1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kondisi Buruh Masih Terpuruk

Indonesien Wahyu Susilo
Wahyu Susilo
30 April 2024

Berdasar observasi dan monitoring kondisi ketenagakerjaan global, situasi dan kondisi kaum buruh di dunia masih menghadapi situasi rentan dan bekerja dalam kondisi yang belum sepenuhnya layak. Ikuti opini Wahyu Susilo.

https://p.dw.com/p/4evBq
Protes atas undang-undang cipta kerja
Ilustrasi: Demonstrasi buruh di Jakarta menentang undang-undang cipta kerjaFoto: Fakhri Hermansyah/Antara Foto/Reuters

Organisasi Perburuhan Internasional ILO pada awal tahun 2024 meluncurkan laporan World Employment and Social Outlook 2024. Berdasarkan observasi dan monitoring kondisi ketenagakerjaan global, situasi dan kondisi kaum buruh di muka Bumi ini masih menghadapi situasi rentan dan bekerja dalam kondisi yang belum sepenuhnya layak.

Pandemi COVID-19 meskipun sudah berlalu, masih menyisakan ketidakpastian atas pekerjaan yang layak, dan berkontribusi pada eskalasi tingkat pengangguran global. Organisasi bantuan OXFAM mencatat, pandemi COVID-19 juga makin memperlebar jurang ketimpangan. Pundi-pundi kekayaan para penguasa bisnis makin menumpuk sementara jumlah orang miskin makin meningkat.

Tentu saja pandemi COVID-19 bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan pelanggengan kerentanan kaum buruh. Kondisi geopolitik yang panas bergejolak, misalnya invasi Rusia ke Ukraina, konflik politik dan eskalasi kekerasan di Myanmar pascakudeta Februari 2021 dan yang terakhir memanasnya krisis Israel-Palestina yang memicu ketegangan dan konflik bersenjata di kawasan Timur Tengah, juga memberi andil besar dalam dinamika politik dan ekonomi global. Situasi tersebut memicu krisis ekonomi, krisis pangan dan krisis energi (khususnya minyak dan gas bumi) serta menimbulkan volatilitas harga.

Ini secara langsung dan tidak langsung menggerus daya beli masyarakat, tak terkecuali kaum buruh. Sebaliknya, upah buruh tidak mampu mengimbangi kenaikan harga komoditas dan jasa, sementara di sisi lain  jaminan sosial ketenagakerjaan masih belum bisa menjadi perisai tangguh kaum buruh untuk menghadapi gejolak harga.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Dalam konteks pasar tenaga kerja internasional, pandemi COVID-19 telah membuat mobilitas pekerja antarnegara makin ketat dengan alasan kesehatan. Selain itu, penguatan dan kemenangan rezim populis kanan di berbagai negara tujuan pekerja migran, makin menyuburkan sentimen xenofobia/anti pekerja asing.

Kondisi geopolitik yang ditandai konflik bersenjata di berbagai kawasan, juga ikut berkontribusi membatasi ruang gerak para buruh migran dan mengancam keselamatan buruh migran. Dampaknya, eksodus pengungsi makin meningkat dan memperumit kebijakan mobilitas manusia antar bangsa.

Secara internal, kondisi buruh Indonesia (baik yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri) juga masih menghadapi tantangan pemulihan pascapandemi COVID-19. Omnibus Law (UU Cipta Kerja), alih-alih meningkatkan kesejahteraan dan kepastian atas pekerjaan, ternyata makin memperluas proses prekariatisasi kaum buruh. Regulasi sapujagat ini, mendorong fleksibilitas masa kerja sehingga buruh bisa sewaktu-waktu kehilangan pekerjaan. Undang-undang yang proses pembuatannya penuh akrobat politik ini, juga mereduksi hak-hak fundamental kaum buruh atas nama kemudahan investasi.

