1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pertama Kali Menjejakkan Kaki di Negeri Impian

Chrissefer Rachel
7 Agustus 2020

Oktober 2019 menjadi hari-hari yang tak terlupakan bagi saya. Ketika saya pertama kali menjejakkan kaki di Jerman, setelah perjalanan 18 jam Bali-Dubai-Frankfurt. Oleh Chriseffer Rachel.

https://p.dw.com/p/3gUbh
Chrisseffer Rachel I Mein erster Besuch in Deutschland
Foto: privat

Punya mimpi berkunjung ke Eropa? Iya, saya punya. Punya kesempatan untuk berkunjung ke salah satu negara Eropa seperti Jerman? Belum tentu saya punya.

Pertanyaan sederhana yang saya simpan di benak saya selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya pertanyaan kedua saya di atas bisa terjawab. Kesempatan itu akhirnya datang. Selama 27 tahun hidup, tak pernah saya bayangkan sebelumnya bisa menginjakkan kaki di Negeri Panzer, tempat idola saya, legenda sepakbola Jerman Michael Ballack, hidup dan terkenal selama beberapa dekade.

Chrisseffer Rachel  dan pacar Jerman di jembatan di Fankfurt am Main (Cjriseffer Rachel)
Chrissefer Rachel (kanan) dengan pacar di jembatan Eiserner Steg, Frankfurt a.M.Foto: privat

17 Oktober 2019 menjadi hari dan tanggal yang tak terlupakan bagi saya. Hari ketika saya untuk pertama kali menjejakkan kaki di Jerman. Menempuh perjalanan selama 18 jam dari Bali-Dubai-Frankfurt, membuat hati saya deg-degan luar biasa. Beberapa menit sebelum mendarat, saya melihat keluar jendela dari pesawat, betapa hijaunya negeri ini dari atas dan betapa rapinya. Membuat saya berkali-kali mengganti sudut pandang kamera di pesawat, mulai dari depan, samping dan bawah. Sungguh excited! Sampai akhirnya saya mendarat di bandara internasional Frankfurt.

Hal yang takkan saya lupakan adalah pertanyaan petugas imigrasi saat itu yang menarik. “Apa Anda datang untuk studi? Ke universitas mana?”. Sontak saya kaget, karena jelas visa saya untuk visa kunjungan, dan saya bilang: “Saya datang untuk liburan”. Petugas itu kemudian memandangi saya dan melihat paspor dan visa saya lagi, kemudian kembali bertanya: “Kalau tidak datang untuk sekolah, lalu apa pekerjaan Anda?”

Sebenarnya perasaan dan pikiran saya sudah campur aduk dalam sekian detik percakapan ini berlangsung. Perasaan muka saya tidak mencurigakan. Tapi mungkin foto di paspor lebih cantik ya, dibanding muka saya saat itu yang bengkak karena kebanyakan tidur, hihi.

Akhirnya saya jawab dengan sekejap: “Saya kerja di federasi sepakbola di Indonesia”. Petugas ini langsung menjawab “Oke, ada bukti kamu benar sudah bekerja?” Alamak! Ya namanya liburan mana bawa id card kantor dan sebagainya ya. Tapi saya pede aja bilang: “Saya tidak bawa, untuk apa saya bawa, kan saya mau liburan. Tapi saya punya tiket untuk pulang.” Lalu saya tunjukkan bukti tiket itu dan akhirnya lolos imigrasi! Puji Tuhan.

Foto menjelang mendarat di bandara Frankfurt dari jendela pesawat (Chrisseffer Rachel)
Menjelang pendaratan di bandara Frankfurt, JermanFoto: privat

Selesai mengambil bagasi, saya langsung bergegas bertemu pacar saya, yang memang asli warga negara Jerman dan sudah sedari tadi menunggu di pintu keluar. Rasa terharu, rasa senang, semua bercampur jadi satu, akhirnya untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di sini.

