1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kultus Romantisme Monarki

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
4 Juli 2020

Kejadiannya sudah cukup lama berlalu, namun rasanya fenonema kelompok-kelompok kultus di Indonesia tidak akan hanya berhenti sampai di kasus-kasus Keraton Sejagat atau Sunda Empire.Opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/3dzf2
Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasiFoto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin

Kejadiannya sudah cukup lama berlalu, namun rasanya fenonema kelompok-kelompok kultus di Indonesia tidak akan hanya berhenti sampai di kasus-kasus Keraton Sejagat atau Sunda Empire yang sempat menghebohkan awal 2020 silam. Bahkan, keduanya bisa menjadi contoh paling baik mengenai bagaimana tidak terdeteksinya pertumbuhan gerakan-gerakan kultus bermotif politik seperti ini sampai mereka menjadi cukup besar dan menarik banyak pengikut. Mungkin satu-satunya kesalahan Keraton Sejagat dan Sunda Empire adalah mereka tidak cukup militan sehingga mereka akhirnya dengan begitu mudah diringkus aparat.

Ketika tulisan ini dibuat, kabar terbaru memberitakan bahwa tiga petinggi Sunda Empire akan diadili di Bandung. Tidak ada perlawanan dari pengikut-pengikut sebuah kultus yang bangga dengan kemegahan dan ambisi besarnya tersebut. Rangga Sasana, petinggi Sunda Empire, sudah mati kutu. Orang yang sempat mendapatkan publisitas gratis bagi kerajaannya dengan muncul di salah satu stasiun televisi swasta itu pun kini tak ada yang membela, layaknya seorang raja telanjang yang kekuasaannya baru saja didomplang oleh kerajaan tetangganya.

Banyak alasan mengapa orang-orang bergabung dalam organisasi-organisasi kultus yang mungkin bagi orang awam terlihat ngawur dan khayal. Mulai dari sebab-sebab potensi ekonomi, ketertarikan sosial, sampai rasa gerah terhadap situasi politik. Alasan lainnya karena terdorong oleh perasaan tulus, bahkan naif, karena melihat perkumpulan tersebut menawarkan rasa aman dan nyaman yang tak bisa didapatkan saat situasi normal. Masalah Keraton Sejagat dan Sunda Empire hanyalah contoh kecil dalam lintasan sejarah kultus di Indonesia, dan niscaya tak akan menjadi yang terakhir.

Kultus dan Angan-angan Monarki

Selain keduanya, ada beberapa nama lain yang sempat sama menggelitiknya seperti Negara Rakyat Nusantara, Kesultanan Selaco di Tasikmalaya, Kerajaan Ubur-ubur di Banten, dan lain-lain. Modusnya sama, seorang yang berpengaruh mendeklarasikan dan merekrut orang-orang ke dalam perkumpulannya dengan syarat harus merogoh kocek, minimal untuk membeli seragam keanggotaan. Para anggotanya dibuai oleh kisah-kisah manis yang membuat mereka percaya diri bahwa sistem dan nilai-nilai sosial-politik yang kini berlaku sudah usang dan harus diganti sesuai idealisme organisasi mereka.

Sepintas situasi tersebut mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia di masa-masa pergerakan nasional. Anak-anak muda Indonesia seperti Sukarno, Hatta Tan Malaka, dan lain-lain berkumpul serta berdiskusi mengenai bobroknya Hindia Belanda, juga mengapa kekuasaan orang-orang Belanda dan perangkat-perangkat kolonialismenya mesti disudahi, diganti dengan konsepsi yang mereka sebut dengan Indonesia. Tidak ada lagi tempat bagi tuan-tuan Eropa dan kroni-kroni pribuminya untuk berkuasa ketika orang-orang Indonesia yang dijajah menginginkan dengan tegas untuk memerintah dirinya sendiri.

Sama halnya dengan aparat Indonesia kini yang menciduk organisasi-organisasi kultus tersebut, pemerintah kolonial Belanda menunjukkan kekuatan dengan menangkapi dan membuang para pemimpin Indonesia sehingga gerakan nasionalis Indonesia mati suri sampai Jepang datang menginterupsi. Gerakan yang tadinya dianggap sebagai anomali tidak penting oleh Belanda itupun akhirnya menemukan momentumnya sampai ia menjadi besar, nyata, dan tetap relevan sampai saat ini.

Mungkin pemimpin-pemimpin Indonesia sekarang ini terbahak-bahak dan melihat kekonyolan organisasi-organisasi kultus tersebut; tidak punya kekuatan tapi begitu bermulut besar mengakui bahwa mereka akan mendominasi dunia. Namun jangan sampai hal itu membuat terlena. Jika ada satu pelajaran yang dapat diambil, maka itu adalah fakta bahwa gerakan-gerakan tersebut merupakan bentuk kekecewaan terhadap status quo, sebagaimana halnya kekecewaan orang-orang Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda dulu. Pasti ada satu hal yang salah dari Indonesia saat ini sampai fenomena tersebut muncul.