GoGerman: Peluang bagi Tenaga Kerja Indonesia dan Perusahaan Jerman

Fenomena lapar kerja

Gejolak perlawanan buruh selalu terjadi pada saat finalisasi penentuan besaran upah tahunan (Upah Minimum Kota), ini memperlihatkan bahwa upah buruh di Indonesia tidak berbanding lurus dengan eskalasi biaya dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Kondisi inilah yang memunculkan fenomena lapar kerja. Pandemi COVID-19 telah membuat jutaan kaum buruh Indonesia (baik yang bekerja di dalam negeri maupun luar negeri) kehilangan pekerjaan. Ketika pandemi COVID-19 telah beringsut surut, tidak dengan otomatis kembali tersedia lapangan kerja. Bahkan sebaliknya, beberapa lapangan kerja justru menghilang.

Kondisi lapar kerja ini, membuat para pencari kerja terpaksa harus berani mengambil resiko menerima pekerjaan yang menjanjikan upah yang lebih tinggi, tanpa memperhitungkan mara bahaya yang akan dihadapinya.

Sejak masa pandemi COVID-19 hingga saat ini, terjadi eskalasi kasus perdagangan orang dengan kedok dan modus bekerja ke luar negeri. Sebagian besar membonceng makanisme perekrutan buruh migran. Jika sebelumnya kasus perdagangan orang didominasi sektor pekerja rumah tanga, perkebunan, kapal penangkap ikan dan eksploitasi seksual, sekarang ini praktik perdagangan orang sudah meluas pada pekerjaan yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital seperti operator judi online atau dipaksa melakukan kejahatan digital scamming online.

Mereka yang terjebak dalam pekerjaan berbasis teknologi digital adalah wajah baru korban perdagangan orang. Jika sebelumnya wajah korban perdagangan orang selalu diidentikkan dengan kelompok miskin dan rentan, perempuan kelas bawah, berpendidikan rendah dan berasal dari pedesaan, sekarang korban perdagangan orang sudah meluas pada kelas menengah, berpendidikan menengah atas dan bahkan lulusan perguruan tinggi, melek teknologi dan dari perkotaan.

Tersedianya peluang kerja temporer (jangka pendek) ke luar negeri dengan upah rendah di Asia Timur, Eropa dan Australia  melalui mekanisme pemagangan (seperti yang terjadi di Jepang dan Taiwan), pekerja musiman (seasonal workers), atau menyiasati working holiday visa dan Ferienjob di Jerman (kerja di musim liburan) kerap dimanipulasi secara culas oleh para perekrut tenaga kerja dengan cara-cara yang melawan hukum. 

Informasi mengenai peluang kerja tersebut dimanipulasi tidak sesuai dengan realitas, dan mereka membebankan biaya perekrutan tinggi yang tidak sepadan dengan gaji riil yang diterima. Ini semua terjadi karena fenomena lapar kerja, semua peluang kerja bahkan yang beresiko akan diminati banyak orang.

Pemilu yang belum membawa perbaikan 

Pemilu 2024 dengan segala kontroversinya, hanya sekedar mengumbar janji-jani retorik dan bombastis peningkatan kesejahteraan kaum buruh, namun belum ada hal konkret yang bisa dinikmati dan dirasakan. Sebaliknya, Omnibus Law yang diresistensi kaum buruh, masih digadang-gadang menjadi pendongkrak investasi dan pertumbuhan ekonomi.

APBN akan terus terbebani untuk pembayaran utang luar negeri, pembiayaan proyek mercusuar ibu kota baru, dan ke depan kemungkinan ditambah beban program populis makan siang gratis. Sementara itu, program perlindungan sosial masih sebatas karitatif dengan distribusi bantuan sosial (bansos) yang rawan dipolitisasi dan dikorupsi. Hingga saat ini belum ada skema perlindungan sosial yang komprehensif dan adaptif bagi kelompok miskin dan rentan miskin, kaum buruh dan kelas menengah bawah (aspiring middle class) yang mudah terguncang kapasitas ekonominya akibat krisis ekonomi, perubahan iklim dan efek domino dari gejolak politik ekonomi global.

@wahyususilo adalah pengamat sosial, pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.