, toman, belida yang sekarang sulit didapat. Begitu juga jenis ikan lain seperti ikan tapa dan gabus, kalaupun ada harganya demikian tinggi, ujar budayawan asal Sumsel, Yudhi Syarofi. Namun saat ini, kebanyakan orang hanya mengenal hidangan pindang ikan patin. Jenis ikan ini banyak tersedia karena banyak dibudidayakan.

"Dulu dalam satu jaring bisa didapat beragam ikan, tapi sekarang sulit bahkan langka. Ikan patin sekarang pun banyak dari tambak, bukan patin sungai," kata Yudhi Syarofi dalam Seminar Pindang di awal November.

Di masa kecilnya, Yudhi menuturkan, masih bisa mendapat ikan sungai dengan mudah dengan dipancing ataupun ditangkul. Tapi sekarang sungai sudah berubah fungsi, tidak heran jika banyak jenis ikan yang hilang, sesalnya.

Bukan sebatas "dari pasar"

Warga Palembang bernama Ratna Dewi mengatakan kepada DW Indonesia bahwa dia sangat menyukai pindang yang biasa dimakan siang dan malam. Namun sayangnya, ia dan banyak warga lain yang tidak tahu bahwa ketersediaan bahan makanan kesukaannya itu sangat bergantung pada kelestarian alam.

"Selama ini hanya tahu pindang itu pakai ikan dan berkuah sedap. Tidak tahu soal itu (kelestarian alam)," tutur Ratna Dewi yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga kesehatan.

Hal senada disampaikan Endang (42), ibu rumah tangga. Masakan pindang ikan yang dia ketahui saat ini hanya pindang patin dan pindang gabus. "Saya tidak terpikir kalau keberadaan ikan dan bahan pindang bergantung pada lestarinya alam. Selama ini ya beli saja bahannya di pasar," ujar Endang. 

Rumah makan pindang di Palembang, Sumatera Selatan
Budayawan Yudhi Syarofi mengatakan, dulu di Palembang pindang hanya dimasak oleh perempuan. Namun, kini sudah banyak lelaki yang gemar memasak pindangFoto: Yulia Savitri/DW

Yenrizal, pakar komunikasi lingkungan dari Fisip Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah melihat pindang sebagai simbol komunikasi masyarakat terhadap lingkungannya. Terbuat dari bahan baku utama ikan dan rempah, ketersediaan hidangan pindang sangat tergantung pada alam.

Selagi ragam ikan masih ditemukan di aliran sungai, pindang tidak akan hilang, ujarnya. Ketika populasi ikan berkurang, maka bisa dipertanyakan ada apa dengan sungai dan rawa di sekitar.

Antropolog dari UIN Raden Fatah, Amilda, mengatakan bahwa selain ikan, pindang pasti berhubungan juga dengan rempah seperti lada, kunyit, lengkuas, jahe. Menurutnya, jika ikan dan rempah sudah tidak ada, masyarakat harus bisa beradaptasi dalam pengolahan pindang sebagai kultur budaya.

Anak sungai berkurang, ikan terancam

Di Sumsel, pindang disajikan dengan ikan air tawar dan tersedia di semua daerah. Mengingat provinsi ini dialiri sembilan sungai besar yang dikenal sebagai Batanghari Sembilan, sebutan pindang pun merujuk pada nama sungai masing-masing daerah. Ada masakan Pindang Musi Rawas, Pindang Meranjat, dan lainnya. Cita rasanya memang berbeda tapi bahan bakunya sama, yakni ikan.

Hanya saja, sebagian besar wilayah yang menjadi habitat ikan ini sudah mengalami perubahan bentang alam. Data WALHI Sumsel mencatat sekitar 3,5 juta hektar hutan dan lahan rawa di Sumsel beralih menjadi perkebunan baik untuk kelapa sawit, karet, maupun tebu.

Adapun ibu kota Sumsel, Kota Palembang, disebut-sebut telah kehilangan 221 anak Sungai Musi. Hal ini disampaikan Wali Kota Palembang Harnojoyo dalam kesempatan seminar peringatan Hari Air Sedunia di Universitas Sriwijaya (Unsri) belum lama ini. 

Pementasan Teater Potlot bertajuk "Pindang, Merawat Sungai dari Dapur Ibu"
Sosialisasi pentingnya menjaga kelestarian lingkungan agar kuliner tradisional favorit juga bisa lestari, oleh Teater Potlot di PalembangFoto: Yulia Savitri/DW

Sosialisasi lingkungan lewat teater

Keresahan akan berkurangnya keragaman biodiversitas akibat rusaknya lingkungan juga disampaikan Teater Potlot dalam petunjukan bertajuk "Pindang, Merawat Sungai dari Dapur Ibu" di Taman Budaya Sriwijaya Palembang, 6-7 November 2022.

Para lakon menunjukkan refleksi kehidupan di tengah perubahan kondisi budaya dan bentang alam. Menurut penulis naskah T. Wijaya, dapur ibu hari ini sudah kehilangan unsur sungai dan berisi hal yang bersifat instan.

T. Wijaya melihat pindang dalam perspektif lingkungan dan menjadikannya simbol keharmonisan manusia dengan alam. Karena itu, apabila pindang di dapur sudah tidak ada lagi pertanda hilangnya bentang alam dan nilai-nilai tradisi.

“Jika bentang alam rusak, maka dapur akan rusak,” ujarnya saat ditemui usai pementasan. Ia juga mengatakan banyak peradaban bangsa ini lahir dari keberadaan sungai dan laut. Jika sungai terus dibiarkan rusak, maka hilanglah peradaban bahari itu. 

Teater Potlot ingin menyadarkan bahwa sungai sangat berperan penting dari kehidupan manusia Indonesia dan keberlanjutan bumi. Melalui pertunjukan ini Teater Potlot berupaya mensosialisasikan cara merawat sungai dengan mengingatkan bahwa sungai sebagai sumber air bersih, transportasi, pengendali iklim, serta pangan yang dalam hal ini terkait masakan pindang.

"Melestarikan pindang, maka kita harus menjaga keberadaan sungai. Sungai rusak, maka pindang kemungkinan besar akan punah atau menjadi masakan yang mahal dan milik kelompok masyarakat tertentu karena bahan bakunya seperti ikan mulai langka," kata T Wijaya kepada DW Indonesia.

Pentingnya lanskap lahan basah

Pengamat lingkungan dari Unsri, Najib Asmani, mengungkapkan bahwa kondisi lanskap alam di Sumsel saat ini terdegradasi dan banyak beralih fungsi. Tepian sungai banyak yang berubah menjadi wilayah hunian. Begitu juga dengan rawa yang sudah ditanami menjadi perkebunan.

Najib yang sempat menjabat sebagai koordinator Tim Restorasi Gambut Sumsel 2016-2019 ini menjelaskan bahwa terbakarnya rawa gambut setiap tahun menjadi salah satu penyebab kelangkaan atau punahnya sejumlah jenis ikan. Penyebab lain termasuk pembalakan liar, pencemaran limbah pabrik, sampah, serta pendangkalan sungai.

"Jadi seharusnya, saat kita makan pindang kita terpikir bahwa ikan sudah langka, alam sudah tercemar, dan penangkaran tidak ada. Sudah saatnya melaksanakan mitigasi bencana di lanskap lahan basah ini agar fauna di dalamnya dapat berkembang biak kembali," terangnya. (ae)