Yang paling mudah, mengapa gerakan kultus ini cenderung berciri monarki? Mereka mencitrakan organisasi mereka dengan kata-kata seperti “keraton”, “kerajaan”, bahkan “kekaisaran”, yang sistemnya dipuncaki seorang pemimpin utama tanpa struktur pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) layaknya pemerintah demokrasi modern. Monarki terlihat seksi dan romantik bagi banyak orang karena ia menonjolkan karakter pribadi sebagai senjata politik daripada sistem demokrasi yang rumit, terlebih sebagian besar orang di Indonesia masih senang melihat kegagahan dan titel-titel mewah sebagai tolok ukur kedigdayaan seseorang.

Dengan kata lain, fenomena kultus yang beresensi pada kerinduan akan jaya dan geloranya raja-raja Indonesia merupakan sebuah sindiran halus terhadap janji-janji demokrasi dan republik yang ditawarkan dahulu. Kemakmuran, ketentraman, dan kenyamanan yang dijanjikan belum hadir di Indonesia sepenuhnya, sehingga orang-orang beralih ke berbagai macam kultus yang kini berani menjanjikan. Terlepas dari para pendiri kultus tersebut yang sering dikatakan mengalami masalah kejiwaan, kesediaan para pengikutnya sudah cukup membuktikan bahwa pemerintah memang belum mampu menuntaskan keresahan-keresahan mereka.

Posisi titel monarki di Indonesia memang sudah sangat kehilangan taji, kecuali untuk kasus-kasus tertentu seperti di Yogyakarta. Kesultanan dan kerajaan yang dulu berjaya sebelum Indonesia merdeka kini telah habis kekuatan politiknya dan terbatas berpengaruh secara sosial-budaya lokal semata. Namun angan-angan romantiknya terlanjur disukai banyak orang, yang ironisnya, tidak mengetahui bahwa sesungguhnya raja-raja tersebut menanggung separuh dosa kolonialisme sebagai klien politik pedagang dan penguasa Belanda beserta proyek-proyek penjajahannya selama berabad-abad.

Persinggungan wacana antara demokrasi dengan monarki yang hadir dalam bentuk kultus kali ini memang tidak separah dibandingkan 2010 silam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutarakan tidak mungkinnya sistem monarki diterapkan di Indonesia, yang lantas menyinggung Kesultanan Yogyakarta dan membuat hubungan Yogyakarta-Jakarta memanas. Beruntungnya, tidak terjadi keributan berlebihan terkait perkara tersebut. Walau harus diakui, posisi dan status monarki di Indonesia akan selalu menjadi kontroversi tanpa henti, semisal dalam bentuk kultus seperti sekarang ini.

Perkara Profesionalisme Pemerintah

Akar masalah munculnya kultus-kultus beraroma politik di Indonesia adalah kekecewaan terhadap realita kehidupan yang dibangun Indonesia. Ia memiliki energi yang sama dengan orang-orang di Aceh dan Maluku dahulu, juga di Papua kini yang masih bergejolak dan situasinya belum dapat dikatakan stabil. Hal sama dilakukan oleh teroris-teroris yang mengimpor gagasan-gagasan khilafah ekstrim dari luar negeri untuk diterapkan di Indonesia. Pemerintah Indonesia mereka anggap tidak profesional sehingga kelengahan-kelengahan tersebut dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk memisahkan diri.

Presiden Jokowi sendiri enggan berkomentar banyak kecuali menyebut fenomena ini sebagai hiburan semata. Layaknya publik kebanyakan, ia merespon fenomena kultus ini sebagai objek humor daripada ancaman nyata. Memang tidak ada bentrok senjata, namun dari lingkup tatanan ide, baiknya kultus-kultus seperti ini tidak dipandang sebelah mata. Delusi keagungan yang menjadi motor kultus-kultus semacam ini sangat rawan menjadi sumber masalah-masalah kriminalitas dan keresahan sosial, atau minimal mencederai kesehatan logika dan nalar publik apabila diekspos berlebihan di media.

Sehingga, yang disorot kini adalah sudah sebaik apakah pemerintah menyediakan kebutuhan-kebutuhan warganya? Apakah pemerintah melihat fenomena kultus sebagai sarana intropeksi diri atau sekadar penyakit masyarakat yang harus diberantas? Sebagai pihak yang memiliki kewenangan terbesar dan paling utama, pemerintah Indonesia harus memanfaatkan potensi demokrasi sebaik-baiknya untuk mensejahterakan rakyatnya sehingga organisasi-organisasi kultus tidak lagi mendapat tempat. Bahkan tak kalah penting, publik juga harus mengawasi pemerintah agar orang-orang yang menggerakkan roda pemerintahan tidak ikut-ikut “dikultuskan” dan mendominasi demokrasi untuk diri dan kelompoknya sendiri.

 


@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.