1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Masalah Korea, Jepang, Cina dengan Populasi yang Semakin Tua

Emmy Sasipornkarn
17 Maret 2023

Populasi lansia di Asia Timur membengkak karena angka kelahiran terus menurun. Wilayah ini sekarang memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia, menimbulkan kekhawatiran sosial dan ekonomi.

https://p.dw.com/p/4OnsD
China Manusia lanjut usia (manula) di Cina
Manusia lanjut usia (manula) di CinaFoto: Xinhua/imago images

"Saya takut punya anak," kata Seha (nama lengkap dirahasiakan), warga Seoul, kepada DW. Meski merasa itu akan membawa kebahagiaan, perempuan berusia 22 tahun ini percaya bahwa memiliki anak dapat menghentikan dia dari mengejar karier. "Saya telah melihat banyak perempuan yang sudah menikah berhenti dari pekerjaan untuk merawat anak-anak mereka," katanya, seraya menambahkan bahwa rekan-rekannya berbagi keprihatinannya.

Tingkat kelahiran di Korea Selatan terus turun sejak 2015. Tahun lalu adalah yang ketiga berturut-turut di mana ekonomi terbesar keempat di Asia itu mengalami lebih banyak kematian daripada kelahiran. Selain itu, Korea Selatan baru saja memecahkan rekornya sendiri untuk tingkat kesuburan terendah di dunia.

Ini bukan fenomena unik Korea Selatan saja. Negara tetangga, Jepang, telah lama dirundung masalah demografis, terutama dengan populasi lansia yang berkembang pesat. Sehingga Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan pada Januari lalu bahwa negara tersebut berada di ambang disfungsi sosial.

Orang Cina juga memiliki lebih sedikit anak, menunda kelahiran, atau tidak memiliki anak sama sekali, Tahun lalu, populasi negara itu turun untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Para ahli khawatir kebijakan satu anak Cina terlambat dicabut. Setelah memberlakukan kebijakan yang ketat selama puluhan tahun, Cina membolehkan lagi pasangan suami istri memiliki hingga tiga anak.

Namun sejauh ini, kebijakan itu belum menyebabkan peningkatan kelahiran. Jumlah bayi yang lahir di Cina telah menurun hampir setengahnya, dari 17,86 juta pada tahun 2016 menjadi hanya 9,56 juta pada 2022.

Seorang anak perempuan digendong ibunya di Tokyo, Jepang
Masyarakat di jepang makin menua, karena tingkat kelahiran anak terus turunFoto: David Mareuil/AA/picture alliance

Biaya hidup menjadi penghalang punya anak

Asia Timur sekarang memiliki tingkat kesuburan terendah dari wilayah global mana pun, dengan 1,2 kelahiran per satu perempuan, dibandingkan dengan 2,3 di seluruh dunia. Alasan yang membuat perempuan enggan memiliki anak hampiir sama: biaya perumahan yang sangat tinggi, tekanan finansial untuk membesarkan anak dalam masyarakat yang kompetitif, dan perempuan yang semakin memprioritaskan karier mereka.

"Anda membutuhkan setidaknya USD800.000 untuk membeli apartemen di atau dekat Seoul," kata Heedoh Roh, seorang pegawai publik yang merencanakan pernikahannya, kepada DW. "Untuk saat ini, kami memutuskan untuk menyewa rumah."

Data terbaru dari Survei Perumahan Korea Selatan 2021 menunjukkan bahwa rata-rata pekerja hanya dapat membeli properti di ibu kota jika mereka menabung seluruh pendapatannya selama lebih dari 14 tahun.

Roh dan tunangannya berencana untuk punya anak, dan sebagai pegawai pemerintah mereka dapat menikmati cuti melahirkan hingga tiga tahun. Roh mengatakan, kebijakan itu bisa menjadi "motivasi besar" bagi mereka untuk menjadi orang tua, dibandingkan dengan negara di mana banyak perusahaan tidak menawarkan cuti melahirkan.

Menyusutnya kaum muda bangkitkan kekhawatiran sosial dan ekonomi

Turunnya tingkat kelahiran bukan satu-satunya kesulitan terkait demografi yang dihadapi Asia Timur. Di Jepang, hampir sepertiga populasi terdiri dari orang berusia 65 tahun ke atas. Negara ini juga memiliki salah satu harapan hidup tertinggi di dunia. Pada 2022, hampir satu dari 1.500 orang Jepang berusia setidaknya 100 tahun, dibandingkan dengan sekitar satu per 5.000 orang secara global.

Menyusutnya jumlah kaum muda akan berarti negara tersebut memiliki tenaga kerja yang lebih sedikit dan tidak akan mampu mengumpulkan uang banyak dari pajak. Itu akan berdampak negatif terhadap perekonomian, kata Thang Leng, profesor di Departemen Studi Jepang di Universitas Nasional Singapura, NUS.

Cina menghadapi tantangan yang bahkan lebih mengkhawatirkan. Dengan lebih dari 1,4 miliar orang, populasinya "menua dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Sabrina Luk, asisten profesor Kebijakan Publik dan Urusan Global di Nanyang Technological University of Singapore.

Masyarakat yang semakin tua, bersama dengan struktur keluarga "4-2-1" (empat kakek-nenek, dua orang tua dan satu anak), yang dihasilkan dari kebijakan satu anak, berarti beban "keuangan dan pengasuhan" yang lebih berat ditempatkan pada generasi yang lebih muda, kata Luk kepada DW.

Sementara banyak negara di kawasan lain telah beralih ke tenaga kerja asing untuk menambah tenaga kerja mereka yang menyusut, negara-negara Asia Timur belum sepenuhnya menerima gagasan tersebut. Di Jepang, orang asing hanya 1,5% dari populasi yang terdaftar. Cina, di sisi lain, bukanlah "tujuan populer bagi para imigran," kata Luk.

Lebih buruk lagi, lebih banyak orang pindah dari Cina. Sejak PBB mulai menyusun statistik pada tahun 1950, Cina memiliki jumlah migran bersih negatif. Untuk saat ini, pemerintahan di Asia Timur harus terus mencari solusi yang layak untuk populasi mereka yang menyusut.

(hp/ha)