Kenapa Turki Stop Berbisnis dengan Israel?
9 Mei 2024Senyum menghiasi wajah Presiden Recep Tayyip Erdogan ketika menjawab pertanyaan DW, bahwa „kami sudah tidak lagi mempertahankan hubungan dagang intensif dengan Israel. Isunya sudah selesai,” kata dia dalam jumpa pers di akhir kunjungan Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier di Ankara, dua pekan lalu.
Saat itu, rencana Turki „membatasi” ekspor sebanyak 54 jenis komoditas ke Israel baru berupa ancaman. Beberapa hari setelah pernyataan Erdogan, Kementerian Perdagangan akhirnya mengumumkan penghentian kerja sama ekspor dan impor dengan Israel.
Kedua negara sejatinya menjalin kekariban bisnis. Menurut Asosasi Ekspor Turki, TIM, perdagangan bilateral antara Turki dan Israel, „memiliki struktur yang stabil dan independen secara politik.”
Pada 2022 silam, volume perdagangan antara kedua negara mencapai sembilan miliar dolar AS. Israel mengekspor barang senilai dua miliar dolar AS, sementara Turki membukukan penjualan senilai tujuh miliar dolar AS.
Volume dagang kedua negara sejak itu berkurang dan hanya mencapai tujuh miliar dolar AS pada tahun 2023.
Proyeksi negatif di Turki
Bagaimana penghentian dagang dengan Israel akan berdampak pada ekonomi Turki yang sedang dilanda krisis? Menurut Oguz Oyan, ekonom dan tokoh oposisi Turki, langkah tersebut akan menyulitkan Ankara menemukan investor asing.
„Negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Eropa, memandang negatif negara yang menjatuhkan sanksi terhadap Israel,” kata dia. „Penghentian dagang tidak hanya memperburuk hubungan dengan Israel, tetapi juga dengan pasar keuangan, dan artinya juga aliran dana investasi ke Turki.”
Salah satu sektor ekonomi yang akan paling terdampak di Turki adalah pariwisata. Bagi turis Israel, negeri dua benua itu selama ini merupakan negara tujuan wisata paling populer. Pada tahun 2022, misalnya, sebanyak 850.000 warga Israel berpelesir ke Turki. Tahun 2023 jumlahnya berkurang sembilan persen.
Kritik dari Israel
Di Israel, Menteri Luar Negeri Israel Katz merespons keras keputusan Turki untuk sepenuhnya menghentikan hubungan dagang.
"Erdogan melanggar perjanjian internasional dengan memblokir pelabuhan. Dia mengabaikan kepentingan rakyat Turki dan pengusaha Turki. Beginilah tindakan seorang diktator," kata dia.
Apakah keputusan Ankara akan memicu konsekuensi hukum? "Tidak,” kata Profesor Funda Basaran Yavaşlar di Universitas Marmara, Istanbul, spesialis dalam hukum keuangan internasional.
Karena sejauh ini, belum ada kontrak bisnis yang diakhiri secara sepihak. Basaran yakin, situasinya belum akan berubah.
Menurutnya, solusi bisa diupayakan lewat Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, yang mewadahi perdagangan kedua negara dan menawarkan mekanisme mediasi antara negara anggota.
Kegamangan usai kekalahan pemilu
Sikap keras Ankara terhadap Israel diyakini bersumber pada kekalahan bersejarah Erdogan dalam pemilu komunal akhir Maret lalu.
Kepada DW, Gabriel Haritos, peneliti di lembaga pemikir Yunani ELIAMEP yang berbasis di Yerusalem, menilai pemutusan hubungan dagang dengan Israel sebagai "taktik politik,” demi memuaskan publik di dalam negeri.
Hal serupa diungkapkan ekonom Turki Oguz Oyan. “Di masa kampanye pemilu, pemerintahan Partai AKP mendulang sentimen negatif karena pesatnya perdagangan dengan Israel,” kata dia.
Kebijakan pemerintah dinilai bermuka dua, karena di satu sisi giat menuduhkan kejahatan perang terhadap Israel di depan publik, tapi di balik layar tetap panen uang lewat hubungan dagang. "Hal ini mempengaruhi suara para pemilih Islam konservatif."
Oyan yakin, AKP berusaha memobilisasi dukungan elektoral di dalam negeri dengan bersikap keras ke Israel . “Mereka mengalami kekalahan besar dalam pemilu. AKP ingin memulihkan gengsi yang hilang dan redupnya kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
rzn/hp