Selepas melihat-lihat sebentar di bandara internasional Frankfurt, saya dan pacar bergegas ke kota untuk melihat-lihat Frankfurt lebih dekat. Keluar dari area bandara, kami melewati Autobahn atau jalan bebas hambatan. Di Indonesia biasa kita sebut tol.

Ada hal menarik karena saya melihat bahwa kecepatan di jalan bebas hambatan ini diatur. Tidak seperti di Indonesia yang bebas semaunya. Di sini dalam rentang kilometer tertentu, kecepatan pengendara diatur, misalnya hanya boleh maksimal 80 km/jam, kemudian dari titik lainnya 120km/jam, kemudian ada tanda lalu lintas berwana putih, yang artinya pengendara bisa memacu kendaraannya secepat mungkin. Untuk pertama kalinya saya melihat hal seperti ini, walaupun ini adalah hal yang biasa bagi warga di sini.

Saya membuka percakapan dengan pacar saya. “Wah kalau ini diterapkan di Indonesia, mana mau ya para pengemudinya ikut aturan seperti ini?” Pacar saya bingung: “Maksudnya?" Saya jawab dengan cepat. “Soal aturan kecepatan ini. Sedikit-sedikit diatur kecepatannya. Kalau di Indonesia bisa bebas semau mereka,” kata saya. Dia hanya tersenyum. Jalanan Frankfurt aduhai ademnya. Melihat pepohonan yang menguning, karena ketika saya datang ke sana bulan Oktober adalah musim gugur.

Foto suasana jalan di Frankfurt, Oktober 2019 (Chrisseffer Rachel,privat)
Suasana jalan di Frankfurt, musim gugur 2019Foto: privat

Udaranya sejuk sekitar 10-12 derajat kala itu dan di dalam mobil pacar saya menyalakan heater. Ya, penghangat udara di dalam mobil. Bahkan kursi yang saya duduki pun hangat, karena seat heater turut dinyalakan. Lucunya, saya juga baru sadar kalau sedari tadi temperatur di dalam mobil hangat. Pengalaman, ya pengalaman. Saya jadikan semua ini pengalaman yang sangat sangat menyenangkan dan berarti. Melihat bahwa di luar dunia saya di Indonesia, di belahan dunia lain, tepatnya di Jerman ini, semua begitu rapinya.

Saya pun sibuk ambil banyak foto dengan telepon genggam sampai akhirnya kami masuk di suatu area tempat parkir. Pacar saya mengambil karcis di mesin otomatis. Setelah parkir, kami naik ke atas, karena parkiran tersebut letaknya di basement. Melalui tangga kecil, kami naik ke area terbuka, dan Voila! Saya sepersekian detik tak bisa berkata-kata melihat arsitektur bangunan di situ.

“Ini daerah apa ya?” Meski tak tinggal di Frankfurt, sudah tentu pacar saya tahu jawabannya. “Ini Goetheplatz.” Saya lihat-lihat sekitar sampai saya menemukan patung Goethe. Ah! Tak disangka saya bisa lihat ini secara langsung. Saya banyak mengambil foto-foto disana dan merekam video untuk saya bagikan kepada orang tua saya di Indonesia.

Tak lama dari situ, pacar saya mengajak melancong di Frankfurt. Mulai dari Goetheplatz, kami berjalan kaki menyusuri kota Frankfurt yang dihiasi bangunan tinggi dan klasik yang berdiri berdampingan. Indah sekali rasanya. Ditambah cuaca sejuk dan berawan di hari itu membuat saya benar-benar dibuat kagum dengan kebersihan dan ketertataan kota yang begitu menakjubkan.

Pacar saya bilang bahwa kami akan menuju ke market place. Ya, di Jerman katanya banyak tempat-tempat berkumpul yang bebas kendaraan, di mana biasanya banyak orang berkumpul, karena daerah itu menjadi pusat penjualan makanan, pusat perbelanjaan atau pusat kota. Kalau di Indonesia, mungkin kita bisa sebut dengan alun-alun.

