1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikKosovo

NATO Bersiaga Usai Bentrokan Dengan Etnis Serbia di Kosovo

31 Mei 2023

Seratusan warga beretnis Serbia kembali berkumpul di utara Kosovo, Rabu (31/5), sehari setelah bentrokan dengan pasukan NATO. Mereka berupaya menduduki balai kota di Zvecan untuk menolak walikota berdarah Albania.

https://p.dw.com/p/4S0Bc
Barikade polisi di Zvecan
Barikade polisi di ZvecanFoto: Ognen Teofilovski/REUTERS

Sebagai respons, pasukan misi perdamaian NATO di Kosovo, KFOR, mendirikan pagar besi berbalut kawat berduri di utara kota yang berjarak 45 kilometer dari ibu kota Pristina itu. Jumlah pasukan juga ditambahkan demi mencegah berulangnya insiden bentrokan pada Selasa (30/5) yang menyebabkan setidaknya 30 serdadu mengalami luka-luka.

"Kami menurunkan 700 sedadu tambahan dari kekuatan cadangan untuk Balkan Barat," kata Sekretaris Jendral Pakta Pertahanan Atlantik Utara, Jens Stoltenberg di Oslo, selasa malam. NATO juga akan "menempatkan satu batalion dalam kesiagaan tinggi, jadi siap ditugaskan setiap saat," imbuhnya.

Menurut Stoltenberg, keputusan NATO merupakan "langkah tegas untuk menjamin bahwa KFOR memiliki kekuatan dan kapabilitas yang cukup untuk menjalankan mandatnya."

Bentrokan di Zvecan
Bentrokan antara demonstran Serbia dan aparat keamanan KFOR dan polisi Kosovo di Zvecan, (29/5)Foto: Laura Hasani/REUTERS

Ketegangan  berawal dari aksi boikot etnis Serbia di utara Kosovo terhadap pemilihan walikota yang dimenangkan partai-partai Albania dengan tingkat partisipasi hanya sebesar 3,5 persen. Buntutnya, demonstran militan Serbia berupaya menduduki balai kota Zvecan dan terlibat bentrok dengan polisi Kosovo dan pasukan KFOR.

Sebanyak 19 aparat KFOR asal Hongaria dan 11 dari Italia dikabarkan menderita luka, termasuk patah tulang atau luka bakar, menurut keterangan pers resmi yang dirilis Selasa pagi. Adapun rumah sakit di kota terdekat, Mitrovica, melaporkan setidaknya 53 demonstran Serbia mengalami luka-luka.

Eskalasi dari Pristina

Perdana Menteri Kosovo, Albin Kurti, menuduh negara jiran Serbia mendalangi kerusuhan di utara. Menurutnya, para demonstran sebagian besar merupakan "sekelompok ekstremis di bawah arahan Belgrad," kata dia, Senin (29/5) malam.

Kosovo sebagian besar dihuni oleh etnis Albania. Sementara etnis Serbia mendominasi wilayah di utara di dekat perbatasan dengan jiran yang bermusuhan. Mereka bersikeras agar Pristina membatalkan hasil pemilu dan menarik mundur polisi Kosovo dari utara. Serbia hingga kini tidak mengakui kemerdekaan Kosovo sejak dideklarasikan pada 2008 silam.

Pada Jumat (26/5) lalu, Presiden Serbia, Aleksandar Vucic, memerintahkan agar militer bersiaga di perbatasan demi mencegah "pembantaian" terhadap etnis Serbia di Kosovo. Menurut Menteri Pertahanan Milos Vucevic, langkah itu diperlukan demi merespons "teror terhadap komunitas Serbia di Kosovo."

Sikap Pristina yang bersikeras mengesahkan hasil pemilu dan mengangkat anggota etnis Albania sebagai walikota di utara juga dikecam negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Buntutnya, Kosovo dilarang melanjutkan latihan gabungan militer AS yang sedang berlangsung di Eropa, kata Duta Besar Jeffrey Hovenier. "Bagi Kosovo, latihannya sudah berakhir," ujarnya mengomentari sanksi pertama Washington terhadap Kosovo yang tergolong negara sekutu.

Dalam sebuah pesan video yang disiarkan Selasa malam, PM Kosovo, Albin Kurti, mengatakan para walikota yang dipilih melalui pemilu pada 23 April silam "merupakan satu-satunya pihak yang punya legitimasi di gedung kantor pemerintahan dan layanan warga." Dia bersikeras akan menyeret dalang kerusuhan ke pengadilan.

"Di Kosovo, kekuasaan dimenangkan melalui pemilihan umum, bukan melalui kekerasan atau tindak kriminal," tukasnya.

Eropa dan AS berusaha melobi kedua pihak untuk menahan diri dan segera kembali ke meja perundingan, tuntut Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken. Hal senada diungkapkan utusan tertinggi luar negeri UE, Josep Borell. "Saya mengharapkan otoritas Kosovo akan menghentikan operasi kepolisian di utara dan para pelaku aksi kerusuhan agar menahan diri," kata dia.

"Kita sudah mengalami terlalu banyak perang dan kekerasan di Eropa saat ini. Kita tidak mampu menghadapi konflik baru," imbuhnya. rzn/hp (dpa,afp)