1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Jokowi Dinilai Blunder Soal Pembatasan Sosial-Darurat Sipil

Detik News
31 Maret 2020

Rencana Jokowi untuk melakukan pembatasan sosial yang didampingi kebijakan darurat sipil, dinilai tidak tepat. Namun Istana menjawab, kebijakan darurat sipil adalah langkah terakhir.

https://p.dw.com/p/3aELS
Konferensi Pers Presiden Joko Widodo tentang penanganan virus corona
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai melakukan blunder terkait pernyataan pembatasan sosial skala besar dalam penanganan wabah COVID-19. Sebab, kebijakan itu disebut sudah dilakukan sejak dua pekan lalu.

"Saya melihat pemerintah melakukan analisis yang gegabah sekali dengan ber-statement yang menurut saya blunder lagi yang disampaikan Pak Presiden. Apa sebab? Pembatasan sosial secara luas itu sebenarnya sudah dilakukan secara informal walaupun tidak dalam bentuk kebijakan yang kuat, tetapi yang dimaksud pembatasan sosial skala besar adalah mulai meliburkan sekolah, meliburkan kegiatan-kegiatan di kantor, termasuk kegiatan keagamaan. Sudah dilakukan semua, kan," kata Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Hermawan Saputra kepada wartawan, Senin (30/3/2020) malam.

Hermawan juga menyesalkan Jokowi menyinggung soal penerapan darurat sipil. Menurut dia, penerapan darurat sipil dalam penanganan corona ini sama sekali tak relevan.

"Nah, tetapi kalau poin berikutnya tentang kedaruratan sipil, itu lebih berbahaya lagi menurut saya. Itu saya menyampaikan, itu bisa salah acu, salah arah, dan salah sasaran. Apalagi nanti kalau mengaitkannya dengan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 berkaitan dengan kedaruratan sipil. Itu produk zaman demokrasi terpimpin di era Presiden Sukarno dengan situasi politik. Di dalam pasal 17 dan seterusnya itu berkaitan dengan pembatasan individu, bukan lagi pengendalian penyakit, tapi bergeser pada pengendalian individu dan pembatasan aktivitas penduduk," ujar Hermawan.

''Jokowi teken UU Karantina, kok yang dipakai Darurat Sipil 1959?''

Hal senada juga disampaikan oleh ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, tidak habis pikir atas rencana Jokowi menerapkan darurat sipil sebagai langkah terakhir mengatasi penyebaran corona. Padahal, Jokowi menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit.

"Entah mengapa Perppu 1959 yang dirujuk. Padahal ada regulasi UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU yang dibuat oleh Presiden Jokowi, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," kata Oce kepada detikcom, Selasa (31/3/2020).

Dalam Perpu 1959 itu dikenal 3 darurat, yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer, dan Darurat Perang. Setiap jenis 'Darurat' memiliki tujuan, syarat-syarat, dan konteks yang berbeda.

"Syarat-syarat keadaan bahaya dengan berbagai tingkatan Darurat itu ada dalam Pasal 1 Perppu. Semua mengarah pada terancamnya keamanan/ketertiban oleh pemberontak, kerusuhan, bencana, perang, membahayakan negara, tidak dapat diatasi oleh alat perlengkapan negara secara biasa," ujarnya.

Oce heran Jokowi merujuk pada Darurat Sipil yang tertuang dalam peraturan Orde Lama. Menurut Oce, Darurat Sipil mengarah ke penertiban. Sedangkan UU Kekarantinaan Kesehatan mengarah ke 'menjamin kebutuhan dasar rakyat'.

Istana: penerapan darurat sipil merupakan langkah terakhir

Sementara, juru bicara presiden Fadjroel Rachman menyampaikan lewat akun Twitter-nya bahwa keadaan darurat sipil hanya akan ditetapkan Jokowi bila keadaan menjadi lebih buruk.

"Pemerintah juga mempertimbangkan usulan pemberlakuan Darurat Sipil supaya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dapat dijalankan secara efektif. Namun, penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus Covid-19," kata Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, dalam keterangan tertulis, Senin (30/3/2020).

Dalam menjalankan PSBB, kata Fadjroel, pemerintah akan mengedepankan pendekatan persuasif melalui kolaborasi Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas COVID-19, Kementerian Perhubungan, Polri/TNI, pemda, dan kementerian/lembaga terkait.

"Presiden Joko Widodo meminta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan physical distancing (jaga jarak aman) dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif agar memutus mata rantai persebaran virus Corona atau COVID-19," ujar Fadjroel. (pkp/yf)

Baca selengkapnya di: detiknews

Jokowi Dinilai Blunder soal Pembatasan Sosial-Darurat Sipil, Mengapa?

Ahli UGM: Jokowi Teken UU Karantina, Kok yang Dipakai Darurat Sipil 1959?

Istana: Penerapan Darurat Sipil Merupakan Langkah Terakhir