Sampailah kita di Innenstadt, pusat kota. Saya tidak tahu tempat apa itu, tapi yang saya lihat banyak sekali orang, banyak sekali toko-toko baju, banyak gereja, dan ada sebuah mall, MyZeil Mall, yang punya arsitektur keren. Selain eksteriornya yang dipenuhi kaca, ada satu bagian di ekterior mall ini yang seolah-olah berlubang, seperti ada peluru yang telah menembusnya.

Foto MyZeil Mall di pusat kota Frankfurt (Chrisseffer Rachel)
MyZeil Mall di pusat kota FrankfurtFoto: privat

Soal harga, jangan ditanya ya, saya sempat lihat-lihat sekejap ke dalam, tapi tidak beli apa-apa karena harganya lumayan, hehehe. Akhirnya kami sampai di market place dan kami berburu Bratwurst atau sosis berukuran besar yang langsung dibakar dan dinikmati pembeli di kedai-kedainya. Katanya belum lengkap kalau belum makan Bratwurst di Frankfurt, karena ini salah satu kudapan ikonik di sini. Rasanya? Hmm enak! Ada yang unik, cara makannya harus dengan Brötchen. Kalau di Indonesia ya simpel namanya roti. Nah, kalau makan Bratwurst harus sama Brötchen, seperti disisipkan di tengahnya. Meski ada juga pembeli yang mau makan tanpa roti. Tapi di Jerman, rasanya kurang lengkap kalau belum pakai roti, kata pacar saya.

Setelah makan-makan lucu kami pun bergegas kembali ke tempat parkir. Sebelum kami menuju mobil, ada sebuah mesin yang tersedia disana. “Sebelum kita keluar dari tempat parkir, kita bayar dulu di sini,” ujar pacar saya. Oalah! Saya baru aja mau nanya, tapi sudah dijelaskan duluan, hehehe.

Nah, kalau biasanya di Indonesia masih ada petugas parkir di pintu keluar, ternyata kalau di Jerman tiket dibayar di mesin pembayaran parkir sebelum kita meninggalkan area parkir. Jadi, pas kita masukkan kartu parkir ke mesin ini, akan terlihat harga sesuai dengan durasi kita parkir, dan kita harus bayar sesuai angka yang tertera di sana. Bayarnya bisa pakai koin atau uang kertas. Nanti ada semacam struk bukti pembayaran, lalu ini harus kita masukkan ke mesin yang ada di portal pintu keluar, sehingga portal terbuka. Canggih ya! Tidak perlu manusia lagi untuk urusan bayar parkir, semua serba otomatis. Dan jangan salah, kalau sudah bayar, kita harus buru-buru keluar, karena kalau tidak salah, jika lebih dari 15 menit, bukti struk itu tidak berlaku lagi. Wah tertib sekali, pikir saya!

Kami pun jalan-jalan lagi di lokasi lain dan tibalah di jembatan Eiserner Steg. Katanya, jembatan ini menghubungkan pusat kota Frankfurt dan sebuah wilayah namanya Sachsenhausen, semacam jejeran rumah penduduk, bahkan ada perkantoran juga di sekitar situ dengan bentuk bangunan klasik. Jembatan ini adalah jembatan legendaris, karena jembatan ini membentang di atas sungai yang terkenal di Jerman, namanya Sungai Main.

Di sini banyak gembok-gembok cinta yang dikaitkan, seperti pemandangan di jembatan-jembatan populer di Paris, New York, atau Seoul. Saya dan pacar saya membeli gembok beserta kuncinya di toko kelontong sekitar jembatan. Dan hari kami pun ditutup dengan mengaitkan gembok dan melemparkan kuncinya ke sungai Main dari atas jembatan Eiserner Steg. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan.

*Chriseffer Rachel, Media Officer di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia pada 2014.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)