1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kekacauan Pemilu Afghanistan

20 Oktober 2009

Komisi Pemilu akhirnya menetapkan pemilu presiden tahap kedua awal November mendatang. Sebelumnya komisi pengawas membatalkan hasil pemilu yang penuh manipulasi.

https://p.dw.com/p/KBQX
Presseschau

Harian Italia Corriere della Sera berkomentar:

Komisi pengawas yang ikut dibentuk PBB ini perlu waktu dua bulan sejak pelaksanaan pemilu presiden 20 Agustus lalu. Tapi akhirnya laporan pemeriksaan pelaksanaan pemilu rampung juga. Dan hasilnya sangat mencemaskan. Sekitar 1,3 juta suara dinyatakan tidak sah, jadi tidak ada peserta yang merebut mayoritas mutlak. Menurut konstitusi Afghanistan, harus dilakukan pemilu tahap kedua. Tapi risikonya juga besar. Cuaca semakin buruk dan aksi kekerasan Taliban meluas. Tingkat partisipasi pemilu bisa makin kecil dan kemungkinan manipulasi makin besar.

Harian Austria Die Presse menulis:

Melaksanakan pemilihan umum bebas di Afghanistan, sebuah negara yang terpecah belah oleh adu kepentingan berbagai kelompok etnis dan klan, sejak awal ini merupakan tujuan yang ambisius. Pada tahun ke delapan eksperimen demokrasi ini bisa ditarik kesimpulan: eksperimen telah gagal. Dan sosok yang mewakili gambaran kegagalan ini adalah Hamid Karzai. Sejak jatuhnya kekuasaan kelompok radikal Taliban, presiden yang berasal dari etnis Pashtun dan lancar berbahasa Inggris ini gagal memenuhi semua harapan yang diembankan kepadanya. Kekuasaannya hanya terbatas pada kota Kabul. Dan di daerah kekuasaannya, korupsi dan kekosongan hukum meluas. Ketidakmampuan Karzai, di samping kesalahan strategis pasukan NATO, punya andil besar menuju perkembangan saat ini, yaitu makin kuatnya kelompok Taliban.

Sehubungan dengan kekalutan politik di Afghanistan, muncul gagasan agar dibentuk pemerintahan sementara yang melibatkan berbagai kelompok berpengaruh. Harian Belanda de Volkskrant menulis:

Banyak pengamat menilai, Abdullah yang berasal dari etnis Tajik dalam pemilu tahap kedua tetap tidak punya peluang untuk menang atas Karzai, yang berasal dari etnis Pashtun. Namun Abdullah mungkin berpikir, bahwa peluangnya sekarang lebih besar. Sejak beberapa minggu terakhir muncul spekulasi lain, yaitu pembagian kekuasaan antara Abdullah dan Karzai. Memang ada kontak antara kedua kubu politik ini. Namun tidak ada indikasi, bahwa hubungan itu sudah membuahkan hasil.

Harian Inggris Guardian mengusulkan agar pihak Taliban dilibatkan dalam perundingan. Harian ini menulis:

Pembentukan pemerintahan sementara, dengan melibatkan majelis tradisional Loya Jirga, yang mewakili sebagian besar masyarakat, bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk mengembalikan legitimasi politik di Afghanistan. Tapi pemerintahan Karzai melewatkan peluang ini. Pemerintahan Afghanistan yang baru, mungkin bisa sedikit menarik napas, jika mereka menawarkan semacam gencatan senjata pada Taliban. Dengan janji bahwa pasukan asing suatu saat akan ditarik dari Afghanistan. Ini boleh jadi merupakan satu peluang. Para pengendali politik di Afghanistan sekarang harus bertindak demi kepentingan negaranya, bukan demi kepentingan pribadinya. Tapi yang jelas, setelah penampilan buruk pada pemilu ini, Hamid Karzai tidak bisa lagi memainkan peran itu.

HP/ZER/dpa