1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kolera di Haiti Diperkirakan Masih Akan Terus Merajalela

25 November 2010

Minimnya kebersihan mempermudah penyebaran kolera di Haiti. Tak ada jaminan bahwa mereka yang bertahan hidup dapat menaruh harapan pada pemilihan presiden akhir pekan ini.

https://p.dw.com/p/QIBb
Petugas dari Departemen Kesehatan, dengan masker hidung, membersihkan kediaman salah seorang korban tewas akibat kolera di kota Port-au-PrinceFoto: AP

Daripada mengulurkan jari jemarinya kepada para pasien, Louis Gonod memilih untuk menyentuh dengan kepalan atau sikunya. Banyak orang di Haiti yang terbisa dengan cara baru bersalaman ini, untuk menghindari kontak fisik dengan orang lain. Mereka paham, dengan begitu mereka bisa mengurangi resiko terinfeksi kolera.

Penyakit dengan gejala muntaber adalah bencana baru yang merundung negara miskin di Karibik tersebut, menewaskan lebih dari 1400 orang.

Louis Gonod juga selalu membawa sebotol kecil air yang mengandung klor. Air itu ia gunakan untuk mencuci tangan setelah memegang seseorang atau sesuatu. Pria Haiti itu mengaku tak takut pada kolera, tapi menegaskan pencegahan adalah hal terbaik. Gonod adalah dokter di klinik kolera, di RS umum Port-au-Prince. RS yang dibanjiri warga yang terkena epidemi tersebut.

Sikap hati-hati Louis Gonod merupakan perkecualian. Memang, pemerintah Haiti dan organisasi internasional menempel berbagai penjuru kota dengan poster bertuliskan "cuci tangan selamatkan nyawa". Namun masalah kebersihan dan tindakan pencegahan sederhana tetap merupakan ilusi di banyak kawasan ibukota yang sebagian besar hancur akibat gempa bumi Januari lalu.

Para pejalan kaki melangkah di atas tumpukan sampah di trotoar. Di sisi jalan, kali mengalirkan air yang menghitam akibat kotoran. Tak sedikit orang buang hajat di sudut jalan, dekat warung-warung makanan. Warung yang menawarkan minuman penawar haus, dari air yang patut dicurigai darimana asalnya.

Tempat-tempat penampungan korban gempa bumi di Port-au-Prince dan sekitarnya, sama penuh sesaknya dengan rumah-rumah yang selamat dari gempa. Begitu banyak keluarga yang terpaksa hidup bersama di kamar berukuran kecil, sehingga hampir tak mungkin menghindari kontak fisik. Dalam kondisi seperti itu, menciptakan lingkungan yang higienis atau memelihara kebersihan, menjadi tugas yang melebihi kemampuan manusia.

Kolera tidak akan lenyap dengan cepat, karena dua syarat yang dibutuhkan untuk menangani epidemi tidak tersedia di Haiti, yaitu air bersih dan sistem kesehatan yang baik, kata Pradip Bardhan, seorang pakar dari pusat internasional penelitian Kolera.

Jauh-jauh hari, banyak organisasi memperingatkan bahaya merebaknya epidemi di ratusan tenda-tenda pengungsi di Port-au-Prince. Sekitar 1,5 juta warga yang kehilangan tempat tinggal akibat gempa 12 Januari, hidup dalam kondisi menyedihkan.

Meski begitu, para pakar di Haiti lebih menguatirkan kondisi di daerah-daerah kumuh, di mana warga hidup di reruntuhan rumah tanpa fasilitas MCK dan kucuran air. Sebaliknya, di tempat-tempat yang disebut kota tenda, fasilitas itu tersedia walau dengan segala keterbatasan.

Faktanya, di kota tenda di Champ Mars, persis di seberang istana kepresidenan yang hancur, hingga kini hanya tercatat dua kasus kolera. Di Citè Soleil, salah satu pemukiman kumuh paling miskin dan tidak aman di Port-au-Prince, ditemui banyak sekali kasus kolera.

Sejak satu abad lalu, kolera tak pernah lagi muncul di Haiti. Kini, hampir tak ada yang meragukan bahwa epidemi berbahaya itu akan merajalela dalam waktu yang tak bisa ditentukan, namun pasti sangat panjang, di negara yang dirundung krisis ini.

Renata Permadi/dpa/rtr

Editor: Yuniman Farid